Aku mengerjap beberapa kali saat kurasakan kenyamanan yang tak biasa. Ruangan terasa dinginnya pas, serta selimut lembut dan hangat. Setelah mataku terbuka sempurna, aku merasa hilang ingatan.
Ini dimana?
"Alya!" panggilku pada sahabat sehidup sematiku itu. "Aaaaal ..."
Sunyi.
Sepi.
Ini aku dimana sih?
Sudah jelas-jelas semalam aku tidur seranjang dengan Alya di kosan, tapi kenapa sekarang aku malah berada di tempat asing?
Jangan-jangan ini masih di dunia mimpi. Ya ampun.
Oke. Lanjutkan saja, Zura ...
Entah mimpi entah nyata, yang pasti aku harus segera ke kamar mandi. Kemihku terasa perlu dikosongkan saat ini juga.
Kamar ini terlihat mewah. Setiap sudut yang tertangkap oleh mataku, semua terlihat begitu bagus dan sempurna. Bahkan kamar mandinya ... seperti standar di rumah keluarga Maheswara.
Tak perlu lama menuntaskan kebutuhan kamar mandiku di pagi hari. Eh- Ini benar pagi hari kan?!
Aku melakukan gerakan kecil seperti biasa, untuk sekedar melakukan pemanasan meskipun tanpa olah raga yang berarti. Tapi kemudian aku melihat balkon. Aku putuskan untuk menggerakkan tubuhku sambil melihat pemandangan luar. Mungkin saja dengan aku melihat keluar, maka aku jadi ingat apakah ini masih mimpi, atau aku sedang berada di suatu tempat.
Setelah membuka pintu kaca balkon, langsung aku melangkah ke tepi. Baru saja mataku melihat jauh ke bawah, sebuah suara membuatku terkejut setengah mati.
"Sudah bangun, Sayang?"
Astaga.
Aku menoleh dan melihatnya. Reiki. Sedang duduk santai di kursi sambil memegang secangkir minuman dan tersenyum manis kepadaku. Dia hanya mengenakan kaos dan celana selutut. Tapi itu pun sudah terlihat sangat keren. Wajahnya yang tampan dengan tubuh atletis begitu mampu membuat setiap wanita jatuh hati meskipun hanya kaus sederhana yang dikenakannya.
Jadi ini nyata? Tapi bagaimana mungkin? Semalam dengan jelas aku tidur berdua dengan Alya di kamar kosanku. Lalu mengapa sekarang aku sudah berada– (aku menengok ke dalam kamar sedikit, dan menduga-duga)– Ini di apartemennya? Begitukah?
Kembali ke wajahnya yang mengesalkan saat aku melihatnya. Dia sedang tersenyum simpul sambil menyesap minumannya.
"Jangan heran, Sayang ... Kamu sudah berada di tempat yang seharusnya. Di sini tempatmu. Di pelukanku."
"Bagaimana bisa?" tanyaku bingung.
"Apapun dapat kulakukan untukmu. Apapun itu."
Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Dan baru kusadari bahwa aku mengenakan piyama yang ... sangat lembut dan nyaman. Ya Tuhan ... siapa yang menggantikan pakaianku semalam? Jangan sampai kalau dia yang melakukannya.
"Dengarkan aku, Mas," dia menatapku juga. "Aku tidak mau tinggal ber-sa-ma-mu! Masih kurang jelas? Kenapa Mas Rei gak ngerti juga sih?"
"Kenapa?" responnya pelan dan santai.
"Tempatku itu di kosan. Duniaku, dunia kita itu berbeda–" Reiki tersenyum kecil yang dipaksakan. "Mas tolong jangan paksa aku untuk bersama mas Rei. Tolong mengerti!"
"Oke, cukup, Sayang." sahutnya sambil bangkit dan mendekatiku dengan cepat. Terlalu cepat hingga tersisa jarak dengan kedua tanganku di antara dada kami sebagai pemisah. "Hentikan fikiran negatifmu! Atau apapun itu. Lakukan saja apa yang kukatakan padamu." tiba-tiba dia langsung menyambar bibirku dengan penuh nafsu. Tengkukku ditahannya. Pinggangku dikunci tangannya. Dan aku tak berdaya. Aku kalah cepat untuk menghindar, sekaligus kalah tenaga untuk mendorongnya.
"Buka, Sayang ..." bisiknya serak di depan bibirku yang masih tertutup rapat. Aku menggeleng lemah, tapi dia selalu mendapat apa yang dia mau. Setelah menggigit kecil bibir bawahku hingga menariknya sedikit, akhirnya aku kalah dan membuka bibirku. Langsung saja dia menguasai bibirku tanpa ampun. Ini pertemuan pertama bibir kami setelah dirinya yang raib hampir dua bulan lamanya.
"Oh aku sangat merindukan bibirmu yang manis ini," ucapnya di sela-sela ciuman hot nya. "Semalam belum cukup, karena kamu tidur. Aku jadi tidak leluasa."
"Semala–" baru saja aku ingin menyahut, dia menyerbu bibirku lagi.
Permainannya pada bibirku berlangsung cukup lama, saat dia sudah mulai mengecup telingaku, lalu perlahan turun ke leherku yang membuat aku merinding seketika. Maka aku langsung mendorongnya.
"Cukup," kataku dengan nafas tersengal. Ini terlalu memabukkan. Dia terlalu jago dan ... ah sudahlah. Aku tidak mau menyesal bila membiarkannya lebih lama.
"Tidak boleh sekarang saja, Sayang?" tanyanya pelan sambil mengecup pipiku dengan lama, dan mulai menggigitnya gemas.
"A-apanya?"
Perlahan tapi pasti, jemari Reiki kurasakan membelai pipiku, lalu turun ke leherku, dan yang membuatku hampir tidak mampu bernafas adalah saat jemarinya hampir saja menyentuh dadaku. Kini aku mengerti maksud dari perkataannya.
"Aaarrgh!" teriakan singkatku mampu membuat tangannya berhenti menjelajah. Kesempatan itu kugunakan untuk kabur ke kamar dan menuju pintu lalu keluar dari kamar.
Ini bahaya. Sangat sangat berbahaya. Aku tidak akan membiarkan kewarasaanku hilang karena terbuai oleh cumbuannya. Apalagi sampai kehilangan kesucianku, oh tidak akan pernah kuizinkan!
Aku menuju lemari es dan mengambil air, lalu menuang ke dalam gelas yang berada di meja. Aku haus. Aktivitas tadi sungguh membuatku sangat haus.
Hampir aku tersedak saat Reiki tiba-tiba saja sudah berada tak jauh dariku dan menyuruhku untuk memakan sarapanku.
"Makanlah sarapanmu, Sayang!" katanya sambil mengancingkan kemejanya. Padahal barusan saja dia masih memakai pakaian santai. "Aku harus ke kantor, dan aku mau kamu ada di sini saat aku pulang nanti."
Cih!
Dia kira aku istrinya apa?
"Aku bukan seorang istri yang sedang menanti suami." gerutuku pelan meski begitu aku yakin dia mendengarnya. Aku masih hendak menghabiskan air putihku lalu dari sudut mataku aku tahu kalau dia semakin mendekat ke arahku.
"Mau nikah kapan? Katakan saja! Biar nanti aku urus."
Datar sekali dia mengucapkan itu. Huh, semakin aku tidak mempercayainya.
"Aku mau pergi–"
"Tidak."
Aku melotot tidak suka. "Kenapa sih Mas Rei selalu menyusahkanku?"
Kini dia menatapku tanpa ekspresi. Apakah dia tersinggung dengan perkataanku?
"Kamu mau kemana? Biar Johan mengantarmu."
Kalau kubilang aku hendak pergi ke kosan apa dia akan marah atau tidak suka? Ah siapa peduli.
"Aku mau ketemu Alya. Dan ..."
"Kamu boleh bertemu temanmu, tapi harus selalu diantar Johan. Oke? Aku harus segera pergi."
Dia berjalan menuju walk in closet miliknya yang bersebelahan dengan milikku. Sedang aku sudah duduk di depan sarapanku. Oh aku memang lapar. Sudah ada sandwich dan salad di sana. Ini bukan gayaku. Mana kenyang! Biasanya aku makan nasi meskipun itu pagi hari. Dan selama tinggal di rumah keluarga Maheswara pun aku selalu disediakan sarapan nasi goreng dan nasi lainnya. Tapi dari pada aku lapar, ya sudah, makan saja. Lalu sandwich adalah pilihanku.
"Satu yang pasti, Sayang ..." Reiki kembali lagi dengan setelan jas lengkapnya. Sudah rapi dan siap pergi ke kantor. "Kamu harus tetap pulang kesini. Karena dimanapun kamu berada, maka aku akan mencarimu. Ingat itu."
Aku tidak menyahut. Bahkan menoleh pun tidak. Mulutku penuh dengan sandwich saat ini.
"Jangan mengabaikanku, aku tidak suka." katanya yang sudah duduk di kursi sebelahku. Tangannya sudah bertengger di pipiku dan membelai pelan. Perkataannya pun pelan, hanya saja sarat akan intimidasi.
Mau tak mau aku menoleh menatapnya, dari pada dia tambah murka dan makin nekat.
Dia mengecup bibirku singkat. "Aku pergi dulu. Jangan nakal ya!"
☕☕☕
"Jadi apa yang terjadi semalam?" tanyaku pada Alya setelah selesai mengajar anak-anak.
Kami sedang berada di basecamp sekarang. Tempat ini adalah satu-satunya kenangan terindah dari Dimas. Semenjak kepergiaannya, tak ada yang berubah dengan tempat ini. Masih berjalan sebagaimana biasanya, dan sebagaimana mestinya. Teman-teman lain yang lebih aktif dariku dan Alya malah semakin serius dalam membina anak-anak agar lebih pandai lagi. Baik itu dari segi pelajaran, ataupun ketrampilan yang dapat membantu perekonomian mereka. Misalnya dengan membuat kreativitas dari sampah-sampah plastik, kaleng, dan sebagainya.
Aku salut pada mereka yang hidupnya tanpa orang tua tapi masih dapat tersenyum bahagia. Melihat pada hidupku, yang sama juga jauh dari orang tua. Dalam artian, aku lebih beruntung karena suatu hari orang tuaku akan kembali padaku. Sedangkan mereka, selamanya tak ada orang tua kandung sepanjang hidup di dunia.
"Waktu lo udah ngorok ..."
"Gue nggak ngorok!"
"Oke, ralat. Waktu lo udah tidur, si Om datang. Dia mukanya asem banget deh. Gue takut juga dia bakalan murka trus nasib gue kayak Radit, tapi ternyata nggak. Dia nyuruh gue gantiin baju lo pake piyama yang dia bawa. Trus selesai gue ganti baju lo, dia bopong lo trus kalian cus. Gue gak tau lagi."
Oh jadi yang mengganti pakaianku itu Alya. Syukurlah ...
"Emangnya lo gak bangun waktu dibopong Om Rei?"
"Nggak."
"Tidur apa mati sih lo?"
"Lo harus ikut gue ntar ke apart, Al."
"OGAH!"
Aku menatap sahabatku itu penuh permohonan. "Pliss, Al ... "
"Gak akan. Gue ogah nonton bokep live."
"Anjr banget ini anak mulutnya."
Alya terkekeh. "Heeehh, lo gak boleh ngomong kasar dong! Kita kan anak baik-baik."
Aku mencebik, Alya terus saja tertawa.
"Halalin ak, Ooommm ... Gitu napa, Ra. Biar bebas dia mau ngapain lo."
"Nikah itu harus mantap, Al. Bukan karna nafsu semata."
"Emangnya dia gak mantap?"
"Susah deh jelasin tentang si Reiki tuh. Dia punya pandangan dan pemikiran yang gak normal."
"Kok?"
"Males ah gue ngomongnya." Aku bangkit. "Ayo kita jemput Radit!"
Alya kepo waktu melihat Johan dan mobil Reiki yang sudah menanti. Sebab tadi Alya sudah datang lebih dulu dari aku, dan Johan memarkirkan mobil agak jauh.
"Lo dikasih mobil sekarang? Serius?" bisiknya agar tak sampai ke telinga Johan. "Trus itu siapa? Jangan bilang kalo itu sopir lo sekarang?"
"Bukan begitu keadaannya. Yang ada, gue tuh dikawal biar gue nggak kabur. Lo pikir enak?"
"Ya enaklah. Ngapain kabur dari orang ganteng nan tajir begitu. Meskipun agak seram waktu marah, tapi ikhlas banget gue sih nerima dia, Relaaaaaa. Halalin aku, Ooommm ... hahaha."
Aku mentoyor kepala Alya. "Bukannya dukung gue,"
"Gue dukung lo, Raju Sayang. Tapi kan–"
"Stop! Pembicaraan selesai!"
--
Jadi hari ini Radit sudah boleh pulang. Tubuhnya sudah sehat, hanya tinggal memar di wajahnya saja yang masih terlihat menyedihkan. Saat aku dan Alya sampai di ruangan Radit, temanku itu sudah siap dengan ranselnya.
"Lama banget kalian. Gue kan butuh dilayani." ucapnya dengan manja.
"Layani MAKSUD LO?" tanya Alya minta penjelasan.
Cowok itu malah nyengir. "Beresin baju gue gitu, Alb..."
"Halah, manja. Lebay!"
"Orang sakit mah kudu dimanja, Alya."
"Lo udah sehat, Radit Khan!"
"Berisik ah lo berdua. Ayo cabut!" aku menyela sambil ngeloyor berjalan lebih dulu.
Sebenarnya Radit tidak ingin dan tidak perlu dijemput juga, toh dia sudah benar-benar sehat. Hanya saja aku dan Alya akan pergi ke rumah Radit untuk memenuhi undangan Tante Vera yang mengharuskan kami mencicipi masakannya. Karena di rumah Radit akan ada acara arisan teman-temannya Tante Vera pada sore hari nanti. Aku dan Alya disuruh membantu beliau walaupun kami berdua adalah cewek-cewek yang tidak bisa memasak.
Tante Vera bilang, dengan adanya aku dan Alya, dia jadi merasa punya anak perempuan. Berhubung Radit anak tunggal sepertiku.
Aku dan Alya senang-senang saja dapat membantu Tante Vera. Terlebih aku yang kangen dengan sosok ibu, jadi bisa bermanja-manja padanya yang sudah kuanggap seperti ibuku juga.
Tapi ..
Ketika aku baru saja hendak menaiki taksi online pesanan kami, Johan menahanku.
Kenapa sih nih orang? Kan aku sudah menyuruhnya agar mengikutiku saja dengan mobilnya, ralat– mobil Reiki, sedangkan aku bersama kedua sahabatku akan menggunakan taksi online saja. Karena dia pasti akan tetap menjalankan tugasnya untuk mengikutiku kemana-mana.
Belum sempat aku mengomel pada Johan, ponselku malah berbunyi.
Dan yaa ... Siapa lagi pengganggu nomor wahid dalam hidupku?
"Ya hallo." aku menyahut dengan malas.
Alya sudah menaiki mobil, begitupun dengan Radit. Mereka masih menungguku yang sekarang sedang menerima telepon tak jauh dari mobil.
"Kesini, Sayang! Lunch di kantorku."
"Nggak bisa, Mas. Aku mau–"
"Aku. Mau. Kamu. Kesini. Sekarang."
Pacar bukan, bokap bukan, bahkan suamipun bukan, tapi Reiki tuh terlalu mengaturku. Bahkan mengekangku seenak hatinya.
"Aku ada janji sama Tente Vera. Titik."
Aku mematikan ponsel dan langsung masuk mobil menyusul Alya dan Radit. Aku hanya perlu melawannya saja kan. Aku tidak harus menuruti dia yang bukan siapa-siapaku. Tapi lagaknya seolah berkuasa atas diriku. Menyebalkan!
Tak kupedulikan panggilan Johan, dan aku menutup pintu mobil.
"Reiki ya?" tanya Alya yang duduk di samping supir. Aku hanya mengangguk tanpa minat. "Kenapa katanya? Lo disuruh apa?"
"Biasalah dia ... egois."
"Sabar ..." Radit mengusap rambutku pelan. Dia duduk di sebelahku di kursi tengah.
Aku menoleh ke wajah Radit yang masih terlihat memar dan bengkak. Hatiku masih dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan.
Tunggu ...
Aku harus berfikir ulang.
Bila Reiki dapat berbuat sejauh itu kepada Radit, lalu bagaimana dengan sekarang? Dimana jelas-jelas aku memilih bersama ibunya Radit, yang otomatis bersama Radit di rumahnya, dari pada makan siang dengan Reiki.
Sudah pasti pria itu akan marah kepadaku karena keinginannya tidak dipenuhi. Tapi bukan itu masalahnya, aku sudah biasa menghadapi marahnya. Hanya saja ... masalahnya, bagaimana bila marahnya Reiki itu malah tertuju pada Radit lagi? Atau yang lebih buruk terjadi kepada Tante Vera. Bukankah Reiki memang dapat berbuat apa saja dengan kekuasaannya? Bahkan dia tidak merasa bersalah sedikitpun walau sudah membuat Radit babak belur.
Aku tidak mau menanggung rasa bersalah lagi.
Tidak lagi.
...¤¤¤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Hafiz Ghany
AQ kok JD tegang bacanya Thor 😥😥 si Rei penuh ancaman yg mengerikan 😰😰😰 semangat berkarya Thor 💪💪
2021-03-29
1
NH
lanjut Thor semangat!!!! penasaran sama si Rei
2020-11-08
1
Virna Putri
Menakutkan mas Rei..😱
jadi penasaran POV nya mas Rei..
lanjut Kaka July 💪❤
2020-11-07
1