Perlahan aku membuka pintu ruang inap milik Radit. Dengan langkah pelan aku menghampiri Tante Vera yang sedang duduk memunggungiku. Tangannya tentu saja terulur pada putra tunggalnya yang masih memejamkan mata.
Seketika bulir bening lolos dari mataku. Namun buru-buru kuusap. Karena aku tak ingin membuat Tante Vera tambah sedih.
Tak sampai semenit diamku di belakang tubuhnya, Tante Vera pun. menoleh dan menarik tanganku pelan. Dia berdiri dan memelukku sambil sesenggukan. Sudahlah air mataku tak dapat kucegah lagi. Dan aku menangis pelan bersama wanita yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri itu.
"Radit, Ra ..." lirihnya dengan pilu.
Aku menarik kepalaku dan mengusap lembut air mata di pipi Tante Vera. Padahal air mataku saja tak kalah banyaknya. "Radit baik-baik saja, Tante."
Tante Vera menggangguk pelan. "Aamiin ...."
Kemudian kami duduk saling berpegangan tangan di sofa yang ada di ruangan itu. "Kenapa dia berkelahi?" bisik Tante Vera sambil menatap putranya.
"Apa?"
Berkelahi? Siapa yang mengarang? Radit dipukuli. Nyaris dibunuh.
"Pacarmu bilang, mereka salah paham. Iya, antara Radit dan pacarmu, mereka berkelahi kan?!"
Pacarku?
Sekarang aku merinding mendengar bahwa aku adalah pacarnya si Reiki yang jahat itu.
Jadi rupanya Reiki sudah bertemu dengan Tante Vera. Dan wanita di sampingku ini terlalu baik dan pemaaf. Tante Vera pasti paham, kalau yang namanya berkelahi itu maka yang terluka kedua belah pihak. Tapi Reiki? Wajahnya mulus tanpa memar sedikitpun. Karena memang tidak ada perkelahian, melainkan pemukulan sepihak yang bahkan dapat dikategorikan sebagai percobaan pembunuhan, di mataku.
Aku tidak tahu mesti menjawab apa. Setelah menarik nafas pelan, aku pun bersuara, "Maaf, Tante ... maafin Zura ...." ucapku sambil merunduk.
Tante Vera tersenyum menenangkan. Diantara orang tua kami bertiga, Tante Vera-lah yang paling lembut dan penyabar. "Bukan salah kamu, Ra ... tapi salah Radit."
Aku mendongak. Mengapa jadi Radit yang salah?
"Tante paham keadaannya. Keadaan kalian. Dan menurut pandangan pacar kamu." katanya sambil menatap anaknya. "Radit itu sayang sama kamu, Ra. Entah banyak entah sedikit, tapi dia itu punya perasaan lebih sama kamu. Hanya saja dia terlalu bodoh karena tidak berani jujur sama kamu."
Apa?
Ini gimana ceritanya?
Jangan bercanda, Tante ...
"Tante menyadarinya, karena perasaan seorang ibu itu lebih peka dari siapapun. Radit selalu bercerita tentang kamu dan Alya, hanya saja, ketika membicarakan kamu, ada sedikit nada yang berbeda. Bisa dikatakan, kamu lebih istimewa dibandingkan Alya. Dan sikap dia padamu dan Alya memang sedekat itu kan?!"
Refleks aku menoleh pada Radit yang masih belum sadar.
"Terakhir dia bercerita tentang kamu itu ... Dia bilang kamu sudah punya pacar lagi."
Aku tidak tahu harus menyahut apa.
"Tapi dia bahagia asal kamu bahagia. Bagi Radit, tidak apa-apa kalau kamu hanya menganggapnya sebagai kakak. Karena dengan begitu persahabatan kalian akan awet selamanya. Dia juga lebih memilih hubungan seperti itu, karena dia selalu ingin berada disekitarmu, Ra."
Apa yang harus kulakukan?
Radit mempunyai perasaan seperti itu padaku. Aku tak menyangka sama sekali, karena selama ini sikapnya selalu adil antara padaku dan Alya. Di masa aku pacaran dengan Montana pun dia mendukung saja. Lalu setelah aku putus pun, dia tetap seperti biasanya. Tak ada yang berbeda.
Dia yang tak menunjukkan perasaannya sama sekali atau akunya yang terlalu tidak peka?
Entahlah.
"Jangan jadi beban," Tante Vera membuyarkan lamunanku. Tangannya mengelus pelan punggung tanganku. "Jangan sampai Radit tau kalau Tante sudah memberitahumu, ya. Pura-pura saja kamu tidak tau."
Aku hanya tersenyum tipis.
"Kamu tenang saja, kata pacarmu, semua biaya ditanggungnya. Sampai Radit sembuh, bahkan sampai Radit bisa berkelahi lagi."
Ya iyalah. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tidak akan pernah memafkan perbuatannya yang melukai Radit.
"Alya kemana, Tan?" tanyaku sambil menoleh kesana kemari.
"Tante suruh pulang, mandi. Istirahat. Sana, kamu juga pulang! Biar malam ini Tante jagain Radit."
"Nggak mau, Tante. Zura mau di sini, sampai Radit sadar setidaknya."
"Jangan keras kepala dong, anak gadis. Sana pulang, sudah larut. Tante tau kalian itu lelah lahir bathin atas kejadian ini. Lagian sebentar lagi adik Tante bakalan kesini nemenin Tante. Mamanya Alya aja lagi otewe kesini."
Aku masih menggeleng keras. "Aku mau di sini, Tante. Izinin Zura di sini sama Tante."
**
Aku sudah berjalan keluar dari bangunan rumah sakit. Sambil aku hendak memesan taksi online, aku ingin membeli nasi goreng dulu untuk Alya. Aku tahu dia pasti laper, karena kami memang belum makan malam. Dan ini sudah pukul sebelas malam.
Tante Vera berhasil meyakinkanku untuk pulang. Padahal aku ingin sekali berada di samping Radit saat Radit membuka matanya nanti. Tante Vera pun sudah berjanji akan mengabarkanku bila Radit sadar nanti. Aku dan Alya akan VC dari kosan.
Baru saja kakiku maju selangkah, sebuah mobil sudah menepi di depanku. Seseorang keluar dari mobil dan langsung menghampiriku.
"Maaf, Nona. Silakan naik!"
Tunggu. Ini tidak akan ada adegan penculikan kan ya?! Soalnya siapa yang akan menebusku bila aku diculik? Mama Papa jauh di negerinya Doraemon.
"Nggak mau. Saya sudah pesan taksi." aku buru-buru menghindar, tapi laki-laki tadi masih mengikutiku.
"Nona Azzura, saya ditugaskan Tuan Reiki."
Langkahku berhenti mendadak.
Oh jadi ini salah satu mata-matanya si Om-Om itu!
"Mari sila-"
"Sorry, bilang sama Mas Reiki, saya nggak mau pulang pakai mobil dia. Dan bapak jangan paksa saya!" seruku dengan sedikit membentak.
Di depan gerbang rumah sakit, terlihat sebuah taksi konvensional berhenti. Tak ingin membuang waktu, aku langsung berlari dan menaikinya.
Setelah sampai di kosan, aku mendapati Alya sedang duduk sambil meminum teh hangat di sofa. Dia sudah terlihat berganti pakaian. Oh berarti dia sudah mandi.
"Sori, gue nggak bawa makanan apa-apa. Kita delivery order aja ya?" kataku yang langsung duduk di dekatnya.
Baru saja aku mengeluarkan ponsel, Alya sudah melarang. "Tuh ada nasi goreng. Tadi gue beli." katanya sambil menunjuk meja di depan tv.
"Elo udah makan?"
Dia menggeleng pelan. "Gue nggak nafsu."
"Sama, Al." aku menyadarkan kepalaku di sandaran sofa. "Gue juga lebih gak nafsu lagi."
"Makan sana, Ra. Lo sama sekali belum makan dari sore. Kalo gue udah sempat makan roti bakar waktu beli pulsa."
"Gue mau mandi aja, Al." putusku. Aku butuh air untuk menyiram tubuhku yang rasanya lengket oleh air mata. Jangan lupakan ada darah Radit juga yang menempel di kausku.
Aku melangkah pelan menuju lemari. Berniat menyiapkan pakaian untuk ganti setelah mandi.
Tapi ...
"AL! BAJU GUE KEMANA?" seruku panik. Ini aneh. Lemariku kosong melompong. Aku membuka lemari yang satunya, yaitu lemari milik Alya. Tapi tak ada pakaianku di sana sama sekali, hanya ada pakaian Alya saja.
"Ya di lemari, Ra. Masa di warung Bu Robin?" sahut Alya.
"Nggak ada, Al. Ah serius lo jangan ngerjain gue dong," aku kesal karena tak menemukan satu helai pun pakaianku.
Alya berdecak. "Ngapain sih gue mesti ngerjain lo?" dia mendekatiku. Matanya sama terkejutnya seperti diriku saat melihat lemariku benar-benar bersih. "Lah yang bener, Ra? Lo taruh dimana baju lo semua? Lo mau minggat apa?"
"Mana gue tau, Al."
Aku kesana kemari mengitari kosan yang tak seberapa lebarnya itu. Barangkali akhirnya aku mendapatkan jawabannya.
"Ya masa baju lo raib begitu aja sih? Apa iya ada apa-apanya ini kosan? Jangan nakutin gue dong, Ra."
"Elo yang nakutin diri lo sendiri." sahutku dari kamar mandi. "Bahkan baju kotor gue bekas olah raga tadi pagi pun raib, Al. Sama sekali nggak ada."
"Apa tadi ada maling selagi kita ke rumah sakit?"
"Masa tetangga kosan kita sih?"
"Siapa yang tau!"
"Waktu lo pulang ada yang aneh gak kondisi kosan kita?"
Alya berfikir sebentar, kemudian menggeleng. "Nggak ah! Biasa aja."
"Lo habis mandi trus pakai baju masa gak ngeliat lemari gue?"
"Yaelah, ngapain gue kepoin lemari lo, Rajungan!"
Aku mendesah lelah dan kesal. Ku lemparkan tubuhku di kasur dengan sebal. "Ya udah, gue pake baju lo dulu, sampai gue bisa menemukan baju-baju gue yang hilang. Masa lo tega gue pakai handuk gini doang tidurnya?"
"Ya pake aja, kali. Tapi ..."
"Tapi apa?"
"Ukuran bra kita beda, say. Hehe ..."
Huh!
Aku melirik dadaku dan dada Alya. Seketika aku mendekap dadaku yang lebih besar satu ukuran dari Alya.
"Pantesan si Om naksir sama lo yang ehemnya gede."
"Apaan sih lo? Gila! Nggak segede yang di otak lo ya! Dan lagi ... plis deh loo nggak usah nyebut nama tuh orang. Gue benci sama dia."
**
"Raju bangun, Rajuuu ..." suara Alya serak di sampingku. Tapi aku malas membuka mata. Aku masih terlalu mengantuk.
"Hmm ...."
"Rajuuu ..."
Alya semalam memutuskan untuk tidur di kamarku, karena dia merasa takut selagi pakaianku hilang penuh misteri.
"Raju ... itu hp lo bunyi ..."
"Hmm ... Hp lo kali ..."
Kami sama-sama masih setengah sadar meskipun suara panggilan dari ponsel berdering dengan keras dan tak berhenti-henti.
"Halo–" Alya akhirnya mengangkat ponselnya. Tapi ternyata bunyi deringan tidak juga berhenti.
"Berisik banget sih, Al!" teriakku masih dengan mata tertutup. Aku terusik dengan deringan.
"Hp lo yang bunyi, Ajay Devgan!"
Terpaksa aku meraba-raba bawah bantal dan menemukan ponselku, mataku terbuka sedikit saat melihat nama yang tertera.
"Halo, Tante Vera?"
Aku terduduk seketika. Begitupun Alya. Kami harap ada kabar baik tentang Radit.
"Alhamdulillah Radit sudah sadar sejak pukul satu malam, Ra."
"Syukurlah. Kok Tante nggak langsung kabarin aku atau Alya?" Alya sama leganya denganku. Dia tetap memasang telinganya di dekat ponselku juga.
"Soalnya cuma sebentar, Ra. Habis itu dia dapat obat supaya istirahat lagi."
"Trus sekarang Radit mana, Tan? Mau dong dengar suaranya,"
"Radit di kamar, Tante lagi beli minuman di kantin. Kesini aja deh kalian, biar ngobrol langsung sama Radit. Tadi Radit juga nanyain kalian kok."
"Oke, Tante! Zura sama Alya otewe ya."
"Oke."
Setelah menaruh ponselku di nakas, aku malah rebahan lagi.
"Bangun-lah! Tadi katanya lo mau langsung otewe?" tanya Alya saat melihatku memejamkan mata kembali.
"Lo beliin gue bra dulu sana, masa gue nggak pakai daleman ke rumah sakit?"
Semalam aku memakai pakaian tidur Alya, tapi tanpa bra. Itu tidak masalah, karena hanya untuk tidur. Tapi kalau untuk pergi ke rumah sakit masa iya tanpa bra?
"Pake punya gue aja, elah."
"Gak muat, Algojo. Sesak-lah!"
Alya malah ikut tiduran lagi. "Ah males gue, Rajuuu ... Pagi-pagi mana ada mall yang buka?"
"Trus gue gimana dong?"
"Mana gue tau. Gue mau mandi." Alya bangkit dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaian ganti. Setelah itu dia langsung masuk ke kamar mandi.
Aku kesal dan sebal merutuki nasibku yang sial begini. Kemana perginya semua pakaianku?
Aneh.
Ini terlalu tidak mungkin terjadi sementara pakaian Alya yang lemarinya bersebelahan denganku masih aman dan baik-baik saja.
Tapi ...
Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal yang tidak mungkin terjadi menurut manusia lain,
Ting.
Sebuah chat masuk di ponselku. Aku segera membukanya dan menemukan jawaban atas kesialanku sejak semalam,
Semua pakaianmu ada di Galaxy Square Apartment.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Virna Putri
Semua karya mu luar biasa kak 😘😘😘
Bikin penasaran dan candu utk baca...sehat sll ya kak...lancar berkarya...semangat sll...💪😍
2020-11-01
2