Mau apa si om-om predator itu?
Aku bermaksud menutup pintu saja, tidak peduli padanya. Tapi gerakan pintuku terhalang sepatunya. Dia sudah rapi gitu siap mau pergi ke kantornya, trus mau ngapain lagi coba?
Dengan satu hentakan darinya pintu kamarku terbuka dan dia memasuki kamarku lalu menguncinya.
Mau apa lagi sih? Ini orang berbahaya banget. Tapi aku tidak boleh kelihatan terlalu takut di hadapannya. Aku kuat.
"Om mau apa sih?"
"Om?"
"Iya, Om. Usia kita tuh terpaut 10 tahun, jadi wajar saja kalau aku panggil dengan 'om'."
Reiki berdecak. "Aku tidak suka. Lebih baik 'Mas' aja!"
"Mas mau apa?" tanyaku waspada saat ku lihat kakinya melangkah mendekatiku. Dia menyudutkanku hingga ke dinding. Pria dominan seperti ini tidak boleh terlalu diprovokasi. Jadi sebaiknya aku menurutinya agar aku lebih mudah menolak.
"Kamu maunya apa, cantik?"
"Stop, Om!" aku mengisyaratkan dengan tanganku agar si Reiki berhenti membuatku tersudut dan hampir mengikis jarak diantara kami. "Ini namanya pelecehan." Sebisa mungkin besarnya rasa takut di diriku tidak nampak ke permukaan. Tapi,
Reiki mengangkat alisnya. Masih ada jarak selangkah sebelum dia bersentuhan dengan tubuhku.
"Don't call me like that, Azzuraku! Cukup panggil aku 'Mas Rei'! Dan ini sama sekali bukan pelecehan, Sayang. Ini hanyalah bentuk kasih sayang dariku."
Gila.
"Kamu cukup menerima dan menyentuh balik setiap sentuhanku," lanjutnya lagi dengan suaranya yang ... dalam.
Reiki adalah pria tua yang benar-benar tidak waras. Aku mau pergi dari rumah ini saja.
"Dengar, Om–"
"Panggil kayak gitu lagi, aku setubuhi kamu sekarang." dia mengancamku. Dengan suaranya yang berat dan tatapan tajamnya mau tak mau membuatku menelan ludah juga.
Reiki sang predator berbahaya.
"Oke, Mas ... apapun yang ada di otak mas itu, aku gak peduli. Sangat tidak peduli. Aku gak suka Mas melecehkanku. Aku gak suka Mas seenaknya menyentuhku. Terutama menciumku," aku menarik nafas. Rasanya ada asap di atas kepalaku. "Kamu tuh tidak sopan sama aku. Kita baru saja bertemu, orang asing. Dan aku di sini sebagai tamu. Tapi perbuatan Mas ke aku tuh sangat tidak sopan."
Aku makin emosi rasanya karena melihat raut wajahnya yang datar-datar saja. Seolah aku habis cuap-cuap tidak penting.
"Sudah belum bicaranya?" tanyanya ringan.
See?
Sekarang dia maju selangkah dan kedua tangannya mengurungku di dinding. Matanya mensejajari mataku, mengintimidasiku lewat tatapan dan tubuh besarnya.
Jantungku berdegup tidak karuan. Entah, sepertinya aku semakin takut dengan pria itu.
"Aku tidak peduli juga apa yang ada di dalam kepala cantikmu itu, sweetheart," katanya dengan sarat akan penegasan. "Karena mulai hari ini, ralat, sejak kemarin kamu adalah milikku. Aku bisa saja langsung menikahimu, tapi itu tidak seru. Aku akan membuatmu bertekuk lutut padaku, mendambaku, dan ja-tuh-cin-ta padaku. Aku akan membuatmu menginginkanku. Dan bila saat itu tiba, barulah kita akan menikah. Ah ... menikah itu hanya sebuah formalitas. Aku tidak peduli kapan itu akan terjadi, mau sekarang, besok, lusa atau kapan, terserahmu saja, cantik. Tapi satu yang pasti untuk saat ini ... Azzura hanya milik Reiki."
...----------------...
Milik dari Hongkong!
Aku tidak fokus belajar hari ini. Pikiranku selalu kembali teringat akan kata-kata si Reiki sang predator mesum tadi pagi. Bahkan pria itu sudah menungguku di mobilnya begitu aku keluar dari rumahnya. Dia mengantarku ke kampus tanpa bisa aku menolak. Aku agak bingung, karena ku pukir dia sudah berangkat ke kantor sejak pagi. Sedangkan aku berangkat ke kampus pukul sepuluh. Lalu kenapa dia bisa berada di depan rumah seakan baru saja hendak berangkat ke kantornya?
Tanya saja pada rumput yang bergoyang!
Aku tidak peduli. Terserah si orang kaya itu.
Hanya saja ... kenapa ini terjadi padaku?
Memangnya dia siapa? Kenapa aku harus jatuh cinta padanya? Aku yang menentukan sendiri hatiku untuk jatuh cinta pada siapa. Aku yang tahu perasaanku akan berlabuh pada siapa.
'azzura hanya milik Reiki'
Cih!
Dia bukan papaku. Hanya papa yang berhak berkata seperti itu. Memangnya aku barang?
Sepanjang perjalanan dari rumahnya ke kampusku, dia tak berkata apa-apa padaku. Dia sibuk menelpon seseorang dengan bahasa yang aku sama sekali tidak mengerti, bahasa Perancis. Lalu begitu dia menurunkanku di kampus, dia mencium bibirku lagi dengan panas. Hingga aku menampar wajahnya. Aku tidak peduli jika itu akan membuatnya malu karena ada supir di sana. Oh ya, tentu saja si Reiki itu tidak menyetir sendiri. Dia memakai supir. Dasar orang kaya!
Hapus waikiki dari otakmu, Zura!
"Heh, Raju! Waras?" Alya sudah duduk di kursi depanku.
"Mungkin," sahutku asal. Aku butuh banyak es di saat seperti ini. Saat Radit meletakkan soda miliknya yang terdapat banyak esnya itu, langsung saja aku menyedotnya.
"Haus, Non?"
"Banget. Mumet gue. Butuh es, coklat dan ... nasi goreng."
"Ada apa emangnya?" tanya Alya.
Aku sudah berniat menceritakan tentang kelakuan si Reiki pada dua sahabatku ini. Siapa tahu, mereka bisa membantuku berpikir juga.
"Inget gak, Al, sama si Om konglomerat?"
"Oman apa om Ciki?"
"Siapa itu?" Radit bingung. Oh iya, aku memang belum cerita pada Radit tentang keluarga konglomerat itu, kemarin Radit cukup sibuk dengan kegiatannya walaupun sempat mengantarku pulang.
"Anak pemilik istana yang Raju tinggali sekarang," sahut Alya.
Radit hanya ber'oh ria'.
Aku pun mulai menceritakan dengan detil apa yang terjadi seharian kemarin hingga pagi ini. Semuanya aku ceritakan tanpa ada yang terlewat sedikitpun.
"WAH! calon menantu konglomerat si Raju kita, Dit!" reaksi Alya dengan mata berbinar setelah aku selesai bercerita.
"Kesel gue sih dengernya," kata Radit sambil mengerutkan kening.
"Ya, 'kan?! Seberapa takutnya gue, coba."
"Naksir sama lo kali, Ra," tebak Alya. "Ya udah sih, sikat aja. High quality, bestie."
"Mana boleh," pungkas Radit. "Jangan sampe Raju kita dijadiin mainan sama itu om-om."
"Lo nggak nolak, 'kan, Raju?! Ya udah, imbangin aja," ujar Alya sembari cengengesan. "Kali aja dia jodoh lo. Kali aja beginilah awal mula kalian bertemu, trus lo jatuh cinta, dan happy ending."
Jariku mengetuk meja sebanyak dua kali. "Amit-amit, jangan sampe suka deh sama tuh orang. Keliatan banget player nya. Jelas banget mesumnya. Nggak, gue nggak tertarik. Lagian gue sama waikiki itu kayak bumi dan langit. Setelah gue selidiki, ternyata keluarga mereka masih berhubungan dengan seorang menteri. Sedangkan gue cuma rakyat jelata."
"Gue juga udah cari si Kiki itu di internet. Ternyata mukanya tuh nggak setua yang lo gambarin, Raju! Dia masih muda, Say, tiga puluh satu tahun," sambar Alya. "Husband material banget."
"Muda dari mananya, udah masuk kategori om-om lah buat anak seusia kita," kataku tak terima. Alya tuh gimana sih, beda usia sepuluh tahun itu ya tua. Gimana pun tampangnya itu laki. "Saat si Reiki sudah menjalani masa-masa sekolah SD, kita-kita tuh baru lahir, tau!"
"Hidihh, Jura! Itu namanya usia matang. Dan ngapain juga repot-repot lo bayangin waktu kecil dulu, yang penting tuh sekarang. Udah terima aja, Raju. Lo beruntung gila dapet CEO. Hidup lo tinggal ongkang-ongkang kaki trus selonjoran, tujuh turunan juga hartanya gak abis-abis."
"Eh, Luna! Kalo gue sakit hati nanti, lo mau tanggung jawab?"
"Lah kenapa atuh Raju?"
"Gue tuh anak polos, anak lugu. Sedangkan dia playboy cap gajah terbang, udah pasti gue cuma dianggep mainan doang sama dia. Kalo gue sakit hati trus gue gantung diri, lo mau gue gentayangin?"
"Ya ampun Zura ngomongnya bagus banget," Alya merasa bergidik mendengar kata gentayangin. "Niat banget lo mau bundir."
Aku melotot ala-ala Susana, Alya langsung ciut. Dasar penakut.
"Gue sumpahin naksir lo sama Om Kiki."
"Lo nyumpahin gue biar sengsara, Al?"
"Gue nyumpahin lo bahagia, Sakh Rukh Khan!"
"Tapi gue sengsara kalo sama dia, Al ghazali!"
"Udah, udah," Radit menengahi perdebatanku dengan Alya. "Terserah Zura mau apa. Toh dia yang tahu isi hatinya gimana. Lagian, sebagai teman kok lo mendukung perbuatan gak sopan orang itu ke teman kita sih, Al?"
"Kita-kita udah dewasa kali, Dit. Jadi kalo bicara tentang 'perbuatan' orang dewasa yang katanya tertarik, so why not? Lagian doi kelas kakap banget, ya gaes ya. Beruntung banget tau si Raju kalo dapet jodoh kayak gitu."
"Matre." aku menyahutinya dengan jengah.
"Matre pake banget." Radit pun setuju denganku.
"By the way, Ra, gimana rasanya bibir orang ganteng nan tajir itu?" tanya Alya dengan senyum menggodaku. "Pasti hot parah, 'kan?!"
Deg.
Haduh, kenapa aku jadi malu rasanya.
"Cieee ... mukanya merah. Gue gak bakal jatuh cinta lah, bakal gentayangin-lah. Fix ini sih jodohnya si Raju."
"Enak aja! Gue bukan naksir dia! Gue cuma– cuma polos, Al. 'Kan gue dulu pacaran ama monyet, jadi cuma sampe cium pipi doang. Sekalinya cium bibir juga cuma nempel. Bukan kaya si predator mesum itu. Udah level dewa kali ciumannya."
Alya cekikikan sendiri. "Gue penasaran rasa bibirnya Om Kiki. Kira-kira rasa dollar apa rasa rupiah yaa ...." Alya masih saja menggodaku.
"Rasa recehan," jawabku ketus. "Ayo, Dit! Cabut!" aku bangkit diikuti oleh Radit. Beberapa langkah meninggalkan Alya, sahabatku itu berteriak, "Mau kemana woi, Rajuuuu?"
"Mau ke istana Buckingham. Mau ngobrol sama pangeran William."
...----------------...
Aku melangkah bersisian dengan Alya dan Radit berjalan keluar kampus. Sudah pukul setengah enam sore, dan aku berniat naik mobil Alya bersama Radit juga.
"Om KIKI!" tiba-tiba Alya teriak sambil melompat-lompat kegirangan.
Apa sih? Mana mungkin–
Ha?
Aku tidak salah lihat, itu benar si Reiki yang sedang berdiri bersandar pada mobilnya dengan gaya 'kerennya'. Kacamata hitam, kemeja biru muda lengan panjang yang sudah digulung hingga ke siku, dan celana hitamnya, mampu menyihir kaum hawa yang melihatnya. Tangannya menyilang di dada, dan kakinya juga menyilang santai.
Lagi acara pemotretan apa sih tuh orang? Sok keren banget ya gayanya.
Tapi herannya, tidak ada satupun yang berani mendekat ke arahnya. Penghuni kampus hanya berani berbisik tak jauh darinya. Dan meskipun banyak kaum hawa yang terlihat kesenangan melihat Reiki, seolah mereka melihat aktor hollywood, tapi tak ada yang benar-benar berani menghampiri pria beraura dewa itu. Hanya kamera-kamera ponsel yang saat ini menyorot ke arahnya. Dan sepertinya dia tidak keberatan dengan itu semua.
Tebar pesona.
Ku rasakan jari-jari Alya mencubiti lenganku. Dia kegirangan seolah sedang melihat artis. Sia-sia saja aku menceritakan kepadanya, seberapa tidak sopannya pria itu kepadaku.
"Ganteng banget, Raju, ganteng banget. Gue mau dong tanda tangan dia."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Hafiz Ghany
ngomong nya si zura bikin ngakak Thor polos lucu🤣🤣🤣🤣
2021-03-29
1
Bagas Alrasyaka
maen nyosor aja tuh om Kiki wkwkwkkk lanjut thor
2020-10-16
1
⚜🌲ʀͨᴀͫʜͬᴍᴀ ᴅͭᴀͤɴͭɪͤᴀͪ ᵛˡ༻
aw aw aw
kang sosor rupanya mas Rey 😂😂
2020-08-03
2