Berfikir, Zuraa ...
Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini tapi tidak sampai membangunkan pria besar yang sedang menindih sebagian tubuhku ini?
Refleks aku mendekap dadaku sendiri. Dadaku berdebar. Kalau ciuman dari pria itu saja aku tidak bangun waktu tertidur pulas, apalagi kalau dia hanya bergerayangan saja ya kan?!
Kontan aku ngeri membayangkan kalau sampai itu terjadi.
Oke, aku hanya perlu mengangkat perlahan lengan Reiki yang berada di perutku ini.
Pelan-pelan ...
Perlahan ...
Tapi–
Kenapa berat banget sih?
Ya ampun! Ini manusia apa batu? Apa dia kebanyakan dosa? Serius, aku tidak bisa mengangkat lengannya sedikitpun. Bahkan aku merasakan kalau lengannya makin erat memelukku.
Huh!
Sial, aku tahu,
Dia pasti sudah bangun.
"Tetap seperti ini, Sayang ..." katanya serak sambil mengecup leherku. "Aku masih mengantuk."
tuh kan,
"Siapa suruh Mas Rei tidur di sini?" tanyaku kesal. Aku masih berusaha melepaskan lengannya, tapi susah. Ini orang ngeselin banget!
"Kita nikah aja yuk! Aku tidak bisa tidur sendiri lagi. Aku harus tidur sama kamu." nada ucapannya itu seperti; kita makan ketoprak aja yuk! Bosan aku sama Steak.
"Perasaan waktu itu ada yang bilang kkalau menikah atau gak menikah tuh sama aja deh," sindirku.
"Hmm ... Jadi kamu udah sepaham denganku?" suaranya masih malas. Aku yakin matanya masih terpejam saat ini.
"Ya nggak lah–"
"Ya sudah, kamu maunya apa, hm? Kalau aku maunya ya tidur sama kamu, dipeluk kamu, dicium kamu, dicumbu kamu, dibuk–"
"Stop!" ngeri mendengar kalimat apa lagi yang akan dia ucapkan. Aku masih polos, plis.
Aku merasakan kalau dia tersenyum di leherku. "Mau lewat nikah pakai buku? Atau langsung saja, hm?"
Mudah sekali dia mengucap hal-hal yang seharusnya dapat diucapkan dengan romantis dan terencana. Karena di sanalah awal mula masa depan seorang gadis dimulai.
Makanya ... aku tidak mudah percaya padamu, Reiki.
"Lepasin, Mas Rei ..." tanganku masih berupaya melepas lengan besarnya.
"Sstt ... jangan menyingkirkan tanganku, Sayang. Nanti kalau tanganku malah bergerak pindah itu pindah ke atas ... trus nanti kamu malah enak ...." bisiknya sambil menggigit pelan daun telingaku.
Ke atas? Kemana?
Aku melihat langit-langit kamar lalu perutku. Maksud dia atas mana sih?
Atas? Atas perut? Dada– oh ****!
Aku menahan gejolak di dadaku. Ini bahaya. Aku sedang dalam terkaman sang predator.
"Aku mau ke kamar mandi!" seruku setengah menjerit.
"Oke-oke, Sayang," dia bukannya melepas lengannya, tapi dia malah naik ke atasku dan mencium bibirku tiba-tiba. Singkat saja. Tapi mampu membuatku berdebar sambil melotot padanya. "Morning kiss, Baby ...."
Dia berbalik dan menelungkupkan badannya, alias kembali tidur. Buru-buru aku turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi.
Setelah buang air kecil, aku pun mencuci muka dan menggosok gigi. Hanya itu. Karena aku tidak berani mandi tanpa membawa pakaian ganti. Sedangkan yang ada di kamar mandi hanyalah handuk atau bathrobe saja. Mana mungkin aku sehabis mandi hanya menggunakan salah satu itu di depan pria mesum seperti Reiki?
Cari mati namanya.
Ralat –cari ternoda– namanya. Huh!
Kembali ke kamar aku melihat Reiki masih dalam posisi telungkup. Hanya saja wajahnya menoleh ke arahku berdiri. Dan kemudian saat merasakan kehadiranku, dia membuka mata.
"Kenapa Mas Rei gak tidur di kamar Mas Rei sendiri sih?" tanyaku sambil bersandar di dinding. Tanganku bersedekap.
"Ini juga kamarku, Sayang."
"Oh jadi semua kamar di apart ini milik Mas Rei? Benar sekali. Jadi kenapa Mas Rei masih saja menyuruhku untuk tinggal di sini, hah?"
Dia memiringkan badannya dengan sebelah tangan menopang kepalanya, dia menatapku. "Kamarku itu berarti kamarmu. Dan kamarmu itu berarti kamarku."
Ya ampun.
Aku merasa dijebak dan terjebak.
"Kalau begitu aku mau cari kamar pribadiku sendiri saja di kosan–"
"No."
Aku melangkah cepat menuju pintu kamar, bermaksud untuk keluar. Sedikit berlari namun ternyata Reiki malah sudah melesat dari ranjang dan berlari mengejar ke arahku.
Spontan aku menjerit takut sambil mempercepat langkahku. Takut tertangkap. Karena aku mau keluar dari kamar yang berbahaya ini.
Hampir saja aku mencapai pintu kamar, tangan Reiki sudah menangkap pinggangku. Dia tertawa lepas. Raut wajahnya bahagia karena telah berhasil menagkapku. Tawanya itu sering dia perlihatkan saat berdua denganku saja. Karena di depan orang lain, dia kembali berwajah dingin dan tak berperasaan.
Sekejap aku memperhatikan tawanya, dan ternyata aku suka. Yap, aku suka melihatnya tertawa seperti itu. Hatiku menjadi hangat karenanya.
Tapi kemudian ...
Dia memanggulku di bahunya dan berjalan ke arah balkon.
Apa aku akan dilempar dari balkonnya?
...⛲⛲⛲...
Johan itu lebih tua dariku, bahkan lebih tua dari Reiki sepertinya. Atau dia seumuran Reiki, entahlah. Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, saat pertama kali aku memanggilnya dengan 'pak', dia tidak mau. Lalu aku berinisiatif dengan menambah embel 'Mas' saat bicara padanya, tapi dia malah melarangku. Katanya cukup sebut namanya saja.
Mana bisa seperti itu?
Aku tidak bisa dengan mudahnya memanggil nama pada orang yang jauh lebih tua. Kemarin-kemarin aku menghindari untuk menyebut namanya langsung ataupun dengan embel-embel lain yang dia tidak mau. Aku hanya bicara seperluku tanpa menyapa.
Lagi pula, Johan seperti tidak punya selera bicara banyak. Dia tuh selalu dalam mode siaga. Tampangnya serius dan auranya cukup membuat orang enggan menyapanya.
"Om Johan!" panggilku dengan sengaja. Aku ingin melihat reaksinya. Dia membukakan pintu mobil untuk kunaiki.
"Jangan seperti itu, Nona."
Aku belum berniat masuk mobil. "Trus aku harus gimana biar enak panggil kamunya? Masa nama doang?"
"Johan saja. Cukup."
"Ya ampun Pak Johan, Om Johan, jangan persulit aku dong. Gimana kalo Mas johan?"
"Maaf, Nona. Tidak pantas rasanya calon istri bos memanggil saya sama seperti saat memanggil bos."
Calon istri?
Siapa?
Aku memijat keningku.
Ya terserah kalian lah. Johan ya Johan! Aku menyerah.
"Ya udah, Johan," kataku mengalah. Dia mengangguk serius menunggu ucapanku. "Gak usah antar aku lagi ya, gak penting juga. Janji deh, aku gak bakal kabur, toh kalau aku kabur, Mas Rei pasti dengan mudahnya dapat menemukanku. Dan lagi, gak bakal akan ada yang menculik aku juga. So, tenang aja. Gak perlu kawal-kawal atau jaga. Aku mandiri kok. Aku bisa sendiri kemanapun aku mau. Aku terbiasa sendiri tanpa ada yang mengantar."
"Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah." sahutnya datar.
Ya ampun ini orang. Tidak ada artinya omonganku barusan. Kesel!
"Aku mau pergi sendiri!"
"Silakan, Nona, saya pasti antar kemanapun Nona akan pergi."
Keras kepala. Persis tuannya! Kenapa sih Reiki itu menyebalkan sekali? Akhirnya aku membuka ponselku untuk menghubungi Reiki by chat saja.
Me : Mas Rei, aku mau pergi SENDIRI.
Reiki : Mau kemana?
Me : Mau jalan sama Alya. Tapi aku gak mau diantar Johan. Titik.
Reiki : Jalan kemana?
Me : Kepo
Reiki : Sayang, ini baru pukul 8. Kamu mau jalan KEMANA?
hehe ... Sepertinya dia sudah mulai marah. Ah sekarang aku senang membuatnya menarik ulur emosinya yang juara itu. Sejak mengobrol ringan yang singkat tadi di balkon, aku merasakan kenyamanan yang tak biasa. Entahlah, sepertinya aku mulai terbiasa dengan pria itu.
Me : Nanti siang mau ke mall sama Alya. Ya ampun, Mas Rei. Aku lebih baik bersama Alya sekarang, dari pada aku sendirian di apart, kan?!
Aku serasa bagaikan seorang anak yang sedang minta izin untuk pergi bermain dari ayahnya. Perasaan, Papaku saja tidak sebegini ketatnya memperlakukanku. Asalkan aku dapat bertanggung jawab di setiap perbuatanku, maka Papa akan selalu percaya padaku.
Reiki : Mau aku temani? Aku pulang sekarang?
Apa dia sedang menggodaku?
Baiklah,
Me : Boleh 😎
Agak jeda sejenak sebelum dia membalas lagi.
Reiki : Sayang, sorry aku ada meeting penting sebentar lagi. Aku akan percepat semua pekerjaanku, atau kamu yang kesini saja di kantorku?
Ya ampun ini orang. Ternyata salah besar kalau aku meladeni godaannya. Tidak, aku sama sekali tidak berminat ke kantornya.
Me : gak, mas. Aku mau ke kosan Alya. Yang tadi tuh. Cuma bercanda. 😀
Reiki : Alya saja yang kamu suruh datang ke apart, aku tidak mau kamu bertemu dengan teman kosan kamu yang lain.
Me : aku bosan di apart.
Sebenarnya aku tidak berniat untuk meminta izin dulu padanya. Toh aku masih manusia bebas tanpa ikatan. Jadi terserah aku mau kemana. Hanya saja ... masalahnya adalah Johan yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Memangnya aku bakal melakukan kejahatan gitu kalau aku tidak dikuntit?
Dan tujuanku bertanya pada Reiki adalah supaya aku bisa menunjukkan hasil chat dengan Reiki, bahwa aku sudah bebas alias tidak perlu diikuti lagi. Biar si Johan itu mengerti. Karena dia hanya mendengar perintah tuannya. Ya ... tentu saja.
Reiki : baiklah. Kamu boleh pergi diantar Johan.
Itu lagi.
Kembali ke awal lagi.
Bikin sebal!
Me : INTINYA AKU GAK MAU DIANTAR JOHAN! MAS REI NGERTI GAK SIH?!
Reiki : Johan akan tetap mengantar kemanapun kamu pergi. Aku harus meeting, sayang.
Ingin rasanya kulempar ponselku saking kesalnya, toh Reiki pasti akan membelikanku lagi. Tapi ... aku sayang ponselku.
Aku menatap sinis pada Johan. Puas lo! Tapi pria itu tak berekspresi apapun.
"Silakan, Nona!"
...⌚⌚...
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Aya Shopia
diiih pengen deh di posesifin hehehe
2020-11-13
1
Virna Putri
Zura ..nasibmu kini...sabar yaaa...smg orangtua Zura lekas kembali..kasian nih anak gadisnya dimesumin mas Rei terus...Klo suka knp ga gercep nikahin aja mas Zura nya?heheheh...nikah paksa gitu..langsung lamar mll ortunya..😁
ahh makin penasaran...lanjut Kaka July say 😍
2020-11-13
1
Bagas Alrasyaka
ywdh seh zura terima nasib aja..hehe
2020-11-13
1