"Akhirnya kamu mengerti bahwa aku lebih utama dibandingkan siapapun." sambut Reiki saat aku sudah tiba di ruangan kantornya.
Aku masih berdiri dengan tangan bersedekap, enggan untuk duduk ataupun melangkah. Puas, huh?
Reiki terlihat senang sekali melihatku ada di sini. Dia sedang sibuk dengan teleponnya saat aku datang tadi, tapi dia menjeda teleponnya sebentar hanya demi bicara padaku.
Aku diam saja. Tak berniat menyahut apa-apa. Pertanyaanku, sampai kapan aku diperlakukan seperti ini? Sampai kapan ini harus kujalani? Padahal aku masih punya mimpi.
Hanya kembalinya orang tuaku-lah satu-satunya harapanku agar bisa lepas dari pria itu. Solusi dari keegoisan Reiki yang seolah sudah memilikiku.
Bukan, bukan aku tidak menyukainya. Hanya saja ... dia membuatku terlalu sulit bergerak. Jadi sesuka apapun aku padanya, rasanya terlalu sia-sia aku membuang umur hanya karena kekangan dia yang bukan siapa-siapaku. Karena aku hampir tidak punya harapan masa depan bila dengannya.
Oh apakah aku berharap hubungan lebih dengannya?
Sanggupkah aku menghadapi dunianya?
Aku rasa ... tidak.
Reiki mengisyaratkanku dengan jemari tangannya agar aku mendekat padanya. Sementara dia masih melanjutkan percakapan di telepon. Lalu apa aku harus menurutinya?
Nope.
Akhirnya aku memilih untuk duduk di sofa yang ada di sana dan duduk dalam diam sambil menunggu dia menyelesaikan teleponnya itu.
Tak perlu waktu lama saat kudengar dia menutup telepon dan berjalan ke arahku.
Cup
Dia langsung mencium singkat bibirku yang membuatku terperangah dan mendelik padanya.
Sembarangan saja dia menciumku!
"Kenapa? Mau lagi?" tanyanya dengan sedikit penekanan. Aku mulai paham kalau dia selalu tidak suka bila aku menatapnya dengan buruk. Mata ini kan ya mataku!
Aku memutus tatapanku dan bersandar pasrah di sandaran sofa.
"Mas Rei cepetan deh makan siangnya, aku mau bantuin–"
"Tidak, Sayang."
Lagi, dia melarang kehidupanku. Aku ingin marah tapi aku mencoba untuk menahannya.
"Kamu tidak akan kemana-mana sampai aku menyelesaikan pekerjaanku tiga jam dari sekarang." dia menopang pipinya pada sandaran sofa sambil menatapku yang telah menoleh padanya.
Apa? Gimana maksudnya?
"Kenapa aku harus di sini?"
"Supaya kamu tidak perlu berada di tempat yang tidak semestinya."
"Tidak semestinya gimana sih, Mas? Sudah kubilang kalau Radit itu sudah aku anggap sebagai kakakku. Begitupun dengan ibunya yang sudah kuanggap juga sebagai ibuku. Kami sudah lama seperti ini. Mas Rei gak bisa seenaknya melarangku." kataku mulai meninggi. "Memangnya apa salahku sampai hidupku harus diatur olehmu sampai sebegininya? Aku masih muda. Aku juga punya kehidupan yang ingin aku jalani. Aku juga punya duniaku sendiri–"
Setetes air mata tak dapat lagi kucegah untuk meluncur karena sesak yang sudah tak mampu kutahan.
Tangannya langsung membawaku kedalam pelukannya dan menenggelamkan kepalaku di dekapannya. Dia mengelus-elus pelan rambutku, menciumnya lama dan berkata, "Sstt, oke baiklah, Sayang. Kamu boleh pergi tapi setelah kita makan siang."
Serius?
Semudah itu?
"Aku akan memberikanmu sedikit waktu untuk kedua temanmu itu. Tapi jangan nakal, hm? Karena mulai sekarang kamu harus terima dan terbiasa kalau aku adalah duniamu, Sayang. Kehidupanmu adalah semua tentangku."
Ternyata dia masih egois juga.
"Jangan lupakan juga Johan yang akan selalu mengantarmu."
"Aku masih bisa sendiri loh, Mas." kataku sambil melepaskan pelukannya. Jemarinya membersihkan sisa air mata di pipiku.
"Kamu pasti tahu kalau menolakku adalah hal yang sia-sia. Jangan membantahku, Sayang."
"Ya tapi kenapa? Alasan mas Rei menyuruh aku harus selalu diantar Johan itu apa?"
Dia diam sejenak sambil menatapku. Aku menunggu. Mataku balik menatapnya.
"Karena kamu special untukku." jawabnya kalem. "Aku tidak akan membiarkan kamu kabur atau pergi jauh dariku."
"Aku tidak boleh kabur? Sedangkan Mas Rei menghilang hampir dua bulan? Apa itu adil?"
Dia mengulum senyum. "Jadi kamu ingin aku disini terus? Di dekatmu?"
Aku salah bicara. "Bukan begitu,"
Dia tersenyum puas. Sepertinya dia bahagia atas apa yang ada dalam fikirannya. Padahal aku menanyakan itu karena memang masih terasa aneh untukku. Di saat dia melarangku menjauh, tapi kenapa justru dia yang pergi jauh kan?!
Terserahlah. Semau fikirannya saja.
Oh ya, apakah sekarang saat yang tepat untukku bertanya perihal hubungan dirinya dengan almarhum Dimas? Rasa penasaran akan selalu ada di sudut hatiku sampai aku dengar apa penjelasannya.
Aku menarik nafas dulu sebelum memulai, dan semoga saja dia tidak marah.
"Uhm ... aku ingin bertanya ...."
Dia menantiku berbicara sembari jemarinya mengelus-elus pipiku, yang membuatku jadi merasa ... terbiasa? Serius? Karena dia sering melakukannya saat kami sedang berduaan.
"Apa yang Mas Rei perbuat pada Dimas?" tanyaku hati-hati.
Dia menarik bibirnya ke bawah. "kalau kamu sebut nama itu, aku jadi sebal." ucapnya datar. Lihat? Bahkan pada orang yang sudah tiada pun dia masih punya rasa sebal.
Ck. Ini manusia apa sih?
"Serius?"
"Karena dia menyukaimu, Sayang. Tidak. Tidak boleh ada yang menyukaimu kecuali aku."
"Mas Rei tahu kalau Dimas sudah tiada?"
"Tetap saja tidak mengubah fakta bahwa dia pernah menyatakan cinta padamu."
"Mas Rei waras? Dia sudah meninggal loh. Masa masih sensi gitu sama dia?"
Reiki menatapku tajam.
Oo ... Sepertinya aku salah bicara. Memangnya apa sih yang aku ucapkan barusan sampai dia menurunkan tangannya dari pipiku dan menatapku dengan ... sadis?
Reiki berdiri menghadap jendela dengan kedua tangannya di dalam saku celananya.
"Aku memang punya masalah dalam emosi dan kebencian. Sekali aku membenci seseorang, maka selamanya aku akan benci. Meskipun dia sudah mati."
Glek.
Aku menelan ludah. Sepertinya aku mendapat sebuah jawaban bagaimana caranya agar dapat lepas dari pria itu. Tapi tentu saja dengan segala resiko yang akan aku tanggung juga.
"Aku mengirimnya ke Amerika supaya dia jauh darimu. Dan ternyata Tuhan berpihak padaku dengan mengirimnya lebih jauh lagi." kali ini dia menoleh sambil tersenyum kecil yang terlihat mengerikan di mataku.
Dia senang atas kematian Dimas, aku bisa melihat itu di matanya. "A-apa yang Mas Rei lakukan pada Dimas?"
"Dengan sedikit permainan bisnis, ya aku mengirimnya ke sana."
"Maksudku soal kematiannya. Ehm, sampai saat ini aku tidak tahu pasti penyebab kematiannya. Apa mungkin Mas Rei tahu sesuatu? Atau mungkin Mas Rei yang sengaja –ehm–"
Reiki mendekat ke arahku lagi. Dia membungkukkan badan sambil kedua tangannya mengurungku di sofa. Wajahnya mendekat padaku.
Aku gugup dan takut. Sumpah. Entah kenapa aura Reiki terasa menyeramkan. Apa dia akan menyakitiku juga? Aku sering membaca kisah-kisah di novel yang prianya mempunyai obsesi berlebih pada sang wanita. Dan tak jarang yang sampai tega melakukan kekerasan hanya demi sang wanita menjadi miliknya. Apa aku akan bernasib sama seperti itu?
"Jangan berfikiran buruk kepadaku, Sayang. Tidak sampai seperti itu kejadiannya. Dia memang memiliki penyakit kronis yang dia sembunyikan sejak lama. Dan kekasihmu ini hanya memaksa menawarkan bantuan untuk pengobatannya yang jauh dari kata murah itu."
"Tapi Dimas tidak miskin sepertiku," sahutku memberanikan diri. "Tentunya dia bisa berobat andai dia memang benar sakit."
Reiki tertawa kecil sambil mendekatkan wajahnya yang nyaris bersentuhan dengan wajahku. "Tanyakan saja padanya, Sayang. Kenapa dia menyembunyikan penyakitnya?" bisiknya dengan matanya terus tertuju pada bibirku.
Aku menahan nafas. Saat Reiki berbicara barusan dengan bibirnya yang menyentuh bibirku secara ringan dan sengaja.
Ini terlalu mengintimidasiku. Aku benar-benar kalah oleh auranya.
"Ingat, sayang ... Jangan pernah mendekati laki-laki manapun di belakangku. Atau ..." dia menggigit pelan dan menarik bibir bawahku. "Aku tidak akan dapat mengendalikan emosiku. Karena aku amat sangat mudah untuk cemburu." matanya berkilat gairah dan bibirnya mulai menyapu bibirku lagi dengan panasnya.
...💞💞💞...
Aku tidak percaya kalau akhirnya aku melangkah pulang ke apartemen Reiki. Awalnya aku ingin ikut turun bersama Alya yang tadi ikut mobil yang ku pakai tadi sewaktu pulang dari rumah Radit, tapi Johan langsung mengingatkanku tentang perintah tuannya yang menyuruhnya untuk membawaku kembali ke apartemen. Akhirnya dengan cemberut aku memandang sedih pada Alya yang sudah turun. Sedangkan aku menuruti Johan yang membawaku ke apart Galaxy Square.
Pukul 7 saat aku membuka pintu apart. Aku tidak tahu apakah Reiki sudah pulang atau belum. Tapi yang pasti aku berharap dia belum pulang.
Lampu masih dalam keadaan gelap yang itu artinya bahwa dia memang belum pulang. Oh syukurlah!
Niatku adalah aku akan tidur di kamar yang satu lagi, bukan kamar yang kudapati tadi pagi saat bangun tidur. Aku sudah yakini bahwa itu adalah kamar Reiki.
Baiklah, aku hanya harus menumpang tidur di sini kan. Maka segera aku mencari memilih pakaian untuk tidur dan segera pergi ke kamar mandi yang berada dalam kamar nomor dua untuk membersihkan diri. Setelah itu aku akan tidur tanpa perlu peduli apa yang terjadi di luar kamarku.
Sebelum pulang tadi, aku dan Alya sudah ditraktir makan oleh Radit. Yang artinya saat ini perutku dalam keadaan super kenyang. Ditambah banyaknya aku mencicipi kue-kue yang disiapkan Tante Vera untuk acara arisannya.
Sambil menggosok rambut basahku dengan handuk, aku menerima video call dari Alya. Dia sama kesepiannya denganku saat ini. Seharusnya kami tidur bersama sambil berbagi cerita alias gosip.
"Coba gue lihat isi kamar lo ..." teriak Alya di seberang.
Aku pun memutar ponsel ke setiap sudut ruangan agar Alya melihatnya. Biar hilang rasa penasaran anak itu. Persis seperti waktu baru-baru aku menempati kamarku di rumah Om Mandala, Alya pun kepo ingin tahu. Memangnya di kamarku ada apanya sih?
"Reiki ngasih lo barang apa gitu, Ra? Pelit amet dia! Kasih apa kek kalo katanya lo itu special..."
"Yee ... enak aja. Udah cukup baju-baju mahal itu jadi beban gue. Kalo ada barang-barang lagi yang dia kasih buat gue, maka beban gue semakin bertambah."
"Ngapain jadi beban? Baju bagus gitu kok jadi beban?"
"Bebanlah. Emangnya gue artis? Kalo pake baju mahal gitu bawaannya pengen gue jual. Naluri missqueen gue berontak."
"Hahaha ... Dasar ya OKB!"
"Gue bukan OKB, gue tetap orang biasa."
"Yelah, calon ratu masa depan wahahaha ..."
"Ratu dari Hongkong!"
"Om Rei belum pulang emangnya?"
"Napa lo nyariin? Kangen?"
"Cieeee ... Ada yang jealous. Hahay ...."
"Enak aja! Siapa yang jealous? Kagak tuh!"
Alya masih terus tertawa sambil menggodaku. Ingin kujambak saja rasanya rambut anak itu. Kalau dalam jarak dekat, mungkin aku dan Alya sudah guling-gulingan, bergulat di kasur.
Sekarang aku menaiki kasur dan duduk bersandar di kepala ranjang.
"Gue takut nih, Rajuuu ... Sepi banget deh ini kosan. Tetangga pada kemana yee ...."
"Elah, ngapain sih takut? Nggak ada apa-apa juga. Banyak-banyak berdoa aja supaya–"
"Stop! Gak usah lanjut! Gue mau nyari teman dulu deh ke depan, nongkrong cantik mumpung masih sore."
"Ya udah, jangan tidur malem-malem loh!"
"Iya-iya ibu ratuku yang ehemnya gede HAHAHA ..."
"Sialan lo."
Selesai mengobrol singkat dengan Alya, aku jadi ingin nonton tv. Aku belum mengantuk saat ini. Lagipula rambutku masih basah.
Berjalan keluar dari kamar, aku menuju sofa di depan Tv. Dan segera kunyalakan begitu aku sudah mendapat posisi yang nyaman di sofa.
Aku hanya perlu nonton Tv sebentar lalu tidur. Tapi rupanya semua acara di Tv tidak ada yang menjadi minatku sama sekali untuk menontonnya. Maka aku kembali ke kamar dan mengunci pintu lalu melempar diri di ranjang. Aku tidur saja meskipun belum ada pukul sembilan saat ini.
--
Aku bangun dengan rasa berat dan pegal di perutku. Saat kubuka mataku, betapa kagetnya aku saat menemukan Reiki yang melingkarkan tangannya di perutku, sedangkan kepalanya berada di leherku.
Bukankah semalam aku sudah mengunci pintu? Aku sangat yakin itu. Lalu mengapa pria besar ini malah ada di sini? Memelukku? Tidur bersamaku?
Astaga ...
...¤¤¤...
novel ini agak gimana gitu, 🙈
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Gechabella
nikah woy...gk baek begitu
2021-07-05
0
Aya Shopia
aku tuh ya kalo ngga nungguin up nya mira...kalo ngga ya up nya raju hehehe
2020-11-09
1
Virna Putri
ish mas Rei psyco kah???syeremmm...lanjut kak, penasaran...💪😍
2020-11-09
1