Happy reading!
. . .
Aku merasa ada yang salah dengan hatiku.
Sudah hampir sebulan ini Reiki mewajibkanku untuk pergi ke kampus. Sekalipun aku kuliah siang, selalu ada sopir yang diperintahnya untuk mengantarku.
Tante Widia dan Om Mandala bukan tidak tahu, tapi mereka melihat dari sudut pandang yang lain. Bahwa memang sudah seharusnya aku menggunakan fasilitas apa yang ada di rumah ini, termasuk mobil dan sopirnya. Oke, itu aman buatku. Setidaknya mereka tidak curiga juga saat Reiki seringkali mengajakku bersama di mobilnya. Bisa dikatakan kalau aku 'mungkin' sudah dianggap sebagai Helena. Walaupun hingga hari ini aku belum pernah bertemu langsung dengan Helena yang berada di Amerika.
Aku merasa ada yang salah dengan hatiku. Ya, entah kenapa aku merasa ... nyaman. Nyaman dengan keberadaan Reiki di sekitarku. Walaupun seringkali dia berpergian keluar negri untuk mengurus pekerjaannya, tapi dia selalu kembali dan menggodaku. Tapi tak seperti pada awalnya, kini dia sering tersenyum dan ramah padaku. Walau tetap saja mesum nomer satu.
Ini salah. Aku tahu. Kenyamanan ini salah. Aku takut begitu kenyamanan ini berkembang, maka berakhir dengan ... ah, tidak! Aku tidak akan pernah mengizinkan hatiku terlena dan terjerumus. Tidak akan pernah!
Aku ...
Aku takut.
.
"Rajuuu ... Pangeran Harry udah datang tuh! Buruan napa, kasian udah mendung. Nanti kalo dia kehujanan gimana?" Alya tergesa-gesa menghampiriku yang sedang membereskan buku.
"Hujan cuma air, Al."
"Lah lo maunya hujan apa? Hujan cinta?"
"Haha ... lucu." jawabku dengan tertawa garing.
Benar saja, saat aku sudah berpisah dengan Alya yang menuju mobilnya, sedangkan aku yang menuju mobil Reiki, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Awalnya aku berniat berlari, tapi sudah terlanjur basah. Akhirnya aku hanya berjalan santai menuju mobil pria itu.
Saat langkahku sudah mendekati mobilnya, terlihat Reiki yang sudah keluar dari mobil dan memakai payung. Dia berlari menghampiriku yang sudah tak butuh lagi payung atau apapun. Tubuhku basah, berikut dengan tasku yang untungnya berbahan waterproof.
"Kenapa main hujanan?" tanya Reiki dengan tatapan kesal. Seperti orang tua yang mengomeli anaknya.
"Terlanjur basah." jawabku ringan.
"Aku tidak mau kamu sakit ya,"
"Nggak akan."
Kami yang masih berbicara di bawah guyuran hujan. "Jangan kayak gini lagi!" katanya masih dengan nada perintah, seperti biasanya.
"Iyaaa ..."
"Jangan lupa bawa payung setiap hari!"
"Iyaaa ..."
Entah dapat ide dari mana, tiba-tiba aku sudah menarik paksa payung dari genggamannya, lalu berlari memutari mobil sambil membawa payung.
"Hei! Zura!"
Dia mengejarku karena tertinggal dari naungan payung. Sudah terlambat, tubuhnya juga basah. Aku senang dalam hati mempermainkannya. Karena aku bukannya masuk ke dalam mobil, aku malah memutari terus sekeliling mobil sambil menghindari tangakapannya.
"Honey, stop!"
Dia sudah meraihku. Aku menertawakannya yang ikut basah kuyup sepertiku. Kemudian di bibirnya terkembang senyum yang menawan, ciri khas miliknya. Dan aku mulai terbiasa dan menyukainya.
Gawat.
...***...
Keesokan harinya aku sudah berada di toko buku. Sambil menunggu Alya dan Radit aku memutari rak-rak buku bagian novel. Sudah lama rasanya aku tidak hunting novel baru. Setelah memilih dua buah yang terlihat menarik dari judulnya, aku mulai serius untuk membaca sinopsis ceritanya.
"Zura ..."
Suara itu tak asing di telingaku. Tentu saja. Pemilik suara itu adalah seseorang yang telah merebut cinta pertamaku. Mengisi hari-hariku selama kurang lebih empat tahun lamanya. Bahkan senyumnya masih sama. Senyum hangat yang menggetarkan, dan kurindukan.
Montana Ibram.
Suami orang, Zura, ingat itu!
Aku berhasil menahan senyum yang ingin kulayangkan. Aku berhasil mengendalikan perasaanku. Setelah sebulan yang lalu aku melihatnya, kini aku malah bertemu dengannya. Tapi tenang saja, Zura ... dia sudah bukan apa-apa.
"Ya?" dengan berat akhirnya suaraku keluar juga.
Ada yang aneh. Kenapa sekarang sorot matanya hangat lagi? Kemana tatapan bencinya saat pernikahannya dahulu?
"Apa kabar?" tanyanya.
"Sangat baik."
"Good."
Aku mengalihkan mataku kembali pada buku-buku di tanganku. Walau sebenernya sudah hilang mood-ku untuk mencari buku.
"Kamu pindah rumah? Aku ke rumahmu, tapi orang asing yang kutemui sebagai pemiliknya."
Montana mencariku?
Kenapa?
Papa memang menjual rumah kami, itu mengapa alasan aku dititipkan di rumah keluarga Fachri. Karena begitu kembali dari Jepang, papa bilang kami akan pindah ke Bali. Dan mungkin aku harus mencari pekerjaan juga di sana. Tapi itu nanti, sebelas bulan lagi. Dan setelah aku wisuda pastinya.
"Iya aku pindah. Dan ada urusan apa kamu mencariku?" tanyaku dingin.
"Aku ... aku berharap pemberian maaf darimu, Zura."
"Itu semua hanya masa lalu, Mota ... sudahlah, aku sudah memaafkanmu sejak lama."
"Zura ..." dia memegang tanganku. Aku menatap tangannya dengan tajam. Dia pun sadar, lalu segera melepaskan tangannya. "Bisa kita ngobrol sebentar sambil duduk? Aku mohon dengan sangat, Zura,"
Dia tidak ingin aku menolak, aku tahu. Maka aku hanya mengangguk kecil dan meletakkan kembali novel yang ada di tanganku. Kemudian aku mengikutinya yang berjalan di depanku. Dia membimbingku menuju restoran cepat saji. Aku duduk di sebuah meja, sedangkan dia entah membeli apa.
Tak lama dia kembali dengan dengan burger, kentang, dan dua buah soda. Aku tidak berminat makan, jujur saja. Aku hanya mengambil soda yang disodorkannya.
"Silakan bicara, aku masih ada janji." kataku setelah menyesap sodaku.
Montana menatapku sesaat sebelum dia membuka suara. "Aku minta maaf, Zura. Aku benar-benar minta maaf."
"Aku sudah maafin kamu, Mota."
"Aku sudah cerai."
Aku agak tersentak mendengar ucapannya. Tapi aku tidak boleh bereaksi apapun, aku harus memasang wajah datarku. Karena laki-laki di depanku sudah tak berarti apa-apa lagi dalam hidupku. Usahaku sudah terlalu berat untuk mengikhlaskannya, melepasnya dengan wanita lain.
"Aku baru tau kalau ... semua yang terjadi adalah perbuatan Mamaku." lanjutnya.
Aku masih belum mengerti apa dan mengapa dari ucapannya. Tapi aku hanya diam saja menunggunya bicara sambil memainkan sedotanku di dalam gelas.
"Setahun yang lalu, aku dijodohkan. Ya, aku sudah pernah cerita ke kamu tentang niatan orang tuaku itu. Tapi waktu itu aku meyakinkanmu untuk percaya padaku. Hanya saja ..."
Dia menarik nafas sebentar. Sedangkan aku, masih datar. Walau nyatanya dadaku sedang berdegup tak karuan. Tapi aku tidak boleh kalah. Aku telah bangkit. Aku tak mau terjatuh di lubang yang sama.
"Mama memberiku foto-fotomu dengan seorang laki-laki. Awalnya aku tidak percaya. Tapi begitu aku menyaksikan langsung kamu digendong laki-laki itu, dan kamu berbohong tentang kebenaran, maka aku jadi percaya dengan perkataan mamaku."
"Laki-laki siapa?" nada suaraku tidak suka. Mungkin agak sedikit meninggi. Enak saja kalau aku dituduh selingkuh. Aku yang cinta mati dengannya mana mungkin selingkuh.
Montana mengeluarkan sebuah foto yang tampak sudah lusuh. Seperti telah berkali-kali diremas atau malah sudah dibuang lalu dia pungut lagi.
Aku mengambil foto itu dan memperhatikan dengan seksama. Tapi kurasa tidak perlu memperhatikan pun aku tahu itu siapa.
Aku tak menyangka. Mama montana menggunakan foto dan kedekatanku dengan laki-laki di foto itu sebagai senjata untuk menghasut Montana dan akhirnya berhasil memisahkan aku dengan anaknya.
"Aku sudah tau itu siapa." kata Montana dengan sarat penyesalan.
"Dia abangnya Indah, tetanggaku. Yang bahkan sudah punya dua anak. Saat itu dia menggendongku karena aku habis terserempet motor."
"Iya, aku tau." Montana hampir berbisik. "Aku sangat menyesal, Zura. Aku langsung menceraikan Dinar. Karena aku memang tidak pernah mencintainya. Aku menikah hanya karena ingin membalas sakit hatiku padamu yang jelas-jelas adalah sebuah kesalahan."
Aku diam mencerna semua perkataan Montana dan artinya untukku, untuk hatiku. "Tadi kamu bilang aku bohong tentang kebenaran, itu maksudmu apa?" tanyaku masih dengan dinginnya.
"Waktu itu aku menguji kamu. Aku menelfon setelah kamu memasuki mobil laki-laki itu. Dan kamu menjawab kalau kamu di rumah,"
"Aku tidak mau kamu tau tentang kecelakaan kecilku saat kamu sendiri sedang ada meeting penting."
"Ya ... ya ... Zura. Aku tau kamu sebaik itu. Aku tau kamu setulus itu cinta padaku." katanya sambil meraih tangan kiriku yang bebas. "aku dengan bodohnya lebih percaya pada mamaku dibanding dirimu..
"Maafkan aku, Zura ... maafkan aku."
Aku memperhatikan tangannya yang menggenggam erat tanganku. Mataku nanar dan melayang pada kejadian lebih dari setahun yang lalu itu. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan saat ini. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kuinginkan. Apa yang kuharapkan.
Aku hanya butuh waktu sebentar lagi saja untuk mengartikan perasaanku.
Sebentar saja.
"Ampuni aku, Zura ... terima aku kembali, kumohon."
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Hafiz Ghany
huuuft .....sll deg degan hatiku zurra,,
nasibmu 😩😩😩😩
2022-01-09
0
Bagas Alrasyaka
suka cerita'a Thor lanjut thor
2020-10-16
1
Aya Shopia
aaaaa crazy up dong kk
2020-10-16
1