Selamat membaca!
Aku duduk di sudut, di lantai, sambil menunggu dokter yang sedang menangani Radit di ruang gawat darurat. Aku memeluk kedua lututku dengan air mata yang terus meleleh tanpa kuingin mengusapnya. Ada Alya yang mondar-mandir dengan tidak sabar. Tangisannya masih bersisa sesenggukan yang tiada henti.
Tadi, setelah aku memohon, dua orang tetangga kosan dan Alya juga ikut memohon, akhirnya Reiki mau juga membawa Radit ke rumah sakit dengan mobilnya. Karena di kosanku tak ada mobil lain selain mobil Reiki.
Perkataannya yang menyebutku berkhianat masih terngiang di kepalaku. Namun keadaan Radit lebih mengkhawatirkanku.
Setelah tiba di rumah sakit, kami sibuk mengurusi Radit yang sangat membutuhkan pertolongan. Namun Reiki pergi begitu saja. Dia hanya mengirimiku chat singkat bahwa urusan kami belum selesai. Dan aku mengabaikannya, tidak peduli.
Hanya Radit yang memenuhi perasaanku saat ini.
Setelah penantian yang terasa lama, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat yang menangani Radit dan langsung dicecar pertanyaan oleh Alya. Aku hanya sanggup menonton dari tempatku. Rasanya tubuhku terlalu lemas untuk sekedar bangkit.
"Gimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Alya sambil menahan isaknya.
"Sekarang ini sudah kami tangani tapi pasien masih belum sadar," kata dokter seraya melangkahkan kaki. "Sabar ya, Mbak. Kami akan tinjau lebih lanjut keadaannya."
Alya mengangguk pelan dan menangis lagi. Begitupun dengan diriku yang terisak di pojokan. Ini sungguh menyakitkan. Radit adalah bagian dari aku dan Alya. Kami tiga serangkai sejak masa sekolah dulu, sejak remaja. Aku jadi teringat candaan singkatku tadi yang malah membawa petaka untuknya.
Aku merutuki diriku sendiri.
Tak lama Radit sudah dipindahkan ke ruang rawat, sedangkan kami belum boleh menemuinya, kata suster. Maka aku dan Alya saling diam duduk di bersisian di kursi tunggu.
Selama beberapa puluh menit dalam kebisuan, akhirnya Alya mulai buka suara. Sejak tadi aku memang tidak ingin mengatakan apa-apa. Rasanya dosaku saat ini terlalu besar. "Lo apain Radit, Ra?" tanyanya pelan tapi cukup aku dengar dengan jelas.
"Maafin gue, Al ... Hiks," aku menangis lagi sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.
Ku rasakan Alya memelukku erat dan membawaku kedalam dekapannya. Diapun menangis lagi. Kami terisak bersama.
"Bukan salah lo, Raju ... Gue tau bukan salah lo ..."
Tangisku semakin kencang saja.
Alya menepuk-nepuk punggungku pelan. Dia yang kemudian menghentikan tangisan lebih dulu. "Udah, udah, lo buang ingus di baju gue kan jadinya. Jorok, elah."
Aku menarik kepalaku dan menerima tissu yang Alya sodorkan. Lalu aku mulai mengelap wajahku, dan masih dengan sesenggukan.
"Untung gue udah pindah dari sana ya ..." kataku pelan. Mengingat bagaimana rasa sesalku andai masih tinggal di rumah keluarga Maheswara.
"Seram banget tuh orang!"
"Gila dia ..."
"Emang lo lagi ngapain sama Radit sampe si Reiki segitu emosinya?" tanya Alya hati-hati.
Aku menoleh dan menggeleng. "Ngapain emangnya? Cuma bercanda, Al. Kita bertiga kan emang sedekat itu ya kan?! Emang kita suka bercanda kayak sodara ... apa salah?"
Alya tersenyum kecil. "Berarti salah gue karena nggak ada di TKP."
"Ha?"
"Ya kalau ada gue kan, si Reiki nggak akan salah paham. Ya, nggak?! Berarti itu orang yang cemburu butanya kelewat parah."
Aku menghela nafas. Cemburu apa kok sampai seperti itu? Aku semakin ingin menjauh dari siapapun anggota keluarga Maheswara . Sungguh, aku ingin segera berlari kepelukan kedua orang tuaku dan kami hidup jauh-jauh dari sini. Tentu saja, pengecualian untuk Radit dan Alya. Mereka adalah paketan dalam hidupku.
Setelah diam sejenak aku berucap dengan perih, "Gue udah bikin Radit menderita, Al ... Radit pantas buat marah dan salahin gue."
"Ssssttt ..." Alya mengelus punggungku. "Kita kenal Radit lama, Ra. Udah pasti dia nggak akan nyalahin lo." gadis itu seperti baru teringat sesuatu. "Eh tadi tetangga kosan gue mau lapor polisi,"
"Trus?" aku terkejut. Tapi aku harap mereka benar melaporkan pria jahat itu ke polisi. Reiki yang jahat.
"Gue larang."
"Kok?"
"Gue yakin Reiki dan keluarganya pasti nggak semudah itu dipidana'in, kan?! Kita cuma rakyat jelata, Ra ... kita pasti kalah."
Benar juga.
Ahhh ... Keluarga Maheswara itu terlalu besar, berkuasa, dan berpengaruh.
Alya benar, kami memang bukan apa-apa bila mengkasuskan kejadian ini. Tapi dengan keadaan Radit yang seperti ini malah membuatku jadi membenci Reiki. Pria jahat itu ...
Aku benci padanya.
**
Aku baru saja kembali dari toilet saat menemukan Reiki sudah berdiri sambil memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Dia bersandar di dinding yang menghadap ke ruangan tempat Radit mendapatkan perawatan.
Aku bimbang, haruskah aku kembali ke toilet agar terhindar darinya? ataukah aku langsung menerobos ke ruangan Radit saja? Yang penting aku tidak ingin bertemu Reiki saat ini, apapun alasannya.
Akhirnya aku memilih opsi kedua, aku langsung berjalan ke arah pintu ruangan tanpa menoleh sedikitpun kepadanya. Tapi belum saja mencapai pintu, kurasakan lenganku ditahan dengan kuat oleh seseorang. Siapa lagi? sudah pasti Reiki.
"Azzura, tunggu! Kita perlu bicara." ucapnya tegas.
Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya walau ku tahu itu pasti tidak berguna. "Nggak! Gak ada yang perlu dibicarakan."
"Harus. Kita harus bicara."
"Aku gak mau."
Tau-tau dia sudah menyeretku seenaknya menjauh dari ruangan Radit. Walaupun aku memukul-mukul tangannya supaya lepas dari tanganku, tapi dia tetap bergeming. Aku tahu, melawannya pasti selalu berakhir dengan percuma. Alias aku kalah.
Aku malas untuk mengeluarkan suara. Selain tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang sedang berada di rumah sakit, aku juga amat sangat dendam dengan pria yang sedang menyeretku sekarang.
Dia membawaku ke kantin rumah sakit. Setelah memaksa tubuhku untuk duduk di salah satu kursi, tangannya masih saja tidak melepaskanku. Dia pasti tidak ingin aku kabur tentu saja.
Aku membuang muka. Muak melihat wajah tampannya yang jahat. Aku ingin segera kembali ke lantai tiga tempat dimana Radit berada.
"Tatap aku, Sayang." ucapnya pelan namun tegas.
Aku tidak menurutinya.
"Tatap aku, atau kamu aku cium di sini." ancamannya berhasil membuatku menoleh padanya.
Dia yang salah, tapi dia yang lebih galak.
Aku menatapnya dengan benci. Serius, aku sangat benci padanya sekarang.
"Jangan tatap aku seperti itu, aku tidak suka."
Tatapanku tidak berubah hingga dia mengecup pipiku sekejap. Refleks aku menoleh kanan kiri pada orang-orang yang sedang berada di kantin. Aku khawatir tindakan pria itu barusan dilihat oleh orang lain.
Itu membuatku semakin kesal saja. Kenapa pria ini selalu memaksakan kehendaknya padaku? Bahkan hanya tatapanku saja dia yang mengaturnya. Ini mataku! Hello ...
"Katanya mau bicara? Cepetan! Aku harus menemani Radit." ucapku tak sabar. Lebih tepatnya aku sedang menahan emosi.
"Dia masih lebih penting dari pada aku?" tanyanya dengan nada tidak suka.
Ya Tuhan.
Ini manusia macam apa sih?
Sudah jelas-jelas dia bersalah telah melukai Radit, ralat- hampir membunuh Radit, tapi dia masih memikirkan dirinya.
Sekarang aku menatapnya sengit. Masa bodo. "Mas Rei gak merasa bersalah hah? Mas Rei hampir membunuh Radit dan Mas Rei masih tidak suka kalau aku memikirkan Radit?"
Dia hanya diam menatapku.
"Mas bilang aku berkhianat?" lanjutku. "Padahal aku sama Radit sudah seperti saudara sejak sekolah dulu. Kami biasa bercanda seperti itu, karena memang tidak ada perasaan apa-apa. Tapi kenapa–"
Aku menyentak tanganku yang akhirnya terlepas juga. Aku mengusap wajahku supaya aku tidak menangis lagi. Dan aku menunduk menatap meja.
Dia mengecup keningku singkat sambil berbisik, "Sorry ... aku hanya marah karena kalian terlalu intim. Dan aku tidak suka itu."
Hanya marah katanya?
Hanya marah dan hampir membunuh?
Gila.
Aku menatapnya lagi dengan tajam.
"Jangan heran, aku mendapat info dari orangku kalau kamu dan temanmu itu hanya berdua di dalam kosan." katanya lagi tanpa rasa bersalah.
Jadi dia memata-mataiku?
Kufikir dia hilang ditelan bumi tapi rupanya dia malah selalu mengintaiku dari jauh?
Makin gila.
"Aku hanya lepas kendali sedikit karena emosi, dan aku sudah dijelaskan juga tadi oleh Alya mengenai hubungan kalian bertiga. Aku pastikan kalau kakakmu itu akan sembuh seperti sedia kala."
Aku menggebrak meja.
Dengan entengnya dia mengatakan itu semua tanpa rasa penyesalan?
Dia bilang hanya lepas kendali sedikit padahal Radit hampir mati?
Aku.benci.Reiki.
Tanganku ditahannya lagi saat aku hendak pergi dari tempat itu. "Mau kemana, Sayang?"
"Aku 'harus' menemani Radit."
"Tidak perlu. Tadi ibunya sudah datang."
"Apa?" oh Tuhan ... bahkan Tante Vera sudah datang. Dia pasti sedih sekali melihat kondisi Radit sekarang. Aku harus menghiburnya juga.
Karena aku tahu Reiki pasti tidak akan melepaskan tanganku, maka satu langkah kuambil. Aku menggigit kuat sekali tangannya pria itu. Namun tak ada reaksi apapun darinya. Dia tidak berteriak ataupun bersuara. Wajahnya hanya datar seolah yang kulakukan hanyalah sebuah gigitan semut belaka. Tapi satu yang pasti, cekalannya di tanganku merenggang. Dan itu kumanfaatkan untuk melepaskan diri dan lari secepatnya untuk menjauhinya.
Setelah berhasil meninggalkan kantin rumah sakit, dan kupastikan dia tidak mengejarku, akhirnya aku bernafas lega di dalam lift yang akan membawaku ke lantai tiga. Aku hanya merasa harus segera menemui Tante Vera dan menjelaskan semua yang terjadi. Itu adalah tanggung jawabku.
Aku yang bersalah.
Ting.
Itu bukan suara lift terbuka, melainkan suara notif chat masuk ke dalam ponselku. Segera kurogoh saku jaketku dan melihat siapa yang mengirim chat padaku.
Sayang, kamu sudah berani melawan ya. Aku sudah tidak sabar untuk segera menghukummu. -Reiki-
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Ulfatun Nashihah
ihhh kesel sama sikapnya reiki, tapi aku syukaaaa ceritanya, next kaka
2020-11-01
1
Aya Shopia
aaaaaaaa akhirnyaaaa up juga kk....aku suka... next kk
2020-11-01
1
Virna Putri
Mas Rei syereeemmm ih...ada bibit psyco apa ya????😨😨😨...makin penasaran kak...lanjut terus ya kak...🙏😍
2020-11-01
1