Kamar itu di selimuti kegelapan. Aroma lembab yang berjamur tercium di seluruh isi ruangan. Jacelyn selalu merasa dirinya terdesak kapan pun dia memasuki kamar itu. Sekarang, dia sedang merasakan hal itu. Segera Jacelyn langsung mengambil nafas dalam untuk menenangkan dirinya.
Sebuah lilin menyala di atas meja dekat dengan tempat tidur paman Oilbhries. Jacelyn hampir tidak bisa melihat wajah pamannya dari balik bayangan. Dirinya selalu merasa khawatir akan terjadi sebuah kebakaran sebab lilin yang lupa di matikan. karena kebiasaan pamannya yang akan langsung jatuh terlelap setelah mabuk tanpa sempat mematikan lilin terlebih dahulu.
Jacelyn mencoba memanggil pamannya. Namun, lelaki itu tidak menjawab penggilan darinya. Dengan terpaksa Jacelyn berjalan mendekati ranjang tempat di mana lelaki itu berada, sampai dirinya menyadari akan keberadaan Jacelyn di sana.
Suara lelaki itu terdengar serak. Dia memberi isyarat pada Jacelyn untuk mendekat dengan melambaikan tangannya. Dan setelah Jacelyn duduk di kursi samping tempat tidur, Paman Oilbhries mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Jacelyn.
Lelaki itu tersenyum lemah pada Jacelyn. Jacelyn menghembuskan nafas lega. Paman Oilbhries sedang menjadi lelaki melankolis malam ini. Jacelyn berharap hal itu bertahan cukup lama agar dirinya bisa menjelaskan secepat mungkin, lalu pergi dari kamar itu sesegera mungkin.
"Duduklah di samping ku sementara aku akan menceritakan padamu kisah yang baru saja ku ingat saat aku pergi berperang dengan ayahmu. Apa aku pernah menceritakan padamu kalau dia selalu menyanyikan lagu yang sama tiap kali terompet perang ditiup? Dia juga selalu bernyanyi sepanjang peperangan berlangsung."
"Paman, sebelum kau memulai cerita, aku ingin mengatakan sesuatu hal yang penting terlebih dahulu dengan mu."
"Apakah mendengar kisah tentang Ayah mu itu tidak penting?" katanya.
Jacelyn tidak menanggapi pertanyaan itu. "Ada sesuatu yang harus ku beritahu padamu," ujarnya.
"Apa itu?"
"Apa kau bisa berjanji, kau akan mencoba untuk tidak marah setelah mendengar perkataan ku?"
"Kapan aku pernah marah pada mu?" tanya paman Oilbhries, dirinya tidak sadar akan ratusan malam di mana dia selalu melampiaskan kemarahannya pada Jacelyn. "Sekarang, ceritakan padaku apa yang mengganggu mu, Jacelyn. Aku akan tersenyum selama kau membuat pengakuan."
Jacelyn mengangguk dengan melipat kedua tangannya di atas pangkuan. "Setiap musim panas, adikmu Bibi Olivia dan suaminya selalu membawaku ke sebuah acara festival diperbatasan. Paman Noriie mempunyai kerabat di sana."
"Aku tahu itu," sanggah paman Oilbhries. "Berikan gelasku padaku dan teruskan penjelasan mu. Aku ingin tahu kenapa kau tidak menceritakan tentang festival ini padaku sebelumnya."
Jacelyn mengamati di setiap tegukan anggur yang mengalir di tenggorokan pamannya. Tanpa terasa perut Jacelyn telah mulai bergejolak, bahkan sudah semakin parah. "Bibi Olivia berfikir kalau akan lebih baik jika tidak memberitahukan itu pada mu atau ibu... dia pikir itu akan membuatmu merasa kesal karena tahu aku bergaul dengan orang Stewart."
"Yang kau katakan itu benar," Paman Oilbhries menyetujuinya. Dia kembali meneguk minuman yang ada di dalam gelas nya. "Aku biasanya tidak memiliki kebencian sebesar itu, tapi akan ku beritahu kalau ibumu memiliki alasan mengapa dia membenci mereka. Aku juga bisa mengerti mengapa kau tidak menceritakannya. Aku tahu kau pasti sudah melewati banyak kesenangan. Aku belum begitu tua hingga aku bisa melupakannya. Namun, aku tetap saja harus menghentikan semua ini. Kau tidak akan pergi ke perbatasan lagi."
Jacelyn mencoba menahan amarahnya. "Pada festival pertama yang ku kunjungi, aku bertemu dengan seorang gadis bernama Ainsley Callista Chloe. Dia dan aku segera menjadi teman baik. Sampai Ainsley Callista menikah dan pindah dari daerah perbatasan, kami selalu menjalin pertemanan kami setiap musim panas di festival itu. Dan aku sudah berjanji padanya, dan sekarang sudah tiba waktunya bagiku untuk memenuhinya. Aku harus berpergian untuk sementara waktu," Jacelyn mengakhiri penjelasan nya dengan bisikan lembut.
Penjelasan Jacelyn, membuat paman Oilbhries menatap Jacelyn dengan mata merah melotot. Jelas terlihat kalau lelaki itu kesulitan untuk mengikuti arah penjelasan Jacelyn. "Apa maksud dari penjelasan mu itu?" Tuntut paman Oilbhries. "Kemana memangnya kau akan pergi?"
"Pertama-tama aku akan memberitahu mu tentang janji yang telah aku buat saat aku umur belasan tahun."
Jacelyn menunggu pamannya mengangguk sebelum mulai menjelaskan. "Ibu Ainsley Callista meninggal saat melahirkan dan neneknya juga meninggal dengan cara yang sama."
"Itu bukan hal yang aneh," gumam paman Oilbhries. "Banyak wanita yang meninggal saat sedang melakukan tugasnya."
Jacelyn berusaha agar dirinya tidak terpengaruh dengan apa yang di katakan oleh pamannya, yang terdengar tidak memiliki belas kasihan sedikitpun itu. "Beberapa tahun lalu, aku mengetahui dari Ainsley Callista kalau sebenarnya neneknya meninggal beberapa waktu setelah seminggu melahirkan. Dan itu tentu saja adalah kabar yang memberikan sebuah harapan."
"Kenapa itu memberi harapan?"
"Karena itu berarti kematian neneknya bukan di sebabkan oleh pinggang yang sempit."
Jacelyn menyadari jika dirinya terlalu banyak menjelaskan, tapi kerutan di wajah paman Oilbhries mengganggu konsentrasinya.
Paman Oilbhries mengangkat kedua bahunya acuh. "Tetap saja dia meninggal karena melahirkan," ujarnya. "Dan kau seharusnya tidak melibatkan dirimu untuk memikirkan masalah yang sangat intim seperti ini."
"Ainsley Callista percaya kau dia akan meninggal," kata Jacelyn. "Hal itu membuat aku ikut memikirkan mengenai masalah ini." Lanjutnya.
"Ceritakan lebih jauh tentang janji yang kau buat," perintah paman Oilbhries. "Tapi, tuangkan sedikit anggur manis itu untukku sementara kau menjelaskan."
Jacelyn mengosongkan anggur terakhir dari kendi kedua. "Ainsley Callista memintaku berjanji untuk mengunjunginya saat dia hendak melahirkan. Dia ingin aku berada di sisinya saat dia meninggal. Itu bukanlah suatu hal yang besar untuk di minta, dan aku segera menyetujuinya. Aku sudah membuat janji itu bertahun-tahun yang lalu, tapi setiap musim panas, aku akan selalu memberitahunya kalau aku belum berubah pikiran. Aku tidak ingin temanku meninggal," kata Jacelyn. "Dan karena alasan itulah, aku mempelajari sebanyak mungkin yang aku bisa mengenai metode melahirkan terbaru. Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari masalah ini. Bibi Olivia benar-benar membantu. Selama dua tahun ini, dia sudah mencarikan banyak bidan berpengalaman untuk ku wawancarai."
Paman Oilbhries sangat terkejut dengan pengakuan Jacelyn. "Apa kau menganggap dirimu ini sebagai seorang penyelamat wanita ini? Jika Tuhan menghendaki temanmu, maka keterlibatan mu itu bisa menodai jiwamu dengan dosa. Kau bukanlah siapa-siapa, dan sekarang kau berani menganggap dirimu cukup penting untuk membuat sebuah perbedaan?" kata Paman Oilbhries dengan nada mencemooh.
Jacelyn menolak untuk bertengkar dengan pamannya. Dirinya sudah terbiasa dengan kata hinaan sang paman sehingga penghinaan itu tidak terasa menyakitkan. justru Jacelyn merasa bangga dengan pencapaian itu, tapi tetap saja dirinya sedari tadi, sedang mencoba mencari cara agar bisa menghilang rasa sakit di perutnya. Jacelyn menutup kedua matanya, menarik nafas panjang lalu melanjutkan ceritanya. "Waktu Ainsley Callista semakin sempit dan keluarganya sedang dalam perjalanan untuk menjemput ku. Aku akan merasa sangat aman. Aku yakin, setidaknya akan ada dua wanita yang menemaniku dan sejumlah lelaki untuk menjaga keselamatanku."
Kepala Paman Oilbhries bersandar di bantal. "Demi Tuhan, kau meminta izin pada ku agar kau bisa pergi ke perbatasan? Dan apa yang harus ku katakan pada ibu mu saat dia kembali dan tidak menemukan mu?"
Jacelyn tidak sedang meminta izin, tapi dirinya tidak mengemukakan hal itu pada pamannya. Pamannya itu memejamkan mata. Dia terlihat seperti hendak tidur. Jacelyn tahu dirinya harus segera bergegas supaya bisa mengatakan semuanya sebelum pamannya itu terlelap karena mabuk.
"Aku bukan akan pergi ke daerah perbatasan," Jacelyn memulai. "Aku akan pergi kesebuah tempat yang di namakan Dataran Tinggi, jauh di Utara, di sebuah daerah terpencil dekat Morey Firth."
Kelopak mata pamannya membuka "Aku tidak ingin mendengar ini semua," raungnya.
"Paman..."
Paman Oilbhries mengulurkan tangan untuk menampar Jacelyn, tapi Jacelyn sudah lebih dulu memindahkan kursi tempat dia duduk jauh dari jangkauan pukulan lelaki itu.
"Aku sudah cukup membicarakan hal ini," lelaki itu terlihat sangat kesal hingga urat di samping lehernya terlihat menonjol.
Jacelyn terlihat memberanikan diri untuk menghadapi kemarahan pamannya. "Tapi, aku belum selesai bicara," desak nya.
Paman Oilbhries terhenyak. Jacelyn selalu menjadi anak pendiam dan pemalu. Gadis itu belum pernah mementangnya sebelumnya. Apa yang sedang merasukinya? "Apakah Olivia yang telah menanamkan ide buruk ini kedalam otak mu?" tuntut paman Oilbhries.
"Aku sudah tahu tentang ayah ku."
...🍁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments