Heru memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Bagaimana dia menjawabnya? Pikirannya kembali bimbang padahal dia sudah mengatakan penolakannya pada Marshal. Tapi kali ini keadaannya berbeda.
Setelah Marshal menjelaskan pertemuannya dengan Viona tidak sengaja, katanya. Marshal kembali mengajukan tawarannya pada Heru dan mengatakan jika dia benar-benar ingin membantu Heru untuk terbebas dari masalah perusahaan. Marshal bilang dia tidak tega melihat rekannya kesusahan dan berada dalam jurang kebangkrutan.
Tadinya Heru sudah bulat tidak akan menerima tawaran Marshal. Tapi Marshal bersikukuh mengajukan penawaran dan dia bilang jika dia juga benar-benar menginginkan Viona untuk dia nikahi.
Heru tidak tahu pasti alasan Marshal ingin menikahi Viona, tapi dia tidak peduli. Dia tidak bisa merelakan Viona begitu saja. Apalagi jika Viona menikah dengan orang yang tidak dia cintai. Heru tidak tega.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Marshal. Dia sangat menantikan jawaban Heru setelah barusan Marshal mengatakan beberapa kalimat yang kembali menggoyahkan penolakan Heru.
Dan terlihat jika usahanya merayu Heru mulai berhasil karena Heru dari tadi hanya terdiam. Beberapa kali membuang dan menarik napasnya berat. Terlihat bimbang membuat Marshal tersenyum senang.
"O iya, Tuan," ucap Marshal, "apa Anda tidak pernah membahas tentang saya pada Viona? Kenapa dia tidak mengenali saya?"
Heru yang tadinya menunduk, mulai menengadah melihat pada Marshal yang sedang duduk bersebrangan dengannya. "Saya sudah mengatakannya pada Viona. Tapi, Viona memang tidak tahu Anda. Kalian belum pernah bertemu, kan?"
Marshal mengangguk-anggukan kepala. Pantas tadi Viona tidak mengenalinya. Untung saja tadi dia memperkenalkan nama tengahnya. Jadi, Viona tidak mengetahui dia adalah seorang Marshal. Laki-laki yang ingin menikahinya. Jika Viona mengetahuinya, sudah pasti tadi Viona akan menghindar.
"Apa Viona mengatakan sesuatu?" tanya Heru gusar. Dia pikir Marshal tadi sudah membahas masalah tawaran itu dengan Viona. Jadi,dia pikir mungkin Viona sudah menjawabnya.
Tapi, itu tidak mungkin. Jika Viona sudah menjawabnya, untuk apa Marshal kembali mengajukan penawarannya? Atau Viona sudah menolaknya, makanya Marshal kembali membujuk Heru?
"Tidak banyak yang kami katakan, Tuan. Kami tidak membahas masalah ini karena Viona tidak mengenali saya sama sekali. Jadi, saya kembali menemui Anda untuk membicarakan hal ini."
"Tapi, berarti Viona tahu nama Anda? Dia-"
"Tidak," potong Marshal. "Saya tidak menyebutkan nama depan saya. Dan kami tidak membahas apapun."
Heru menghela napas lega. Pantas saja Viona bersikap biasa saja saat pulang tadi. Ternyata Viona belum tahu siapa Marshal.
Hela napas panjang. Marshal berdiri dari duduknya diikuti Rio yang dari tadi terdiam di sampingnya. "Maaf, Tuan. Sepertinya saya harus pergi, ada rapat setelah ini. Saya sudah lumayan lama meninggalkan kantor," ucapnya disertai senyuman ramah.
Heru ikut berdiri dan mereka berjabatan tangan.
"Pikirkan kembali, Tuan! Tawaran saya sangat Anda butuhkan," ucap Marshal setelah mengucapkan salam dan meninggalkan kediaman keluarga Pratama.
Huhfthh...
Heru membung napasnya berat setelah mobil yang ditumpangi Marshal meninggalkan halaman rumahnya.
Heru naik ke lantai atas menuju kamar Viona. Dia akan membicarakan hal ini dengan Viona. Tapi, dia masih ragu dan saharusnya dia tidak goyah dengan argumen-argumen yang Marshal lontarkan tadi. Tapi, entah kenapa perasaan bimbangnya kembali menghampiri, padahal dia sudah melupakan tawaran Marshal sepenuhnya.
Tadinya, Heru hanya akan fokus memperbaiki hubungannya dengan Viona yang jadi berbeda. Tapi, Marshal kembali datang dengan sejuta kalimat persuasifnya membuat Heru kesusahan berpikir kembali.
Baru tangannya akan memegang gagang pintu kamar Viona, dering ponsel mengurungkan niatnya karena nama sekretarisnya tertera di sana. Heru membelokan arah kakinya melangkah. Dia tidak jadi masuk ke dalam kamar Viona dan malah kembali turun ke lantai dasar menuju ruangan kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga.
Lunglai seketika. Heru duduk dengan lemah di kursi kebesarannya setelah menutup sambungan panggilan. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Perusahannya semakin krisis. Tinggal menunggu detik-detik tiba saatnya dia mengumumkan kebangkrutan perusahannya.
Heru tersenyum kecut. Melempar gelas yang ada di atas meja kerjanya ke dinding hingga pecah tidak menyisakan kepingan. Semuanya buyar seperti pasir sangking kerasnya benturan.
Sekarang hidupnya hancur karena dia tidak berguna menjadi pemimpin. Baik di keluarga maupun perusahaan. Dia tidak becus dalam mengurusnya sampai semua kehancuran ini tiba. Heru marah pada dirinya sendiri. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa kehancuran terasa menyakitkan padahal dia sudah menyiapkan hati untuk mengikhlaskan? Tidak seharusnya dia merasa sedih. Kehancuran ini sudah diprediksi jauh-jauh hari. Harusnya dia lapang dada menerimanya seperti yang pernah ia katakan saat menokak tawaran Marshal. Tapi, kenapa sekarang rasanya berbeda? Dia merasa sangat terpukul dan ikut hancur. Tidak rela jika harus kehilangan banyak perusahaannya yang dia rintis sedari muda dan kini hancur secara tiba-tiba.
Banyak peluh, banyak kenangan di perusahannya yang menjadi saksi bisu perjuangannya membangun usaha sendiri tanpa campur tangan orangtua.
Semua keluh, semua kesah kembali berputar dalam benaknya di saat dia rela begadang demi memajukan perusahaan. Dia rela tidak makan bahkan tidak jarang tidur di kantor hanya karena ingin menyelesaikan pekerjaan.
Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Semuanya sirna dan dia akan hidup seperti orang yang tidak pernah berjuang. Luntang lantung tidak jelas menahan pahitnya dunia. Dia harus memboyong keluarganya dari kemewahan yang sudah lama menemani hari mereka. Dia harus rela melihat anak dan istrinya menderita. Rela melihat banyak keluarga menderita karena ulahnya yang tidak berguna menjadi pemimpin.
Tidak. Heru tidak akan kuat melihat semua karyawan dan keluarganya menderita. Dia tidak bisa melihat semua orang sengsara hanya karena ulahnya yang tidak berguna. Tidak. Heru tidak akan kuat.
"Argh!" Heru menjambak rambutnya dengan frustasi. Dia bisa gila jika dihadapkan dengan kondisi seperti ini terus setiap hari.
****
Pagi-pagi Viona keluar dari kamarnya saat mendengar kegaduhan di lantai dasar. Dia segera menuruni tangga. Ada banyak orang yang berlarian dengan panik. Para pekerja di rumah itu berjalan dengan tergesa lewat dari ruangan bagian belakang. Viona jadi bingung sendiri. Ada apa ini?
"Mama!" Dia menghampiri Lina yang juga terlihat panik. Wajahnya bahkan sudah berlinang air mata. Ada apa sebenarnya? Kenapa semua orang terlihat panik seperti ini?
"Viona!" Lina langsung memeluk Viona dengan erat saat Viona mendekat. Dia menangis semakin kencang. "Papa, Viona, Papa ...."
Viona tertegun. Perasaannya jadi tidak enak. Ada apa dengan Heru? Kenapa semua jadi panik seperti ini? Baru Viona akan bertanya pada ibunya, dua orang pekerja di rumah itu terlihat melintas di depannya dengan mendorong brangkar. Viona langsung lemas seketika saat melihat orang yang terbaring di atas brangkar itu.
Heru?
"Papa kenapa, Ma?" tanya Viona dengan panik. Dia tidak bisa bergerak melihat ayahnya terbaring lemah melintas di depannya.
"Papa ditemukan tidak sadarkan diri di ruangan kerjanya," jelas Lina dengan terisak.
Viona tidak menghiraukan Lina. Dia segera berlari keluar dari rumah menyusul brangkar yang di bawa para pekerja tadi. Lina juga menyusulnya dengan kepanikan yang sama besarnya. Mereka berangkat ke rumah sakit terdekat untuk membawa Heru.
Sepanjang perjalanan mereka tidak bisa tenang hingga mereka sampai di rumah sakit pun, keduanya terus mengucapkan doa dalam hati. Heru sudah di tangani oleh dokter. Dengan tidak sabarnya mereka menunggu di luar sesuai intruksi suster pendamping dokter yang memeriksa Heru.
Tangisan Lina sudah mulai mereda. Namun, dia masih khawatir dan tidak bisa berpikir dengan jernih, sedangkan Viona mondar mandir dengan gelisah di depan Lina yang sedang duduk dengan cemas.
Viona sangat ketakutan. Dia cemas dengan keadaan Heru. Dokter juga sangat lama memeriksa membuat Viona semakin khawatir. Ada apa dengan Heru? Kenapa sampai tidak sadarkan diri? Pertanyaan itu selalu singgah di benak Viona. Tidak henti-hentinya dia mengucapkan doa supaya Heru baik-baik saja dan segera sadarkan diri.
"Dokter, bagaimana keadaan Papa?" tanya Viona dengan tidak sabaran saat dokter laki-laki baru saja keluar dari ruangan tempat Heru diperiksa.
Lina ikut mendekat dengan panik. "Bagaimana keadaan suami saya, Dok?"
Dokter itu menghela napas terlebih dahulu. "Tuan Heru belum sadarkan diri. Kami akan tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik. Untuk sementara waktu, beliau belum bisa di jenguk sampai beliau sadar," tutur dokter tersebut dengan sedikit tenang.
"Tapi papa tidak apa-apa, kan? Papa baik-baik saja, kan?" tanya Viona dengan cemas.
Dokter itu menggeleng dan tersenyum. "Tuan Heru tidak apa-apa. Hanya sedikit ngedrop mungkin strees atau apa. Saya juga belum mengetahui sebab pastinya. Tapi sebentar lagi beliau akan segera sadar. Kami sudah menanganinya dengan baik. Kalian berdoa saja, semoga beliau memang baik-baik saja."
Viona mengangguk dengan pelan. "Terima kasih, Dok."
Dokter tersebut berlalu setelah mengucapkan, "Sama-sama."
Viona menuntun Lina untuk duduk kembali di kursi tunggu. Dia belum tenang jika kondisi Heru belum dikabarkan baik. Apalagi sekarang belum juga sadarkan diri. Mereka teramat sangat cemas. Ada apa dengan Heru? Kenapa dia sampai seperti ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Michelle Avantica
hmmm.. sepertinya gak ada pilihan lain buat Viona selain menyetujui ayahnya ya🤔
2021-02-07
1
Bibir Cantik
4
2021-01-29
1
👑
like again
2020-12-16
0