"Bagaimana keadaan Papa, sekarang?" tanya Viona yang baru saja masuk ke dalam ruangan tempat Heru di rawat.
Dia menutup pintu kembali dan mendekat pada ranjang tempat Heru yang sedang dalam posisi setengah berbaring. Lina masih setia menemani suaminya. Dia sangat perhatian terlihat dari ketelatenannya saat menyuapi Heru menikmati sarapan.
"Papa sudah semakin baik," jawab Heru. Dia merentangkan tangannya yang masih dipasang selang infusan. Sekarang dia tidak lagi memakai alat bantu pernapasan.
Viona berhambur memeluk ayahnya sejenak. Tidak lupa juga untuk mencium pipi Heru dengan hangat. "Cepat sembuh, Pa!"
Heru mengangguk dan mengelus kepala Viona dengan sayang. "Papa akan sembuh jika kalian selalu menemani Papa," ucapnya disertai sedikit gurauan.
Viona hanya tersenyum. Mengambil alih tugas Lina untuk menyuapi Heru dan duduk di samping ranjang ayahnya, sedangkan Lina berjalan menuju jendela besar ruangan. Membuka gordennya supaya cahaya mentari pagi bisa masuk ke dalam ruangan itu.
"Kak Vino ke mana, Ma?" tanya Viona pada Lina. Viona mengusap bibir Heru dengan tissue saat dia nyuapinya belepotan.
"Ke kantor. Gantiin papa handle masalah," sahut Lina yang mendudukan diri di sofa berwarna biru muda di sudut ruangan sembari melihat anaknya yang dengan penuh perhatian menyuapi Heru.
Viona mengangguk-anggukan kepalanya. Mengambil air putih di meja dan menyodorkannya pada Heru. "O iya, Pa," Dia membantu Heru meneguk air dari gelas bening karena takut Heru kesusahan saat tangannya yang lemah jadi gemetar. "untuk tawaran tuan Marshal-"
"Udah, gak usah kamu pikirkan! Lupakan masalah itu!" potong Heru saat dia sudah selesai menelan airnya dengan pelan.
Viona menyimpan kembali gelasnya di atas meja. "Kenapa? Tawaran itu masih berlaku, kan? Aku akan menyetujuinya."
Mata Heru membulat sempurna. Terkejut dengan ucapan Viona dan segera menggeleng. "Jangan, Viona! Papa sudah menolak tawaran itu. Kamu tidak boleh menyetujuinya!"
Lina mendekat sama terkejutnya. Dia tidak tahu menahu kelanjutan dari tawaran itu karena Heru tidak pernah bilang padanya jika dia sudah menolak tawaran itu. Dan yang semakin dia kagetkan adalah saat Viona bilang akan menyetujuinya.
Kini Viona yang terkejut. "Papa sudah menolaknya? Kapan?"
"Sudahlah, lupakan saja! Jangan bahas tawaran itu lagi!" Heru memalingkan wajahnya ke samping. Melihat pot bunga lavender yang diletakkan di sudur ruangan lebih baik daripada menghadapi anaknya. Jika membahas masalah ini, hati Heru selalu tidak nyaman. Rasa sakit bercampur rasa bersalah dan penyesalan selalu ia rasakan membuat dia tidak bisa mengingatnya lagi. Semuanya sudah hancur dan tidak ada harapan lagi. Heru sudah ikhlas dengan semua konsekuensinya dan akan segera mengumumkan kebangkrutannya.
"Kenapa, Pa? Bukankah tawaran itu satu-satu jalan supaya perusahaan Papa tertolong?"
Heru kembali menghadap Viona. Dia menggeleng. "Papa sudah ikhlas. Papa tidak mau melihatmu tersiksa. Jadi, papa tolak tawaran itu. Lebih baik-"
"Tidak ada yang lebih baik dari menyetujuinya, Pa!" sambar Viona dengan tegas. "Tidak ada kata baik jika perusahaan Papa hancur. Kenapa Papa jadi menyerah seperti ini?" Viona menatap Heru dengan nanar.
Kenapa Heru jadi pesimis seperti ini? Jiwa pahlawan sejuta daya juang ini kenapa jadi lemah? Kenapa Heru menyerah begitu saja? Viona pikir Heru akan tetap mencari jalan keluar dengan mati-matian. Tapi, ternyata Heru malah pasrah saat diujung kebangkrutan.
"Aku akan menyetujui tawaran tuan Marshal. Aku gak mau liat Papa hancur dan banyak orang menderita," ucap Viona dengan tegas. Dia berlalu begitu saja keluar dari ruangan tidak mempedulikan teriakan Heru dan Lina yang mencoba melarangnya.
Tekadnya sudah bulat. Dia akan menyetujui tawaran itu demi menyelamatkan perusahaan ayahnya. Dia tidak mau melihat Heru yang menyerah dengan kehidupan seperti itu. Semuanya belum berakhir dan Viona akan berjuang demi keteguhannya sendiri.
Heru berteriak dengan kencang memanggil nama Viona. Menyuruhnya untuk kembali dan tidak boleh menyetujui tawaran Marshal. Tapi telat. Viona sudah keluar dari ruangan. Heru hanya bisa meraup wajahnya dengan kasar. Lina tidak henti-hentinya menahan Heru yang lemah itu supaya tidak turun dari ranjang.
Viona dengan sifat keras kepalanya itu tidak akan mudah dibujuk jika sudah punya tekad yang bulat. Dia pasti melakukan segala cara sekalipun menanggung konsekuensi yang berat. Makanya dari awal Heru tidak membiarkan Viona untuk menerimanya jika terpaksa. Karena dia sangat tidak mau jika nantinya Viona tersiksa dan tidak bahagia dengan pernikahannya.
Heru juga tidak paham dengan pikiran anaknya. Kenapa Viona memutuskan untuk menyetujuinya? Padahal beberapa hari kebelakang, Viona terlihat menghindar. Heru pikir Viona membencinya dan akan menolak tawaran itu. Tapi, keputusan Viona pagi ini sangat mengejutkan bagi Heru.
Viona menyetujuinya?
Heru tidak bisa menerima kenyataan itu. Terlalu menyakitkan jika melihat anaknya menyetujui tawaran Marshal hanya karena terpaksa demi membantu sang ayah bangkit dari jurang kehancuran.
***
"Maaf, Mbak. Kak Vino ada di mana, ya?" tanya Viona pada sekretaris ayahnya.
Dari rumah sakit dia langsung bergegas menuju kantor pusat perusahaan Heru. Dia meyakini bahwa Vino sedang berada di sana menghandle masalah sang ayah.
Dan di sinilah dia sekarang. Di depan ruangan ayahnya dan berdiri di depan meja sekretaris Heru yang bernama Julia.
"Selamat pagi, Nona!" sapa Julia dengan hormat. Viona hanya tersenyum alakadarnya. Dia sedang buru-buru dan ingin segera menemui Vino.
"Kak Vino di mana? Aku ingin menemuinya," tanya Viona kembali.
"Di dalam, Nona. Tuan Vino sedang berdiskusi dengan departemen keuangan dan juga direktur." Julia melirik pintu ruangan kerja Heru yang ada di depannya.
Viona melirik pintu besar berwarna cokelat itu dengan bingung. Pintunya tertutup rapat. Viona ragu untuk masuk jika Vino sedang sibuk. Tapi, dia sudah tidak punya waktu lagi. Dia harus bertemu dengan Marshal. Dan hanya dengan pelantara Vino dia bisa tahu di mana Marshal karena Viona tidak mengenal Marshal itu siapa dan yang mana orangnya.
"Mbak, jika aku masuk gak apa-apa, kan?"
Julia terdiam. Melirik pintu ruangan Heru dengan bingung. Tidak mungkin dia melarang Viona untuk masuk. Tapi, di dalam sedang membahas masalah penting perusahaan takutnya malah menganggu atau Vino akan memarahinya karena membiarkan Viona masuk begitu saja di saat seperti itu.
"Aku masuk saja, ya, Mbak? Gak apa-apa, kan? Aku buru-buru soalnya. Hal penting. Please, Mbak," ucap Viona dengan memohon.
Julia menatap Viona dengan bimbang. Tapi dia juga tidak mungkin melarang anak pemilik perusahaan untuk masuk ke dalam. Akhirnya dia mengangguk setelah berpikir sejenak.
Viona mengucapkan, "Terima kasih." Dan langsung masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu.
Semua orang yang berdiskusi di dalam, menoleh ke arah pintu dengan terkejut. Sama halnya dengan Vino yang sedang duduk di sudut meja kerja Heru menghadap dua orang bawahan ayahnya. Dia terkejut melihat kedatangan Viona di sana.
"Adek? Ngapain kamu ke sini?" tanya Vino yang memang posisinya sedang menghadap langsung ke arah pintu.
"Nona!" Dua laki-laki berjas yang tadinya duduk di hadapan Vino, mereka berdiri dan membungkuk hormat pada Viona.
"Maaf, Kak. Aku gak sopan. Tapi ada hal penting yang harus kita bicarakan," ucap Viona dengan tergesa. Tidak menghiraukan sapaan orang lain. Fokusnya hanya pada sang kakak.
Vino segera menghampiri Viona dengan panik. Pikirannya langsung tertuju pada Heru. Dia jadi tidak bisa tenang. "Ada apa? Papa baik-baik aja, kan?"
Mendengar pertanyaan Vino, dua orang lainnya yang ada di ruangan itu ikut panik. Kepala departemen keuangan dan direktur itu langsung cemas mengingat keadaan Heru yang dikabarkan sedang di rumah sakit.
Viona menggeleng. "Bukan papa. Tapi hal lain."
Hhh! Semua orang membuang napasnya lega.
"Penting banget? Kakak sedang sibuk."
Viona mengangguk dan Vino mempersilakan dua orang lain itu untuk meninggalkan mereka dulu. Vino mengajak Viona duduk saat dua bawahan ayahnya itu sudah keluar.
"Kenapa? Ada hal apa sampai kamu datang ke sini? Kabar papa baik-baik aja, kan?"
Viona duduk di sofa menghadap pada Vino. "Papa baik," ucap Viona. "Kakak tahu tuan Marshal, kan?"
Vino mengangguk walaupun belum mengerti ke mana arah pembicaraan adiknya. "Kenapa memang?"
"Aku ingin menemuinya."
Viona mengernyit. "Untuk apa?"
Viona menghela napas panjang saat menatap Vino dengan lekat. Keputusannya sudah bulat. "Aku akan menyetujui tawarannya."
"Apa?" Vino menatap adiknya tidak percaya. Dia terkejut. "Kenapa kamu menyetujuinya?"
Menatap Vino tidak paham. Viona membuang napasnya kasar. "Kakak tanya 'kenapa'? Kak, bukankah ini yang harus aku lakukan? Kenapa sekarang kakak malah nanya 'kenapa'?"
Vino diam. Otaknya langsung kosong. Dia tidak menyangka jika Viona akan benar-benar menyetujuinya.
"Kak," panggil Viona, "antarkan aku untuk menemuinya! Aku akan mengatakan jika aku setuju dengan tawarannya. Aku rela menikah dengannya asalkan dia membantu papa. Aku gak mau liat papa hancur, Kak."
Vino masih diam memandangi wajah serius adiknya dengan lekat. Dia tidak tahu harus bicara apa sekarang. Bibirnya terasa kelu dengan berbagai kata yang bergolak dalam otak untuk dikeluarkan pada Viona. Tapi, bibirnya hanya bisa terkatup tidak bisa berucap sepatah kata pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Trisna Wahyuni
terlu lambat ceritanya thour
2021-02-26
1
Michelle Avantica
Nah kan..
2021-02-07
1
Encik_Sombong
Mohon maaf thour,cuma mau kasih saran aja. Kalau misalnya kata Heru ditujukan pada anak-anak nya seharusnya diganti dengan kata papa thour karna biar agak sopan,maaf ya cuma kasih saran aja.
2020-12-16
2