Karena Keterpaksaan
"Bagaimana, Tuan? Apa Anda menyetujui penawaran saya?"
Laki-laki setengah baya itu menunduk. Dia tahu, tawaran Marshal adalah tawaran yang selama ini dia nantikan. Yang dia inginkan untuk menopang kerugian di perusahaannya supaya tidak mengalami kebangkrutan.
Tapi bukan itu. Bukan itu masalah yang dia inginkan saat ini. Dia tidak mungkin menuruti penawaran Marshal jika syaratnya harus merelakan putri bungsunya sebagai tameng menyelamatkan perusahaan. Tidak bisa dan tidak mungkin dia lakukan.
Viona adalah gadis satu-satunya yang dia miliki. Heru sangat menyayangi anaknya melebihi perusahaan. Tapi, keadaan memang memusingkan. Jika perusahaan bangkrut, maka nasib keluarganya juga yang akan menjadi taruhan. Keluarganya akan ikut terdampak dan itu artinya, Viona juga akan merasakan hidup menderita jika kebangkrutan itu tiba.
Tidak. Heru tidak mau melihat anak dan istrinya hidup sengsara. Dia harus berusaha untuk menyelamatkan perusahaannya demi mempertahankan kebahagiaan keluarga.
"Tuan, saya hanya ingin menikahi putri Anda. Saya akan menjamin, jika Anda memberikan putri Anda pada saya, maka dapat dipastikan jika perusahaan Anda tidak akan mengalami kebangkrutan sekalipun," bujuk laki-laki muda berusia 28 itu lagi. Berulangkali dia memberikan penawaran menarik untuk membujuk. Namun, Heru tidak juga menunjukkan ketertarikannya.
Heru menatap Marshal dengan sendu. Menggeleng tegas. Dia tidak mungkin memberikan anaknya jika harus dipertaruhkan demi perusahaan. Bagaimanapun juga, kebahagiaan keluarga lebih utama daripada perusahaannya.
"Apa Anda yakin, Tuan? Penawaran saya sangat menggiurkan dan tentu saja menguntungkan," ucap Marshal sembari tersenyum. "Lagian, saya tidak yakin dengan kebahagiaan keluarga jika perusahaan Anda terkikis. Kalian hanya bergantung dengan perusahaan, dan jika perusahaan terhenti, apa yang akan terjadi?"
Benar. Ucapan Marshal memang benar dan Heru juga berpikir demikian. Tapi dia tidak mungkin rela untuk melepaskan Viona. "Tuan, mintalah hal lain jika Tuan menginginkan timbal balik dari saya, asalkan jangan putri saya, Tuan."
Marshal tersenyum. Mengangkat gelas berisikan kopi hitam dari atas meja lalu menyesapnya sedikit sebelum dia simpan kembali. "Maaf Tuan, jika saya harus mengatakan ini," ucap Marshal dengan sungkan. "Apa yang bisa Anda berikan pada saya, sedangkan perusahaan Anda saja sedang tidak stabil. Kalaupun Anda punya sesuatu yang berharga, mungkin alangkah lebih baiknya jika digunakan untuk menunjang perusahaan daripada diberikan kepada saya."
Selalu benar. Lalu apa yang harus Heru lakukan? Dia memang sudah kehabisan cara untuk menopang kerugiaan perusahaan, bahkan jika diperbaiki dengan semua harta yang dia punya pun, Heru rasa tidak akan cukup karena masalah yang perusahaannya alami terlalu besar untuk dihadapi seorang diri. Dia butuh investor yang bersedia menanam sahamnya dengan jumlah besar dan selama ini, Heru tidak kunjung mendapatkannya. Mungkin semua investor juga akan berpikir dua kali jika harus menanamkan saham di perusahaan yang berada di ambang kebangkrutan.
Lama Heru terdiam membuat Marshal menyeringai senang. Dia rasa Heru akan menyetujui keinginannya. "Jadi, bagiamana, Tuan?"
Heru tetap menggeleng hingga Marshal harus menghela napas dalam melihatnya. "Tawaran saya hanya akan saya berikan sekali. Jadi, saya rasa Anda harus mempertimbangkannya dengan baik!"
Hela napas dalam, embuskan. Heru menatap Marshal dengan intens, dia menggeleng kembali. "Tidak bisa, Tuan. Saya tidak mungkin melakukan kebodohan seperti itu," ucapnya dengan lirih namun penuh penekanan.
Marshal harus memutar otak untuk membujuk Heru yang keras kepala ini. Sepertinya, Heru tergiur dengan tawaran Marshal. Namun, perasaan sayang pada putrinya lebih utama dibandingkan dengan kepeduliannya terhadap perusahaan. Itu wajar terjadi dan Marshal sangat memahami hal itu. Ayah mana yang akan tega menyerahkan anaknya begitu saja di saat ada orang yang memintanya secara tiba-tiba dengan alasan ingin membantu perusahaannya. Secara tidak sadar, itu bisa dibilang tindak penjualan? Atau masih bisa dibilang negosiasi halus?
"Tuan," panggil Marshal dengan tenang, "saya tahu, Tuan berat melakukan hal ini. Tapi, saya benar-benar menginginkan putri Anda untuk saya nikahi dan saya sudah pasti akan membantu perusahaan Anda untuk kembali berdiri dengan tegak dan bersejajar kembali di posisi yang sebelumnya, bahkan bisa menempati pencapaian tertinggi jika itu yang Anda inginkan. Saya akan menjamin semuanya kembali baik-baik saja."
Heru masih terdiam. Pikirannya berkecamuk. Namun, hati kecilnya sudah jelas tidak mungkin bisa melakukan hal itu. Sebesar apapun masalah yang dia hadapi, tidak boleh ada korban dalam menyelesaikannya, itulah prinsip dia.
Tapi, pikiran semrawut perlahan membawa pemikirannya menuju keegoisan. Dia juga bingung dan tidak tahu harus bagaimana sekarang. Terlebih, nasib keluarga bahkan masa depan anaknya yang dipertaruhkan.
"Saya akan memberikan waktu supaya Anda bisa memikirkannya kembali," ucap Marshal, "dan saya akan menunggu jawaban atas persetujuan Anda secepatnya."
"Kenapa Tuan sangat menginginkan putri saya? Kalian bahkan tidak saling kenal," tanya Heru. Pertanyaan itu ingin ia lontarkan sedari tadi tapi keberaniannya tertutupi oleh rasa bimbang yang dia hadapi.
Laki-laki tampan yang memakai jas berwarna navy itu tersenyum. "Saya hanya ingin menikahinya, Tuan. Minat saya pada putri Anda muncul telah lama silam. Mungkin Anda bisa menanyakannya pada Vino. Dia tahu segalanya tentang saya karena kami sahabat," jelas Marshal. "Masalah kita tidak saling kenal, itu bisa mudah dilakukan. Jika hanya berkenalan, sekarang juga kita bisa langsung saling mengenal, Tuan."
Heru tidak menyimak ucapan Marshal dengan benar. Pikirannya masih semrawut dan sulit untuk dijelaskan. Perusahaan dan nasib keluarga sangat terancam dan tidak ada jalan lain yang bisa dia lakukan.
"Tuan?" panggilan Marshal mengembalikan kesadaran Heru yang semula terdiam sedang melamun. Heru tersenyum canggung pada Marshal dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, dari rautnya, terlihat jelas jika ada kebingungan dan kebimbangan di sana. "Saya akan memikirkannya, Tuan," ucap Heru dengan terpaksa.
Marshal tersenyum senang. Dengan begitu, besar kemungkinan jika tawarannya akan disetujui oleh Heru.
***
"Huhh, lelah sekali!"
Viona menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Hari ini begitu melelahkan baginya. Sore hari, dia baru pulang karena banyaknya kegiatan di kampus yang begitu menyita waktu dan juga tenaga. Yang dia inginkan sekarang hanyalah merebah dan mencoba memejamkan mata. Biarlah tubuhnya belum dibersihkan, juga. Rasa lelah membawanya pada rasa malas walaupun hanya sekadar berjalan menuju kamar mandi.
Viona menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan. Kepala Heru muncul di sana. Di balik celah pintu yang sedikit terbuka. "Apa Papa boleh masuk?"
Viona yang semula berbaring, langsung mendudukan dirinya dan mempersilakan sang ayah untuk masuk. "Ada apa, Pa?" tanya Viona saat Heru sudah duduk di sampingnya.
Heru tersenyum dengan kaku. Wajahnya mulai memperlihatkan keraguan membuat Viona jadi heran. "Kenapa, Pa?"
Heru menggeleng dan tersenyum. Dia tidak mau mengatakannya namun keadaan sudah menuntutnya. Mau tidak mau Heru harus mengatakan semuanya pada Viona. Meskipun akan terasa sangat berat dan Heru yakin jika putrinya akan menolak.
Sudah seminggu berlalu setelah mendengar tawaran Marshal. Bukannya mendapatkan solusi, Heru malah semakin tertekan dengan keadaan. Perusahaannya sudah ada di ujung tanduk dan mau tidak mau Heru harus mengatakan niatnya pada Viona sebagai jalan akhir yang bisa dia tempuh meskipun sangat sulit untuk dilakukan.
"Papa ...," Beberapa kali Heru menghela dan membuang napasnya guna menghilangkan ketegangan. Namun, dia tidak bisa. Dia ragu. Dia takut juga cemas dan tidak rela jika harus merelakan Viona. "papa, mau mengatakan sesuatu sama kamu."
Viona yang memang sudah dirundung penasaran, hanya bisa terdiam. Menunggu hal apa yang akan Heru katakan.
Sepertinya Papa akan mengatakan hal yang serius sampai terlihat ragu seperti itu. Sebenarnya apa yang akan Papa katakan? ucap batin Viona heran.
"Nak, perusahaan papa sedang dalam keadaan darurat. Semuanya sudah tidak bisa papa pertahankan karena papa sudah tidak punya cukup biaya untuk menopang kerugian dan masalah lainnya." Heru menghela napas berat, ditatapnya wajah Viona dengan lekat. "Papa tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkannya. Hanya ada dua pilihan yang bisa Papa lakukan. Menjual semua aset untuk menutupi kerugian atau," Heru menggantungkan lagi kalimatnya membuat Viona semakin penasaran. "kamu yang jadi penolongnya."
Viona mengernyit dalam. Tidak paham dengan maksud ucapan Heru. Memangnya dia bisa menolong apa pada perusahaan? Kuliah saja belum lulus dan Viona sama sekali tidak mengerti tentang mengurus perusahaan. "Maksud Papa, gimana? Memangnya aku bisa membantu?"
Heru memegang kedua tangan Viona dengan lembut. Dia kembali tersenyum dengan raut penuh kesedihan. Hatinya berkata tidak boleh melakukan hal ini. Tapi, pikiran egoisnya terpaksa harus menyerahkan Viona sebagai tumpuan. "Kamu harus menikah dengan Tuan Marshal untuk menyelamatkan perusahaan kita."
Viona terdiam cukup lama mencerna ucapan Heru. Namun, sedetik kemudian dia langsung bertanya dengan nada tegas supaya Heru menjelaskan semuanya dengan benar dan Viona bisa meyakini jika apa yang Heru katakan bukan hanya sekadar guyonan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
HIATUS🖤
semangat 🤣
2021-06-02
0
Manda Hong🍁
wahhh aku suka ceritanya, semangat thor mampir juga kecerita ku ya resiko menikah dengan bocah
2021-02-25
1
Almora
aku nyimak ya thor, di tunggu feedbacknya 👍
2021-02-25
1