Entah mengapa rasanya begitu gelisah. Beberapa kali dia menghela dan membuang napasnya dengan pelan guna menghilangkan ketegangan.
"Huh, Bismillah. Semoga ini yang terbaik!" Viona turun dari mobilnya.
Membenarkan posisi tas di bahunya serta merapihkan rambut supaya terlihat lebih enak dipandang. Dan jangan lupa untuk memasang wajah cerah untuk menghadapi banyak orang.
Sesuai rencana, dia akan bertemu dengan Marshal di restoran Karamura untuk menyampaikan beberapa hal.
Viona juga sudah menyiapkan beberapa kalimat rayuan yang dia simpan dalam benak. Persiapan jika nanti Marshal tidak mau menolongnya karena Heru telah lebih dulu menolak tawaran itu.
Semoga tawarannya masih berlaku, harap Viona.
Langkahkan kaki menuju pintu masuk restoran dengan penuh ketegangan. Debar jantungnya sudah tidak beraturan. Tangannya terasa dingin dengan susahnya mengatur pikiran yang tidak tenang.
Baru masuk restoran, Viona terdiam melihat sekeliling. Dia harus mencari Marshal di mana? Dia saja tidak tahu orangnya yang mana. Viona belum pernah bertemu dengan Marshal bagaimana dia mencarinya?
Akhirnya dia memutuskan untuk mengirim pesan kembali pada Marshal. Lewat ponsel Heru tentunya. Dia menanyakan keberadaan Marshal sekarang di mana dan duduk di meja nomor berapa?
Hanya butuh waktu tiga menit pesannya sudah mendapat balasan. Viona mengernyit membaca pesan tersebut.
:Saya di ruangan VIP. Tuan tunggu saja di sana, biar Rio yang menjemput.
Rio?
Nama itu sepertinya ... Viona terdiam membaca pesan itu sekali lagi sambil menunggu ada yang menghampiri. Tapi Viona rasa tidak mungkin karena yang berjanjian dengan Marshal adalah Heru bukan dirinya. Lalu bagaimana orang suruhan Marshal itu bisa tahu jika Viona lah yang akan menemui Marshal?
Viona menepuk-nepuk keningnya pelan dengan kepalan tangan. Kenapa dia jadi semakin bingung seperti ini? Jika begini caranya, sudah pasti dia tidak bisa menemukan Marshal karena dia tidak tahu wajahnya. Seharusnya Viona memikirkan ini dari tadi, bukan di saat sudah sampai baru kepikiran.
Viona memilih duduk terlebih dahulu untuk menenangkan diri. Berharap siapa tahu orang bernama Marshal itu bisa melihat dan memanggilnya.
Dia jadi bingung sendiri. Susah sendiri. Seharusnya dia memang memaksa Vino saja tadi untuk mengantarkannya menemui Marshal. Itu akan lebih baik daripada dia harus menunggu seseorang yang bahkan dia pun tidak tahu orangnya yang mana.
"Mbak!" Viona melambaikan tangannya memanggil pelayan restoran. Dia pasrah saja. Lebih baik pesan minum dulu. Ya, siapa tahu selama dia menunggu pesanan, orang yang bernama Marshal itu bisa melihatnya karena sudah pasti orang yang bernama Marshal itu tahu jika Viona adalah anaknya Heru, makanya dia mau menikahi Viona.
Tapi itu tidak mungkin juga, sangkal batinnya.
"Mau pesan apa, Nona?" tanya pelayan tersebut pada Viona.
"Aku mau-"
"Nona Viona?"
Baru saja Viona akan memesan suara laki-laki terdengar menyebut namanya dari arah belakang. Viona menoleh dan terkejut saat melihat laki-laki yang memanggilnya itu. "Anda 'kan ...."
"Iya, Nona." Laki-laki itu tersenyum dan semakin mendekat pada Viona. "Sedang apa Nona di sini?"
Viona membalas senyuman laki-laki itu. Jika dia bertanya pada laki-laki ini mungkin dia akan tahu sedikit informasi karena saat mereka bertemu beberapa hari lalu, laki-laki itu menyebutkan jika dia rekan bisnisnya Heru.
"Jadi mau memesan apa, Nona?" tanya pelayan itu masih terdengar ramah.
Viona yang tadinya akan bertanya pada laki-laki yang kini berdiri di sampingnya, jadi menghadap kembali pada pelayan restoran. Dia lupa jika belum memesan. "Em, maaf, Mbak. Nanti saya panggil lagi," ucap Viona tersenyum canggung. Merasa tidak enak pada pelayan tersebut.
Pelayan tadi masih bisa terlihat ramah. Dia tetap tersenyum. "Baik, Nona. Jika begitu saya pergi dulu."
Viona mengangguk sampai pelayan tadi benar-benar pergi. Dia kembali menghadap pada laki-laki yang masih berdiri di sampingnya. "Tuan, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Panggil Rio saja, Nona."
"Baik Tuan Rio," ucap Viona merasa tidak enak. "Tuan ini rekan bisnis papa saya, kan?"
Laki-laki bernama Rio itu menautkan alisnya dalam. Melihat Viona heran. "Hanya kenal, Nona. Memangnya kenapa? Oh iya, kenapa Nona ada di sini? Bersama siapa?" Rio melirik sekitaran tempat duduk Viona. Gadis itu memang nampaknya hanya sendiri.
"Saya ingin menemui rekan bisnis papa saya. Barangkali tuan bisa mengenalnya karena saya tidak tahu orangnya yang mana."
Rio terdiam. Apakah yang ingin menemui Marshal itu Viona? Tapi, dia diperintah oleh Marshal untuk menjemput Heru di pintu masuk. Kenapa malah bertemu Viona? Lalu Heru di mana?
"Tuan?"
"Ah, ya, Nona?"
"Bisakah saya bertanya?"
Rio mengangguk walau pikirannya masih bingung.
"Anda tahu tuan Marshal?"
Terbelalak. Rio nampak terkejut mendengar ucapan Viona. Ternyata yang ingin menemui Marshal benar Viona bukan Heru. Tapi kenapa Marshal bilang akan bertemu dengan Heru?
Lama Rio terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. Sampai Viona harus memanggilnya beberapa kali untuk menyadarkannya. "Nona akan bertemu dengan tuan Marshal?"
Viona mengangguk dengan cepat. "Saya sudah janji bertemu dengannya. Tapi saya kesulitan mencari tuan Marshal. Saya tidak tahu orangnya. Bisakah Anda membantu saya?" ucap Viona penuh harap.
Rio tersenyum dan mengangguk. "Baik, Nona. Saya datang ke sini memang diperintah tuan Marshal untuk menjemput tuan Heru. Tapi, yang saya temukan ternyata Nona. Saya kira tuan Heru yang akan menemui tuan Marshal."
Viona terdiam. Sekarang jadi dia yang kebingungan. Dan dia tertegun saat mengingat pesan Marshal.
... biar Rio yang menjemput.
Viona baru menyadari hal ini. Kenapa juga dia bisa loading seperti ini? Tapi Rio ini yang dia temui saat menjemputnya di kampus bersama orang yang mengaku rekan bisnis Heru. Apa yang namanya Marshal adalah orang yang waktu itu mengantarkannya pulang? "Tu-"
"Mari Nona! Tuan Marshal sudah menunggu."
Viona terpaksa berdiri mengikuti langkah Rio yang sudah mendahuluinya. Selama langkahnya dia terus mengingat nama laki-laki yang waktu itu mengantarnya pulang. Tapi dia benar-benar lupa.
"Silakan masuk, Nona! Tuan sudah menunggu di dalam."
Viona mengangguk dan melangkahkan kakinya yang sudah lemas duluan. Dadanya sudah berdebar tidak karuan karena sebentar lagi dia akan mengatakan keputusan yang menjadi tolok ukur kehidupannya di masa depan.
"Tuan?" Viona terdiam di ambang pintu saat melihat seorang laki-laki yang duduk di dalam ruangan VIP itu sendirian.
Laki-laki itu menoleh ke arah pintu. Dia juga sama terkejutnya dengan Viona. Dia adalah Marshal.
Marshal melirik pada Rio yang berada di belakang Viona dengan tatapan bertanya-tanya.
"Yang datang nona Viona, bukan tuan Heru," jelas Rio pada Marshal.
Viona masih terdiam. Perlahan berjalan masuk mendekat pada Marshal. "Tuan Marshal?" tanya Viona masih tidak percaya.
Marshal segera mengubah keterkejutannya menjadi aura kesenangan dan mempersilakan Viona duduk di depannya.
Viona menuruti perintah Marshal dengan diam. Pikirannya yang berkecamuk semakin kacau saat melihat Marshal. "Ini benar Tuan Marshal, kan?" tanya Viona lagi. Dia benar-benar tidak percaya jika orang yang akan ditemuinya ini adalah orang yang pernah mengantarnya pulang.
"Marshal Syarhreza Atmadinata." Dia mengulurkan tangannya pada Viona.
Viona tersenyum canggung menerima uluran tangan itu. Dia masih tidak percaya. Dan sekarang memorinya mulai berjalan dengan baik tentang hari itu. Kenapa saat itu Marshal hanya mengatakan nama akhirnya saja? pertanyaan itu singgah dalam kepala Viona.
Dia juga teramat sangat tidak menduga jika orang yang mengajukan tawaran itu ternyata masih muda. Viona kira dia akan dinikahkan dengan laki-laki tua yang berkuasa. Tapi, ternyata masih sangat muda. Bahkan mungkin jika Viona lihat dari perawakannya, laki-laki yang berada di depannya ini seusia Vino, kakaknya.
"Kenapa kamu yang datang? Bukankah yang mengajakku bertemu itu tuan Heru?"
Viona malu sekarang. Bagaimana dia menjelaskannya? Apa dia harus bilang saja jika telah menyabotase ponsel Heru?
"Apa tuan Heru juga datang ke sini?" tanya Marshal lagi pada Viona yang masih terdiam.
Viona hanya menggelengkan kepalanya. Dia belum bisa berucap karena perasaannya mulai tidak menentu. Dia merasa sangat gugup dan ragu untuk mengeluarkan suaranya.
"Ekhem!" Viona berdehem sejenak. Dia harus bisa menguasa dirinya di saat seperti ini. "Maaf, Tuan. Sebenarnya saya yang mengajak Anda bertemu, bukan papa saya."
Marshal terdiam dengan kebingungan. Menatap Viona dengan alis yang terangkat meminta penjelasan.
Sekali lagi Viona berdehem kecil. Dia menjelaskan jika semuanya pada Marshal. Mengenai niat awalnya untuk bertemu sampai kabar ayahnya yang sedang di rumah sakit. Terlihat sekali Marshal terkejut dengan apa yang Viona utarakan apalagi saat meendengar kabar terbaru dari ayah si gadis cantik yang berada di hadapannya ini.
"Sejak kapan tuan Heru dirawat?" tanya Marshal. Dia tidak tahu Heru masuk rumah sakit karena tidak ada informasi apapun yang sampai padanya selain krisis perusahaan Heru Pratama yang semakin terkikis. Pantas saja Heru tidak juga mendatanginya. Ternyata Heru sedang sakit.
"Sejak dua hari lalu, Tuan. Papa mengalami kelelahan yang berlebih dan juga mungkin karena stress memikirkan masalah perusahaan," jelas Viona dengan tenang.
Marshal hanya mengangguk paham. "Jadi, untuk apa kamu mengajakku bertemu? Apa ada yang ingin kamu bicarakan padaku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
👑
lanjut
2020-12-16
1
Mutie Cutie
sabar viona
2020-09-04
2
Mutie Cutie
semangat thor... ceritanya bagus
dah boomlike and rate 5
2020-09-04
1