"Sarapan dulu, Nak!" teriak Lina pada Viona yang sudah berjalan menuju pintu. Penampilannya sudah rapi, siap berangkat ke kampus. Wajah pucatnya juga mulai terlihat cerah kembali setelah dua hari beristirahat di rumah.
"Aku buru-buru," sahutnya cuek. Tetap melanjutkan langkahnya menuju pintu. Namun, saat baru selangkah keluar dari rumah, tangannya dicekal dari belakang.
Viona refleks menoleh dengan kesal. Ternyata yang menahan tangannya adalah Vino. "Apaan, sih, Kak? Aku buru-buru," ucapnya ketus.
Sebelah alis Vino terangkat. Tidak seperti biasanya sifat Viona seperti itu padanya. "Sarapan dulu!" Vino tidak menghiraukan penolakan Viona. Tetap menarik tangan adiknya menuju ruang makan. Heru dan Lina juga baru masuk dan duduk di sana.
Terpaksa Viona mengalah. Dia mencium pipi Lina dan Heru bergantian. "Pagi, Ma, Pa!" sapanya terpaksa setelah mendapat tatapan tajam dari kakaknya.
Viona tidak pernah melupakan rutinitasnya di pagi hari. Mencium kedua orangtua adalah sebuah keharusan di keluarganya. Tapi sudah beberapa hari ini dia abaikan karena mood-nya yang kurang mendukung. Bahkan dia tidak mau makan bersama, membuat orangtuanya dan juga Vino merasa bersalah dan khawatir pada si bungsu.
"Kamu yakin mau masuk kuliah? Emang udah sembuh?" tanya Vino di sela kunyahannya.
Viona hanya memutar bola matanya malas. Menghabiskan sarapannya dalam diam.
"Kakak anterin, ya?" tawar Vino.
Viona menggeleng dengan cepat. Dia hanya ingin pergi sendiri. Jika bersama Vino, dia pasti diajak bicara terus. Viona tidak mau. "Gak usah, Kak. Aku bisa nyetir sendiri."
"Tapi, kamu masih sakit. Kakak anterin aja, ya!"
"Gak usah, Vin. Biar Papa aja yang nganterin Viona." Itu bukan Viona yang menyahut.
Viona sampai tersedak mendengar ucapan Heru. Dia menatap Heru dan langsung menggeleng. "Gak usah, Pa. Aku bisa sendiri."
Jangan sampai Heru mengantarkannya. Viona masih belum bisa banyak bicara dengan Heru. Entah kenapa, dia merasa tidak nyaman saat berdekatan dengan ayahnya. Terlebih, Viona belum bisa mengatakan keputusannya yang masih bimbang itu pada Heru. Takutnya Heru akan menanyakan hal itu pada Viona, jika dia diantarkan oleh Heru. Bisa tambah pusing kepala Viona.
...
Setelah perdebatan hebat di ruang makan, akhirnya Viona mengalah dan diantarkan kuliah oleh Heru. Selama perjalanan Heru mencoba mengajaknya bicara. Tapi, Viona masih enggan buka suara. Mengabaikan Heru begitu saja.
"Dek, lupakan masalah tawaran itu. Papa ud-"
"Jangan bahas dulu itu, Pa! Aku masih pusing. Gak mau banyak bicara."
Membuang napasnya berat. Heru kembali fokus menyetir dengan pikiran yang teramat berkecamuk. Semakin hari sifat Viona semakin berbeda padanya. Dia harus apa sekarang? Diajak berbicara saja Viona tidak mau. Padahal Heru hanya ingin mengatakan jika Viona tidak perlu memikirkannya lagi karena Heru sudah menolaknya langsung pada Marshal. Tapi, Viona tidak mau mendengarkannya dan memilih membuang muka ke luar jendela. Heru semakin tidak bisa tenang melihat tingkah anaknya. Dia tidak mau hubungannya semakin memburuk hanya karena masalah tawaran itu.
"Nanti mau dijemput sama Papa atau kak Vino?" tanya Heru saat Viona baru turun dari mobil.
"Gak usah. Aku pulang sama Frans aja," sahutnya cuek. Viona bahkan tidak menghiraukan Heru yang kembali memanggilnya dari dalam mobil.
Dia terus saja berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Viona tidak bisa menghadapi Heru saat ini. Perasaannya yang masih dilema membuat dia enggan menatap wajah Heru yang terlihat sangat lelah dirundung banyak masalah.
Viona tidak tega melihatnya. Dia ingin membantu Heru dengan cara lain, bukan dengan menyetujui tawaran Marshal. Viona masih belum bisa memutuskannya. Dia bingung karena dia memang tidak mau menikah dengan Marshal. Tapi, bagaimana dengan nasib karyawan dan keluarganya? Itulah yang menjadi kerumitan Viona. Dia tidak bisa mengabaikan orang lain begitu saja hanya demi kebahagiannya sendiri.
****
"Mau makan siang di mana, Tuan?" tanya Rio yang membereskan dokumen di depan Marshal.
Rapat baru saja selesai. Tinggal mereka berdua di ruangan itu.
"Kita temui putri Pratama."
"Huh?" Rio menghentikan aktivitasnya. Dengan bingung menghadap Marshal yang sudah berdiri hendak keluar.
"Kamu tahu kampus tempat putri Pratama kuliah, kan?"
Rio garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Masih bingung dengan ucapan Marshal.
Setelah menghela napas panjang, Marshal menatap Rio dengan sabar. "Aku ingin menemui anaknya Heru Pratama. Kamu antarkan aku ke sana!"
Mulut Rio menganga. Sangat terkejut mendengar ucapan Marshal. "Untuk apa, Tuan? Bukankah tuan Pratama sudah menolak tawarannya? Kenapa masih ingin menemui anaknya?" tanya Rio dengan heran.
Marshal malah tersenyum. Menepuk pundak Rio dan berjalan keluar ruangan diikuti Rio yang membawa dokumen, di belakangnya. "Justru itu, aku akan mencoba mendekati anaknya langsung. Bukankah target lebih mudah dicapai daripada orangtuanya?"
Rio hanya terdiam. Pikiran Marshal terlalu berlebihan. Untuk apa dia mengejar Viona yang bahkan mungkin sekarang sudah tidak mengenalnya. Lagian, Heru sudah menolak tawarannya. Sudah tentu anaknya juga tidak mau menerima tawaran Marshal. Jika anaknya mau, mungkin Heru tidak akan menolak tawaran begitu saja.
Terjerat kisah konyol masa lalu, membuat tuan hampir tidak waras, batin Rio.
Mau tidak mau Rio harus menuruti perintah Marshal. Mereka pergi ke kampus tempat Viona kuliah. Memarkirkan mobil di depan kampus, menunggu Viona lewat.
"Kalau putri Pratama tidak lewat juga, apa kita akan menunggunya sampai esok hari hingga Nona itu terlihat?" tanya Rio yang sudah jengah. Melirik Marshal dari spion, sedang duduk santai di belakang. Mereka menunggu dari tadi. Tapi, sosok gadis cantik itu tidak kunjung terlihat juga.
"Diam saja! Kamu perhatikan satu per satu mahasiswi yang keluar. Jangan sampai dia pulang duluan!" seru Marshal dari jok belakang. Fokusnya bukan pada Rio ataupun arah depan, melakukan seperti yang Rio lakukan. Justru, dia malah asyik dengan ponsel yang ada di tangannya.
Rio mendengus. Dia bahkan tidak berkedip guna menajamkan penglihatan karena takut kecolongan dan tidak mendapati Viona keluar dari kampus. "Bahkan mahasiswa pun saya perhatikan, Tuan. Ternyata mahasiswa di sini tampan-tampan," celetuk Rio yang masih fokus melihat ke depan.
Marshal mengomel panjang, di belakang. Bisa-bisanya Rio memperhatikan mahasiswa. Apa dia belok aliran? Kenapa harus mahasiswa yang diperhatikan, padahal banyak mahasisiwi cantik yang keluar dari kampus itu?
"Mungkin Nona Viona tidak ada jadwal kuliah, Tuan. Dari tadi saya tidak melihatnya," ucap Rio yang mulai mengantuk. Menunggu orang yang tidak pasti itu sangat melelahkan.
"Cari ke dalam, gih! Mungkin dia masih di dalam."
Rio mendengus mendengar perintah Marshal. "Harus banget ke dalam, Tuan? Bagaimana jika Nona Viona tidak ada? Mungkin dia sudah pulang atau jam kuliahnya sampai sore atau memang tidak ada jad- "
"Jangan banyak bicara! Cepat lakukan!"
Membuang napasnya kasar. Rio melirik lagi Marshal dari spion tengah. "Kenapa Tuan ingin sekali bertemu dengannya? Saya yakin dia bahkan tidak mengenali Tuan."
Marshal menatap tajam kepala Rio bagian belakang. "Kamu banyak bicara. Aku hanya ingin menemuinya dan mengajak dia makan siang. Kenapa jadi kamu yang mengomel?"
"Saya hanya heran saja, Tuan. Kenapa Tuan ingin sekali menikahi Nona Viona? Kalian bahkan tidak punya hubungan apapun. Rada aneh kalo Tuan ngotot menikahinya."
Marshal terdiam. Dia juga sepemikiran dengan Rio. Tapi perasaannya tidak bisa dibohongi jika dia memang menginginkan gadisnya Heru. "Sudah, sana cari di dalam. Jika bertemu, langsung ajak dia ke sini! Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."
Rio mendengus kesal. Jika bukan majikannya, sudah Rio penggal kepala Marshal. Perintahnya tidak bisa dibantah sekalipun menyusahkan. Mau bagaimana lagi, dia hanya bekerja pada Marshal. Dan jika Rio mengeluh pun, Marshal pasti akan mengancam akan mencari asisten sekaligus sekretaris pribadi yang baru dan membuang Rio begitu saja tanpa uang pesangon sedikit pun.
Dengan terpaksa Rio keluar dari mobil, meninggalkan Marshal sendirian. Dia kesal. Hampir satu jam menunggu di dalam mobil saja sudah mengesalkan. Dan, sekarang harus mencari Viona di kampus yang sangat besar ini? Butuh waktu sampai subuh jika dia harus mengelilingi kampus itu hanya untuk mencari Viona. Jika tidak ada pun, Marshal pasti tetap memintanya mencari Viona sampai ketemu. Merepotkan!
Rio menghentakkan kakinya melangkah. Dia lihat kiri kanan, memastikan. Kampus itu bukan sembarang kampus, sangat sulit jika harus mencari Viona dengan cepat. Dia melirik satu per satu mahasiswi yang bergerombol, ketawa ketiwi saat melewatinya, mungkin Viona nyelip di sana. Tapi tidak ada.
Rio terus mencari sambil menggerutu tidak jelas sepanjang jalan. Dia harus mencari Viona di sudut mana? Akan sangat melelahkan jika dia benar-benar harus mengelilingi seluruh penjuru kampus. Di sana banyak orang dan Rio tidak tahu harus mencari Viona ke mana. Ingin rasanya dia bunuh diri saja daripada harus repot mencari makhluk hidup yang cantik itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Tua Jemima
gk suka sama tokoh utamax viona pembakang keras kepala
2023-02-23
0
👑
hadir lagi
2020-12-16
0
Elisabeth Ratna Susanti
lanjut baca👍
2020-08-04
2