Tadinya, Viona tidak akan pergi ke mana pun hari ini. Tapi, Sendi mengajaknya untuk bertemu di sebuah restoran. Ada hal penting yang harus dibicarakan, katanya. Dengan malas Viona bergegas untuk pergi. Tidak tahu apa yang akan Sendi bicarakan padanya sampai memaksa Viona untuk mau menemuinya. Viona menurut saja, karena hari ini tidak ada jadwal untuk kuliah. Dia bisa menyempatkan diri untuk bertemu Sendi sebentar.
Viona menghampiri Sendi yang sudah menunggunya dari tadi. Sendi duduk di meja yang ada di pojokan restoran. Menghadap pada jendela besar yang tertuju langsung ke taman. "Udah lama nunggunya, Sen?" Dia mendudukan diri di seberangnya Sendi.
Orang yang mengajaknya untuk bertemu itu terlihat menunduk memperhatikan ponselnya. Namun, setelah sadar ada yang duduk di depannya, Sendi segera mendongak. Tersenyum manis menatap pada Viona.
"Jadi, ada apa kamu ngajak ketemu? Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Viona langsung pada intinya. Dia sedang tidak mau bertele-tele hanya untuk sekadar berbasa-basi. Sudah sangat penasaran dengan apa yang akan Sendi bicarakan padanya.
"Kita pesan makanan dulu." Sendi memanggil pelayan restoran dan memesan beberapa menu untuk menemani mereka disela-sela obrolannya. Selagi menunggu pesanan datang, Sendi terlihat sangat gugup dan canggung untuk berkata akan tujuannya mengajak Viona ketemu. Jangankan untuk berucap, menatap Viona saja dia sudah mulai gerogi tidak jelas.
"Em ... Vi."
Viona memandangi Sendi dengan heran. Tidak seperti biasanya, kenapa sikap Sendi terlihat sangat gugup? Bahkan pancaran matanya terlihat penuh keraguan. Viona jadi bertanya sendiri, sebenarnya apa yang akan Sendi katakan padanya sampai terlihat ragu seperti itu?
****
Hari ini Marshal sudah membuat janji akan bertemu kliennya di suatu restoran. Dia datang seperti biasa ditemani Rio sang asisten sekaligus sekertarisnya.
"Tuan Suryo akan datang jam berapa, Yo?"
"Sekitar 15 menitan lagi, Tuan. Itu pun jika tidak ada gangguan dijalan," sahut Rio dari belakang. Mengikuti langkah Marshal masuk ke dalam restoran.
Disapukannya mata untuk melihat sekeliling restoran. Mereka mencari tempat yang nyaman untuk digunakan berbincang santai. Jika biasanya, Marshal akan bertemu dengan kliennya di sebuah ruangan VIP , tetapi kali ini dia ingin bertemu di tempat yang biasa saja. Berdekatan dengan pengunjung lainnya, karena pertemuannya kali ini tidak begitu serius. Hanya perlu pengenalan lebih dekat satu sama lain sebagai rekan kerja.
Saat sedang mencari tempat duduk yang nyaman, mata Rio tertuju pada suatu meja yang ada di pojokan. Terdapat pasangan muda yang sedang bicara berhadapan. Disipitkannya mata untuk menyakinkan, bahwa penglihatannya memang tidak salah. Dia terheran setelah yakin, jika matanya tidak salah mengenali orang. Ada Viona sedang duduk bersama Sendi di sana.
Rio segera menyusul langkah Marshal. Majikannya itu sudah memilih meja yang sekiranya nyaman. Segera dia membungkuk di depan Marshal yang sudah terduduk. Rio membisikkan sesuatu. Dengan cepat Marshal mengalihkan pandangannya saat tangan Rio menunjuk sudut ruangan.
Marshal memicingkan matanya melihat ke arah itu. Alisnya bertaut heran. Viona bersama Sendi? Mereka terlihat sedang bicara serius menghadap jendela besar restoran.
"Kenapa dia ada di sini?"
"Saya juga tidak tahu, Tuan."
"Pria itu ... bukannya dia anak tuan Arga Mahendra?" Rio mengangguk, lalu duduk di depan Marshal. "Kenapa dia bersama Viona?"
Rio mengedikkan bahunya. "Saya tidak tahu, Tuan. Mungkin sedang bertemu biasa saja. Mereka berteman, jadi wajar saja, jika mereka terlihat bersama, bukan?" sahutnya ragu. Rio sama sekali tidak tahu menahu kenapa Viona berada di restoran itu juga. Mereka hanya tidak sengaja melihatnya.
Pandangan Marshal terus tertuju pada mereka. Dia menggeram pelan. Tidak suka melihat mereka yang berbincang serius. Dia jadi penasaran, apa yang mereka bicarakan? Ingin sekali Marshal menarik Viona menjauh dari Sendi, namun tidak dia lakukan. Dia belum tahu kenapa mereka berada di sana, hanya berdua saja.
Lama terdiam dengan pandangan yang hanya fokus pada satu frame, Marshal beranjak dari duduknya. Berjalan mendekat pada meja tempat Viona dan Sendi berada.
Rio yang nampak bingung, hanya mengikutinya dari belakang hingga Marshal berhenti di salah satu meja kosong yang dekat dengan tempat Viona. Mereka duduk di sana dengan diam. Marshal terus memperhatikan mereka tanpa diketahui oleh calon istrinya. Sangking dekatnya, bahkan ucapan Sendi bisa dia dengar di meja sana.
Marshal hanya ingin tahu. Sedang apa mereka di sana? Mereka tidak makan, namun sedang berbincang. Marshal semakin penasaran, apa yang sedang mereka bicarakan?
"Kita udah lama saling kenal. Lama dekat sehingga tahu sikap masing-masing. Tahu perasaan kita satu sama lain. Jadi ...," Sendi menggantungkan kalimatnya lagi. Viona hanya diam menunggu kelanjutan kata yang akan terlontar selanjutnya. "Emm ... aku ... maunya ..." Sendi terlihat sangat ragu untuk mengatakannya. Dia benar-benar gugup. Padahal untuk mengatakan hal seperti ini, sudah biasa dia lakukan. Pada Viona sekalipun. "Aku maunya kita melanjutkan semua perasaan ini lebih serius. Dan aku mau kita terjalin hubungan."
Viona tertegun dengan mata membulat sempurna. Jadi, Sendi mengajaknya bertemu untuk mengatakan hal ini? Sendi serius padanya?
Viona masih diam. Dia tidak tahu harus jawab apa. Sebenarnya Sendi sering sekali mengatakan hal ini pada Viona. Namun, Viona tetap keukeuh tidak bisa mengikuti keinginan Sendi. Dan selama ini Sendi pun menerima keputusan dari Viona. Dia tidak pernah mempermasalahkannya. Tapi, sekarang kenapa dia kembali menginginkan sebuat ikatan pasti?
"Aku ingin kejelasan dari semua perasaan ini. Aku tahu perasaan kita masing-masing. Aku tahu kamu juga mencintaiku. Jadi, aku maunya kita menjalin hubungan. Tidak seperti ini terus."
"Sen," panggil Viona pelan. "bukannya kita sudah berkomitmen. Apa itu kurang?"
"Vi, hanya berkomitmen seperti ini membuatku tersiksa. Aku tidak bisa menjalani hubungan seperti ini lagi. Aku mau ada ikatan yang lebih serius. Bukan hanya ucapan."
"Tapi, selama ini kita baik-baik saja, kan. Apa yang membuatmu tersiksa, Sen? Kita menjalani ini sudah lama."
" Viona, kamu tidak tahu, betapa tersiksanya aku di saat kamu dekat dengan pria lain. Aku sangat tidak suka dan marah melihatmu bersama laki-laki lain. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa marah, tidak bisa meluapkan rasa tidak suka itu. Aku menahannya karena aku tahu diri. Aku bukan siapa-siapa bagimu. Kita tidak punya ikatan pasti yang mengharuskan aku untuk marah padamu. Untuk cemburu padamu. Aku ingin memilikimu seutuhnya, Vi. Aku sangat mencintaimu. Jadi wajar saja 'kan, jika aku merasa cemburu akan hal itu?" Mata Sendi terlihat teramat sendu menatap Viona yang hanya diam saja menatapnya dengan bingung.
Marshal terbelalak mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut Sendi. Entah mengapa dia merasa sangat tidak suka akan hal itu. Pikirannya mulai menerka, apa mereka saling mencintai? Kata Rio, mereka tidak punya hubungan khusus, tetapi kenapa Sendi malah berkata seperti itu seolah Viona adalah kekasihnya.
"Aku gak mau kehilangan kamu, Viona. Aku mau kita punya ikatan khusus, supaya aku punya hak atas dirimu. Supaya aku juga punya hak untuk mengikatmu hanya untukku dan tidak boleh dekat dengan laki-laki mana pun."
Viona tetap tidak bergeming. Dia bingung harus bagaimana saat ini. Dia juga kadang merasakan hal yang sama seperti yang Sendi rasakan. Namun, dia tetap tidak bisa menuruti keinginan Sendi. "Sen, kamu tahu 'kan aku gak mau pacaran dulu?"
Sendi Memegang tangan Viona dengan lembutnya. Menatap Viona penuh harap. "Aku tahu, Viona. Aku tahu dari dulu kamu emang gak mau pacaran. Aku tahu kamu hanya akan pacaran setelah lulus nanti. Tapi ... kamu sebentar lagi akan lulus. Apa tidak sebaiknya kita memulai hubungan serius? Aku tidak mau kehilanganmu nanti, Viona. Aku ingin tetap memilikimu."
Dihelanya napas dalam-dalam. Sendi serius dengan keinginannya. "Hari ini, di sini, di tempat ini ... Aku ingin memperjelas hubungan kita. Memperjelas status penyatuan dari perasaan kita. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Selama ini kita hanya berkomitmen tanpa kejelasan. Aku sangat mencintaimu, Viona. Aku ingin lebih serius padamu. Jika kamu tidak mau kita pacaran. Aku ingin kita Ta'arufan. Aku akan melamarmu!" ucapnya dengan benar-benar serius penuh keyakinan. Viona tetap diam, namun dia sangat terkejut dan tidak percaya jika Sendi tengah melamarnya.
Sudah habis kesabaran Marshal. Dengan tangan mengepal erat, dia beranjak dari duduknya untuk menghampiri Viona. Berdiri di samping calon istrinya dengan wajah penuh amarah. "Sedang apa kamu di sini?" ucapnya terdengar keras sampai beberapa pengunjung menoleh padanya. Tidak terkecuali Viona dan Sendi yang menoleh dengan berbarengan. Membelalak kaget melihat kehadiran Marshal yang tiba-tiba.
Viona segera menarik tangannya dari genggaman Sendi. Dia berdiri dengan cepat. Wajahnya terkejut bukan main. Kenapa Marshal ada di sana?
"Tuan? Kenapa Tuan ada di sini?" tanya Viona seramah mungkin, padahal debar jantungnya sudah mulai tidak karuan. Dia masih ingat dengan peringatan Marshal yang tidak membolehkannya dekat dengan laki-laki mana pun. Viona takut Marshal marah padanya saat ini.
Wajah Marshal semakin mengeram. Tatapan tajamnya membuat Viona jadi salah tingkah, semakin gelagapan. "Kenapa malah balik bertanya? Tadi aku bertanya padamu, Kenapa kamu ada disini? Bukannya menjawab malah nanya balik," ketusnya dengan nada tinggi. Menggundang para pengunjung lain untuk menoleh.
Viona menunduk. Begitu ragu untuk menjawabnya. "Saya ..." belum selesai Viona berucap, Marshal sudah menarik tangannya, sehingga Viona tersentak kaget dan mengikuti langkah Marshal dengan sedikit terseret.
Ditariknya tangan Viona keluar dari restoran. Calon istrinya itu hanya terdiam dengan pandangam segan. Antara masih terkejut dan takut bersamaan Viona rasakan.
"Ngapain kamu sama dia, huh?" Mereka berdiri di depan restoran. Viona hanya menunduk dengan takut. Aura kemarahan Marshal kian terasa menghantam tubuhnya. "Kenapa kamu berada di sini? Ngapain sama dia? Ada hubungan apa kamu dengannya?" Marshal kembali bertanya dengan nada tingginya menatap tajam Viona dengan tatapan penuh amarahnya.
Melihat Viona yang hanya terdiam dengan bingung harus menjelaskan apa pada Marshal, calon suaminya itu kian menggeram. Menguatkan cengkraman tangan di pergelangan Viona. Mendesaknya untuk buka suara dan menjelaskan semuanya. Marshal harap apa yang dia pikirkan tidak benar jadi kenyataannya.
Sementara Sendi yang masih di dalam restoran, menatap Viona panik. Saat Marshal menarik Viona begitu saja. Dia ingin menyusul Viona. Namun, langkahnya terhenti saat Rio mencoba menahannya.
"Diamlah di sini dulu! Mereka ada urusan," ucap Rio menahan tangan Sendi supaya tidak melangkah keluar.
Sendi terlihat begitu panik sekarang. Dia khawatir pada Viona. "Tapi aku harus menyusul Viona, Tuan." Berusaha mlepaskan tangannya dari Rio. Dia tetap melangkah menyusul Viona. Namun, langkahnya kembali terhenti saat Rio menarik tangannya lagi. Memberikan tatapan tajam seolah, jika Sendi berani melangkah lagi, maka tamatlah riwayatnya.
"Diamlah! Jangan menyusul nona Viona!"
Sendi pun menurut. Dia duduk kembali dengan pikiran yang tidak tenang. Perasaannya mulai tidak karuan. Kenapa Marshal membawa Viona pergi? Ada urusan apa di antara mereka? Sendi cemas. Terlebih ajakannya untuk berta'aruf belum disetuju oleh Viona. Susah payah Sendi mengatakan semuanya, namun saat sebentar lagi mendapat jawaban, Viona justru malah ditarik orang lain.
"Aku sudah bilang, jangan lagi dekat dengan pria mana pun! Kamu itu calon istriku. Apa kamu tidak mengerti juga ucapanku, huh?!" bentak Marshal geram melihat Viona memejamkan matanya. Emosi Marshal membuat nyalinya menciut seketika. Dia hanya bisa tertunduk tanpa bersuara.
"Ada hubungan apa kamu dengan pria tadi? Apa dia itu kekasihmu? Kenapa dia berkata seperti itu padamu?"
Viona tercengang melihat Marshal. Calon suaminya itu tidak mendengar ucapan Sendi dari awal, kan? Dia sudah harap-harap cemas. Jika Marshal mendengar semuanya, bisa jadi Viona akan menjadi bahan amukannya sekarang.
"Jawab aku!"
Viona memberanikan diri untuk berucap. Meskipun itu sangat sulit dilakukannya. "Dia hanya teman saya, Tuan. Bukan kekasih saya," ucapnya lirih, kembali tertunduk kaku.
"Jika hanya teman, kenapa dia mengajakmu berta'aruf?!" bentak Marshal kembali sukses membuat Viona semakin takut akan suara tingginya. Dia terus saja tertunduk, tidak berani membuka suara sedikit pun. "Kenapa dia mengajakmu Ta'aruf?!" Viona masih diam. "Jawab aku!"
Viona meringis saat cengkraman tangan Marshal dipergelangannya terasa semakin kuat. Digigitnya bibir bawah untuk menahan ringisan. Viona menengadah melihat mata Marshal yang masih menyimpan amarah. Viona hanya diam. Tidak berani bicara karena dia bingung harus menjelaskannya seperti apa.
"Jawab aku! Atau aku akan me-"
"Halo, Tuan. Maaf, saya terlambat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Nur Hayati
viona...apa salahnya kl kamu nurut sm calon suami.kamu sendiri yg menyetujui untuk menikah sm marshal...hadehhhh🤦🤦
2021-02-24
1
Michelle Avantica
Itu Marshal sumpah ngeselin banget jadi cowok ya, gak ada kerjaan lainnya kah selalu ngurusin masalah Viona, mana blm apa2 dah jadi tukang ngekang lagi..🤦😌
2021-02-07
1
👑
💖💖💖💖
2020-12-16
1