Merenungi nasib adalah kebiasaannya dua hari ini. Dia masih enggan untuk keluar kamar bahkan untuk makan saja dia tidak mau meskipun sudah dipaksa beberapa kali oleh ibunya yang pertama mengetuk pintu. Kemudian ayahnya yang datang dan kembali meminta maaf. Juga terakhir dengan kehadiran Vino dan satu pelayan rumah tangga yang membawa banyak makanan ke kamar Viona.
Semua ajakan itu dia tolak dengan halus. Bukan makan yang dia inginkan, melainkan ketenangan dan jalan keluar dari semua masalah yang sedang dia hadapi. Kegusaran jelas terasa dalam dirinya, membuat Viona tidak merasakan yang namanya rasa lapar sama sekali. Hanya bimbang dan dilema yang terus dia resapi.
Setelah mendengar nasehat dari kakaknya, datang sedikit pencerahan dalam diri Viona. Tapi hal itu tidak membuatnya yakin untuk menyetujui. Penolakan dan rasa tidak maunya masih menghinggapi diri Viona. Dia tidak bersedia menikah dengan orang yang bahkan tidak dia kenal sama sekali. Lalu apa yang harus dia putuskan?
"Apa aku harus menyetujuinya?"
Pertanyaan yang entah sudah berapa puluh kali dia ucapkan pada diri sendiri. Viona terdiam kembali. Rasa ingin membantu ada dalam dirinya. Tapi rasa ragu untuk menyetujui masih menjadi kebimbangan besar dalam menentukan keputusan selanjutnya.
Apakah dia harus menolaknya?
Viona sudah tidak punya pilihan lain lagi. Dia juga seharusnya tidak egois dalam memutuskan sebuah harapan besar banyak orang. Ketidakrelaan menjadi tameng membuatnya gusar dan tidak tahu harus berbuat apa.
Jika dia menolak, jelas banyak nyawa dan masa depan yang akan menerima dampak terburuknya. Tapi jika dia menerima, hidupnya sudah tentu tidak akan terarah lagi. Dia harus menyerahkan hidup dan matinya pada orang bernama Marshal yang ingin menikahinya nanti.
Lalu apa yang harus dia lakukan?
Menerima tawaran, maka hidup banyak orang terselamatkan yang berarti dia harus masuk ke dalam jurang memilukan. Atau,
Menolak tawaran dan menjadikan masa depan banyak orang terabaikan yang berarti dia juga akan ikut menderita?
Jelas, pilihan pertama yang paling baik. Memang tetap akan ada yang tersakiti karena menjadi korban. Tapi, setidaknya tidak banyak dan hanya dirinya yang harus menderita.
Jika dia memilih pilihan kedua, maka tidak akan ada dampak baiknya. Memang Viona bisa terbebas dari pernikahan itu. Tapi, bagaimana dengan nasib keluarga dan karyawan papanya? Mereka akan sengsara hanya karena keegoisan Viona yang memilih untuk terbebas dari tawaran pernikahan.
Apakah dia bisa bersikap egois di saat rumit seperti ini? Jelas tidak bisa. Bukan saatnya mengutamakan diri sendiri saat ini. Jikalau pun dia menolak, sudah pasti dia akan tersiksa dan merasa bersalah pada semua orang yang ikut menderita.
Jadi, apa dia harus menyetujuinya?
Viona menjambak rambut dengan frustasi. Kenapa dia harus berada di posisi ini? Posisi yang membuatnya bingung memilih antara hidup dan mati. Posisi yang membuatnya harus menekan ego diri sendiri demi memikirkan hidup orang lain.
Kenapa? Kenapa pilihan ini harus ditujukan padanya? Apa tidak ada korban lain yang harus menderita seperti dirinya, sehingga semua keputusan berada di tangannya? Kenapa harus dia? Kenapa hanya dengan cara menikah? Tidak membunuhnya saja?
Rumit. Hidupnya menjadi rumit dalam waktu sedetik. Dia tidak tahu harus bagaimana dan harus menjawab apa.
Apa dia harus menikah dengan Marshal?
Menikah.
Memikirkannya saja tidak pernah. Tapi, tiba-tiba kata itu terucap di depannya dalam kondisi yang sangat membuatnya kelimpungan. Di saat dia sendiri masih punya banyak harapan yang ingin diwujudkan.
Bagaimana mungkin dia menikah dengan Marshal yang entah siapa dia. Viona bahkan tidak mengenalnya. Dan yang membuatnya semakin tidak terima karena menurut pemikirannya, Marshal adalah laki-laki berumuran sama dengan ayahnya.
Mereka sama-sama pebisnis, tidak mungkin ayahnya punya rekan bisnis muda yang berkuasa. Sudah pasti rekan bisnis ayahnya sudah tua dan hal itu membuat Viona tidak ingin menyetujuinya.
Tapi, bagaimana dengan nasib para karyawan Heru? Bagaimana masa depan keluarganya? Apa dia bisa bertahan dan membangun kembali keluarganya seperti semula jika kebangkrutan itu tiba?
Meskipun sudah meyakinkan diri sendiri bahwa dia bisa, tapi hatinya tetap ragu.
Bagaimana cara membangun kembali keluarganya menjadi seperti sekarang jika kemampuan Viona saja belum terlihat ahli di bidang apapun?
Dia sudah pasti tidak akan bisa membantu keluarganya merintis karir kembali meskipun kemungkinan itu ada. Tapi, sedikit peluang yang bisa dia dapatkan.
Viona bangun dari duduknya. Lebih baik dia segera berangkat kuliah daripada merenungi nasib yang entah kapan meperlihatkan hilal berakhirnya.
****
"Maaf, gue lama." Frans duduk di hadapan Aness dan Viona.
Dia baru saja keluar dari kelas membuatnya harus terlambat menemui kedua sahabatnya yang sejak satu jam yang lalu sudah menunggunya di kantin kampus.
"Iya, gak apa-apa," sahut Viona pelan. Sedang Aness, dia hanya menoleh pada Frans sebentar lalu mengalihkan pandangan pada mangkuk Mie ayam yang tinggal setengah.
Lima belas menit berlalu, Frans tidak hentinya memperhatikan Viona yang nampak banyak terdiam. Tidak seperti biasanya. Ada apa dengan anak ini? Dari tadi hanya memegang sendok yang dia siapkan untuk memakan Mie Ayam yang sudah dia pesan bersama Aness tadi. Tapi, Mie ayamnya tidak dia cicipi sama sekali. Bahkan Mie ayam punya Aness sudah ludes, sedangkan Viona hanya melihat mangkuknya dalam diam. Diajak mengobrol pun dia hanya menyahuti seadanya. Nampak aneh sekali.
"Vi, lo kenapa?" tanya Frans yang sudah dirundung keanehan sejak tadi. Viona tampak lesu sekali, bahkan matanya terlihat lelah. Ada apa dengannya?
Viona hanya menggeleng. Menyimpan sendok pada mangkuk. Dia tidak berselera makan. "Aku gak apa-apa, cuma lagi males banyak ngomong aja," timbalnya.
Aness dan Frans saling pandang. Sudah kenal sejak lama dengan Viona membuat mereka paham jika ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. Mereka tahu betul sifat Viona. Dan tidak biasanya Viona nampak kurang bergairah seperti hari ini. Gadis itu selalu bahagia di setiap hari, bahkan tidak pernah mengeluh. Tapi hari ini dia berbeda. Pandangannya saja terlihat sekali sedang tidak baik-baik saja.
"Lo sakit? Lo kenapa? Mukanya lelah gitu," tanya Aness mulai merasa cemas. Tapi lagi-lagi Viona hanya menggeleng dan tersenyum. "Terus kenapa gak dimakan?"
"Gak laper," ujarnya bohong. Padahal dia sendiri sudah dua hari tidak makan. Hanya minum susu segelas tadi pagi saat akan berangkat ke kampus. Itu pun dipaksa oleh ibunya.
Aness diam. Memandang Viona dengan aneh. Dia sentuh kening Viona. Lumayan panas membuat Aness jadi cemas. "Lo sakit? Kenapa gak bilang dari tadi. Yaudah, kita anterin lo pulang, ya?" Aness menatap Viona khawatir.
Frans ikutan panik. Dia nyentuh kening, pipi, dan leher Viona juga. "Lo panas. Kita pulang ya?"
Tapi, Viona malah menggeleng dan tersenyum. "Aku gak apa-apa, beneran. Kalian kenapa parno gitu? Aku cuma gak enak badan aja, dikit." Viona malah tertawa geli melihat kedua sahabatnya langsung sibuk sendiri.
Frans buru-buru berdiri. Mengambil tas Viona dari atas meja. Disampirkan ke bahunya dan langsung beranjak untuk membantu Viona bangun dari duduknya.
Aness juga ikut berdiri, langsung mapah Viona kayak orang tua yang berpenyakitan minta diantarkan ke kamar mandi. Viona tertawa lagi. Reaksi kedua sahabatnya ini terlalu berlebihan. "Aku gak pa-pa."
"Udah, gak usah banyak ngomong. Kita anterin lo pulang," sarkas Frans yang langsung jongkok di depan Viona. "Naik. Gue gendong sampe parkiran," ucapnya dengan tegas.
Viona hanya melongo melihat Frans yang berjongkok dan menepuk punggungnya sendiri untuk Viona naiki. "Frans aku gak papa."
"Naik!"
"Udah, naik aja biar Frans gendong lo. Gue tahu lo pasti puyeng kalo harus jalan," timbal Aness dengan panik.
Viona malah tertawa lagi. Memukul punggung Frans yang sudah siap untuk ditunggangi. "Aku gak papa. Bisa jalan sendiri, kali."
Frans yang udah panik serta cemas, langsung berdiri. Balik badan menghadap Viona. Tanpa bicara dia langsung gendong Viona ala bridal style. "Terpaksa. Lo gak mau nurut," ucapnya tidak menghiraukan Viona yang kaget dan langsung berontak minta diturunkan.
Tapi Frans tidak peduli. Tetap menggendong Viona sampai parkiran dan menurunkannya di kursi mobil bagian belakang ditemani Aness yang masih menampakkan wajah cemasnya.
Viona jadi kesal pada sikap mereka yang terlalu berlebihan itu. Apalagi saat berpapasan dengan mahasiswa lain ketika keluar dari kantin menuju parkiran, Viona merasa malu sekali. Mereka terus merperhatikan Viona yang berontak di dalam gendongan Frans.
****
"Aku bisa sendiri," tolak Viona pada Frans yang sudah siap di posisinya untuk menggendong Viona kembali. Membantunya turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
"Gak usah, Frans! Aku bisa sendiri," geram Viona. Frans masih saja tidak menghiraukan penolakannya. Dan melakukan hal yang sama seperti tadi. Langsung menggendong Viona dan membawanya masuk.
Dengan terpaksa Viona diam diperlakukan seperti itu oleh sahabat sekaligus sepupunya itu. Dia pasrah saja hingga di depan pintu, Lina menjerit histeris.
"Viona ...! Kamu tidak apa-apa?"
Viona yang baru saja turun dari gendongan Frans, menatap Lina dengan bingung. Kenapa ibunya terlihat panik seperti itu? "Mama kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Apa yang sakit? Ini sakit? Apa kamu pusing? Mual? Lemas? Apa yang kamu rasakan, sayang?"
Viona hanya melongo. Tubuhnya diperiksa dengan tidak sabaran oleh Lina. "Mama kenapa, sih? Aku gak apa-apa, Ma."
"Sayang, kata Aness kamu sakit. Sakit apa? Apa yang sakit? Kenapa gak bilang sama Mama?" ucap Lina memeluk dan mengelus kepala anaknya dengan sayang.
Viona langsung menatap tajam pada Aness yang berada di samping Frans. Dia tidak suka dengan tindakan Aness yang berlebihan seperti itu. Dan lagi, kapan Aness memberitahukan ibunya? Kenapa Viona tidak tahu?
"Hehe, maaf, Vi. Abisnya gue khawatir. Jadi, tadi chat tante Lina." Aness cengengesan mendapat tatapan marah dari Viona. Dia jadi salah tingkah sendiri.
"Ada apa ini? Kenapa ngumpul di depan pintu?"
Mereka menoleh berbarengan melihat Heru yang akan masuk ke dalam rumah.
Frans dan Aness langsung menghampirinya dan mencium tangan Heru. "Viona sakit, Om. Makanya kami antarkan dia pulang," jelas Frans.
Heru tercengang. Jadi cemas dan langsung menghampiri Viona yang masih dipeluk oleh Lina. "Kamu sakit? Sakit apa? Udah ke dokter?" tanyanya penuh khawatir.
Viona membuang napasnya kasar. Menepis tangan Heru yang meneliti setiap tubuhnya. "Aku gak apa-apa. Jangan dengerin mereka! Aku baik-baik aja," ucap Viona jengah. Dia menatap kedua sahabatnya dengan horor.
"Bohong, Om. Viona kayaknya gak baik-baik aja. Dia bahkan gak mau makan. Dari tadi ngelamun terus. Kayaknya sakit, deh. Badannya juga panas," tutur Aness membuat kedua orangtua Viona semakin panik.
Heru langsung memerintahkan sopirnya untuk menyiapkan mobil pergi ke rumah sakit. Lina segera memanggil pelayan untuk menyiapkan perlengkapan Viona untuk ganti. Takut harus dirawat inap.
Viona harus meraup wajahnya kasar. Berteriak pada semua orang kalau dia tidak apa-apa.
"Aku baik-baik saja. Gak usah lebay, deh!" Viona melewati mereka begitu saja dan menaiki tangga dengan tergesa lalu masuk ke dalam kamarnya.
Menatap kepergian Viona dengan bingung. Mereka terdiam dengan pikiran berkecamuk heran. Hingga mereka tersadar saat sopir menghampiri.
"Mobilnya sudah siap, Tuan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Tua Jemima
iya bertele tele ceritax
2023-02-23
0
Mila Adelia Ra'e
terlalu bertele-tele ceritanya
2021-02-26
1
Rustin
bnyak yg aku skip....semangat thor
2021-02-25
1