"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Heru dengan tidak sabaran pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Viona.
Karena Viona yang keukeuh tidak mau dibawa ke rumah sakit dan selalu bilang tidak apa-apa, dengan terpaksa Heru memanggil dokter ke rumahnya. Dia sangat mencemaskan keadaan anak gadis semata wayangnya itu. Jadi, terpaksa menentang penolakan Viona yang tidak mau diperiksa.
"Viona perlu banyak istirahat. Dia terlalu kelelahan dan kurang asupan makanan," jelas dokter wanita itu pada Lina dan Heru.
"Tuhkan, apa kata Mama juga. Kamu harus makan. Gak boleh nolak lagi kalo dikasih makan," omel Lina pada Viona yang masih berbaring.
Viona langsung memalingkan wajahnya ke samping. Teramat jengah mendengar ucapan ibunya.
"Sudah berapa jam kamu telat makan, Viona?" tanya dokter yang juga sahabat ibunya itu dengan lembut.
"Bukan jam lagi, Din. Tapi, udah hitungan hari. Dia udah dua hari gak mau makan," sahut Lina dengan sedikit sewot. Viona menghela napas dalam. Ibunya ini terlalu terus terang.
Dokter bernama Dina itu nampak terkejut. Dia menatap Viona dengan penuh perhatian. "Harus makan, dong, Viona! Kamu juga jangan terlalu kelelahan! Jangan banyak pikiran juga! Memangnya kamu ini mikirin apa, sih, sampe nge-drop gini? Mikirin pacar, ya? Udah gak usah dipikirin. Kamu masih muda, gak baik kalo banyak pikiran."
Mendengar ucapan dokter Dina, Heru menunduk. Jadi karena banyak pikiran Viona sakit seperti ini? Viona pasti memikirkan perkataannya tentang tawaran Marshal, batinnya.
Heru jadi tidak tega dan merasa bersalah melihat Viona. Anaknya ini termasuk gadis tangguh. Bahkan jarang sekali sakit. Tapi, hanya karena ucapannya mengenai tawaran Marshal, Viona jadi kepikiran terlalu dalam.
...
Heru duduk di samping Viona yang masih berbaring. Di dalam kamar tinggal mereka berdua karena Lina mengantarkan dokter Dina yang baru saja pamit untuk pulang.
"Sayang," Heru mengusap kepala Viona dengan pelan walaupun anaknya itu tidak mau menoleh ke arahnya dan memilih memunggungi Heru. "untuk masalah ...," Heru jadi ragu untuk membahas ini. Apalagi saat Viona membalikan tubuhnya hingga menghadap padanya. Wajah lelah anaknya sangat kentara membuat dada Heru berdenyut nyeri dirundung rasa bersalah. "Kamu lupakan saja semua yang pernah papa katakan. Papa gak tega liat kamu seperti ini."
Viona hanya diam saja. Melihat wajah Heru yang terlihat sendu. Viona tahu ayahnya ini sedang menghadapi banyak masalah. Viona ingin membantunya tapi tidak tahu caranya. Sedangkan jika menyetujui tawaran Marshal, dia masih merasa gamang.
"Papa harap kamu-"
"Aku butuh waktu sendiri, Pa," potong Viona lirih. Dia kembali membalikan badannya memunggungi Heru yang mengembuskan napasnya berat.
Mau tidak mau dia harus membiarkan Viona untuk menyendiri dulu. Heru sangat menyesal telah mengatakan hal itu pada Viona. Dia merasa Viona membencinya dan bahkan didekati saja dia tidak mau.
Heru sudah melakukan segala cara supaya perusahaannya bertahan tanpa harus membawa korban. Tapi, semua usahanya nihil bahkan perusahaannya semakin hari semakin krisis. Dia bingung harus menyelesaikan masalahnya dengan apa. Dengan cara yang bagaimana, sedangkan investor saja tidak ada yang berminat membantunya.
Satu-satunya yang mau membantu dia hanya Marshal, yang sayangnya meminta timbal balik yang cukup memberatkan. Dia tidak bisa menyetujui permintaan Marshal jika berakibat buruk pada Viona. Hubungannya dengan Viona harus baik-baik saja, sekalipun mereka akan menderita. Tapi itu lebih baik daripada dia dibenci oleh anaknya sendiri.
****
"Apa saya tidak salah dengar? Kenapa Anda malah menolak tawaran dari saya? Apa semua penawarannya tidak menguntungkan?" ujar Marshal terkejut dengan kedatangan Heru yang tiba-tiba dan mengatakan menolak tawarannya.
Heru hanya mampu menunduk. Dia sebenarnya tergiur dengan penawaran Marshal dan berharap tawaran itu bisa dia setujui. Tapi dia tidak bisa membunuh perasaan Viona begitu saja. Putrinya lebih berharga daripada tawaran Marshal dan dia tidak mungkin bersikap egois pada anaknya sendiri.
"Kenapa Anda menolaknya, Tuan? Apa Anda sudah memikirkannya dengan baik?" Marshal masih belum percaya jika tawarannya yang sangat menggiurkan itui bisa ditolak Heru begitu saja. Dia sudah berharap banyak dan sangat menginginkan Heru menyetujuinya.
Hela napas dalam, embuskan. Heru menatap Marshal dengan bingung. Dia mengeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan. Entah apa artinya. Tapi, dia juga gusar jika dihadapkan dengan pilihan berat seperti ini. "Kebahagiaan putri saya lebih utama, Tuan. Saya tidak bisa membiarkan dia menyetujuinya jika terpaksa."
Marshal terdiam. Sebelum dia mengajukan penawaran, dia sudah menduga akan seperti ini jadinya. Tidak mungkin ada orang yang menyetujui tawarannya begitu saja, jika yang dia minta imbalan untuk menikahi putrinya. Heru bukan orang gila harta yang akan mudah tergiur, jika bukan keadaan yang sudah mendesaknya untuk meminta bantuan.
Apa yang harus Marshal lakukan sekarang demi mendapatkan putrinya Heru? Tidak mungkin dia menculiknya lalu menjadikannya istri, bukan?
"Tuan, apa Anda yakin? Tawaran saya hanya berlaku sekali," ucap Marshal penuh harap.
Heru terlihat bimbang. Dari sorot matanya sangat terlihat jika dia menginginkan bantuan dari Marshal. Tapi, rasa tanggung jawabnya sebagai seorang ayah yang tidak boleh egois membuatnya harus rela melepaskan bantuan yang mungkin terakhir yang akan dia dapatkan dan malah dia tolak. Dia sudah memikirkannya dan akan lapang dada menerima konsekuensinya.
"Maaf, Tuan. Saya sudah memikirkannya dengan matang. Perasaan Viona tidak bisa saya abaikan. Saya tidak mau dia menganggap saya ayah yang rela menjualnya," ucap Heru dengan lirih. Dia hanya mampu menunduk dengan rasa dilema yang amat dalam. Dampak terburuk dari kebangkrutan akan segera dia rasakan. Memang bukan yang terbaik, tapi setidaknya pandangan Viona pada Heru tidak berubah. Viona tidak akan menganggap Heru menjualnya demi perusahaan lagi.
***
"Ya ampun, Tuan!" Rio melempar bolpoin ke lantai dengan kasar. Sudah bosan mengingatkan Marshal yang hari ini nampak kurang fokus pada pekerjaan. Bukan kurang, tapi memang tidak fokus dengan pekerjaan. "Tuan ini kenapa?" ucap Rio dengan frustasi.
Marshal hanya menatap Rio heran. "Kamu kenapa?" Dia malah tanya balik membuat Rio menggeram seperti orang gila.
"Tuan, bisa tidak, Tuan fokus pada pekerjaan dulu? Sudah dua kali Tuan salah menandatangani berkas. Lihat!" Rio menekan-nekan lembaran berkas yang ada di hadapan Marshal dengan jari telunjuknya. "Tuan menandatanganinya di logo perusahaan, bukan ditempat yang semestinya," geram Rio dengan nada keras.
Marshal memperhatikan telunjuk Rio pada berkasnya. Sejenak dia masih terdiam. Namun, sedetik kemudian dia terbelalak sendiri. "Astagfirullah."
Marshal menatap Rio yang mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi. Asistennya itu tampak seperti orang depresi.
"Tuan kenapa?" tanya Rio setelah dia lebih tenang.
Membuang napasnya kasar, Marshal langsung berdiri dari duduknya. Dia berjalan menuju dinding kaca besar di samping meja kerjanya. Melihat gedung-gedung tinggi dan megah yang sejajar dengan perusahaannya. "Heru Pratama menolak tawaranku," ucapnya pelan. Masih memperhatikan ke arah luar jendela. Memasukan kedua tangan ke dalam saku celana.
Rio hanya ber'oh' ria. Dia tidak kaget sama sekali. Dia justru sedikit kesal. Jadi, karena hal itu Marshal tidak fokus bekerja?
"Tidak profesional," gumamnya.
"Apa penawaranku kurang menggiurkan?"
Rio yang sedang membereskan lembar kertas yang tercoret logonya, menoleh pada Marshal sejenak. "Bukan masalah pada penawarannya, tapi dengan syaratnya," sahut Rio. Kemudian dia melanjutkan kembali membereskan berkas lainnya yang sudah beres ditandatangani.
Marshal berbalik badan, menghadap pada Rio. "Memangnya kenapa dengan syaratnya? Aku hanya mengajukan satu tidak lebih. Syaratku hanya ingin menikahi anaknya dengan sah. Dimana masalahnya?"
Darah tinggi Rio kambuh lagi. Kenapa Marshal jadi lola seperti ini? "Tuan, syarat Tuan terlalu berat. Tentu saja tidak aneh jika tuan Heru menolaknya," ucap Rio mencoba setenang mungkin untuk tidak emosi di depan majikannya sendiri. "Lagian, kenapa juga Tuan harus bersikukuh menikahi putrinya? Ingat nona Amanda, Tuan! Mau di kemanakan dia?"
Melihat Marshal yang terdiam. Rio hanya geleng-geleng kepala. Semakin heran dengan pikiran Tuannya yang semakin hari semakin aneh saja kelakuannya. Meskipun Rio sudah tahu alasan Marshal ingin menikahi Viona. Tapi, tetap saja, itu tidak masuk akal dan Tuannya ini terlalu berlebihan saat mengingat masa lalu.
"Memusingkan," gumam Rio menunduk mengambil bolpoin yang tadi dilemparnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
HIATUS🖤
ayolah Viona😒
jangan menambah beban pikiranku
udah beban keluarga, sekolah, bumi, kamu ikut juga nambahinnya😌
2021-06-05
1
Shaila
Emang Marshal suka gitu ama Viona, kok dia mau nikah sama Viona.
2021-01-14
2
Elly Desi
biasa2nya bpknya lgsung stuju ngasih anaknya..ini nolak yaa👍..aq syuka lgi😘
2021-01-04
1