"Kenapa harus aku, tidak mencari jalan keluar lain saja? Apa papa tidak menyayangiku?" ucap Viona pada dirinya sendiri. Dia terdiam kembali.
Setelah mendengar penjelasan dari Heru yang sangat mengejutkan beberapa jam lalu, dia mengurung diri di kamar. Tidak membiarkan siapa pun masuk bahkan Heru sekalipun tidak bisa bertatap muka lagi dengannya sehingga Heru merasa tidak enak hati dengan dalam. Dia tahu, anaknya pasti sangat kecewa pada keputusannya. Namun, tidak ada jalan lain yang bisa dia lakukan. Hanya itu cara satu-satunya yang masih bisa jadi harapan. Meskipun menyakitkan.
Viona menggeleng lagi. Dia bahkan sampai tidak mau makan hanya karena memikirkan perkataan Heru. Viona tidak sedikitpun bicara lagi pada Heru maupun Lina yang sedari tadi terus meminta maaf padanya.
Kenapa? Kenapa harus dia yang menjadi korbannya? Kenapa harus dengan cara menikah yang menjadi jalan keluarnya? Kenapa?
Hidup Viona bagaikan runtuh dalam sedetik. Tidak tahu harus marah pada siapa dan bagaimana cara mencurahkannya. Hanya diam yang bisa dia lakukan. Menangis pun tidak bisa karena dia masih belum sepenuhnya percaya akan kenyataan itu. Kenyataan yang mengharuskan dia menikah dengan Marshal demi menyelamatkan perusahaan. Tidak masuk akal.
**
"Papa menjualku?" tanya Viona dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dia tidak menyangka jika Heru akan setega itu memperlakukannya.
Heru segera menggeleng dan meraih kembali tangan Viona. "Bukan begitu maksud papa, Viona. Papa hanya tidak punya pilihan lain. Jangan anggap masalah ini tindak penjualan! Papa sakit mendengarnya. Anggap saja ini sebuah penyelamatan terhadap kelanjutan hidup keluarga kita. Dengan-"
"Tetap saja namanya penjualan, Pa!" potong Viona dengan nada tinggi. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya ini. Kenapa harus mengorbankan anak hanya demi perusahaan? "Jika perusahaan lebih berharga, maka buang saja aku. Jika-"
"Bukan itu maksud papa, Viona!" bentak Heru membuat Viona langsung terdiam dengan raut yang jelas memancarkan keterkejutan. Heru tidak pernah membentaknya seperti itu.
Sadar dengan nadanya yang terlalu keras, Heru menghela napas kasar dan meminta maaf pada Viona yang mulai ketakutan. "Bisa tidak kamu mengerti keadaan? Papa sedang pusing dan tidak punya jalan keluar. Harapan papa cuma kamu. Hanya kamu, Viona. Jika perusahaan hancur, maka keluarga kita akan hidup sengsara. Kamu mau hidup luntang lantung, tidak tenang dililit utang?"
**
"Arghh! Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Viona mengacak rambutnya frustasi saat mengingat penjelasan Heru. Dia duduk bersimpuh di samping ranjang dengan kedua kaki yang ditekuk.
Keadaan yang sangat rumit ini membuatnya sampai hilang akal. Bagaimana ia bisa menikah dengan Marshal yang belum dia cintai bahkan tidak dia kenal sama sekali. Terlebih, pernikahannya harus dilakukan demi menyelamatkan perusahaan. Apa itu terdengar masuk akal? Tidak. Sama saja dengan penjualan anak, bukan?
Tapi, Viona sendiri juga tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin membantu ayahnya untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara lain supaya dia tidak menikah dengan Marshal. Tapi dengan cara apa? Heru saja orang ahli di bidang perbisnisan sudah kelimpungan, apalagi dirinya yang bahkan tidak mengerti sama sekali tentang perusahaan.
"Dek?"
Viona mendongak melihat ke arah pintu. Vino masuk dan menutup pintunya kembali lalu menghampiri Viona. Dia ikut duduk bersimpuh di atas karpet dan menyandarkan punggung pada pinggiran ranjang.
"Kamu kenapa?" tanya Vino basa basi. Sebenarnya dia juga tahu jika Viona sedang dalam kondisi yang kurang baik karena Vino sudah tahu semuanya dari Heru.
Viona menggeleng dan menunduk. Dia hanya terdiam menahan rasa sakit itu sendirian. Padahal matanya sudah panas ingin menumpahkan bulirannya sekarang juga. Tapi, sebisa mungkin ia tahan. Viona tidak mau kakaknya jadi ikut khawatir.
"Hei, kamu kenapa?" Vino menunduk. Menarik dagu Viona hingga bisa menatapnya dengan lekat. "Mau nangis? Kenapa?" Vino tahu betul sifat adiknya. Dia juga tidak tega melihat Viona muram seperti ini. Yang Vino tahu, adiknya itu sangat periang dan tegar. Tidak pernah terlihat sekacau ini.
Tanpa berkata lagi, Viona memeluk Vino dengan erat. Tangisnya langsung tumpah di dalam dekapan Vino hingga membasahi baju bagian dada kakaknya.
Dengan perlahan, diusapnya punggung Viona yang terguncang. Vino teramat paham dengan perasaan Viona, bahkan jika dia yang berada di posisi Viona, mungkin tidak akan sanggup mendengar kenyataan ini. Mendengar Heru yang akan menikahkannya demi perusahaan, mungkin Vino dengan segera akan menentang. Tapi adiknya ini hanya terdiam menyimpan sakitnya sendiri. Setegar itukah Viona mengetahui hal yang mengejutkan ini?
"Sst, sudah-sudah!" Vino mengelus kepala Viona dengan sayang. Tidak tega melihat Viona yang tangguh ini menjadi rapuh hanya karena perkataan Heru.
"Kak, aku akan dinikahkan sama Tuan Marshal," ucap Viona dengan terisak. Masih menyembunyikan wajahnya di dada sang kakak. "Aku gak mau. Aku gak mau menikah dengannya. Aku gak kenal dia." Tangis Viona semakin pilu terasa membuat Vino semakin tidak tega.
Lama Viona menangis dalam dekapan Vino yang hanya terdiam memberikan waktu untuk adiknya mengeluarkan semua perasaannya. Rasa terkejut, kecewa, sedih, dan marah Viona luapkan dengan tangisan yang dia tumpah ruahkan di depan sang kakak. Hanya dengan Vino dia bisa berbagi segalanya. Mengatakan ketidaksediannya menuruti perintah Heru dengan gamblang. Hanya pada kakaknya dia bisa mencurahkan semuanya dan meminta bantuan, saat ini.
"Dek, sudah! Kakak gak mau liat kamu nangis terus kayak gini." Vino mengurai pelukannya membuat Viona harus sedikit menjauh dari dadanya dan perlahan mereka bertatapan. "Ululu, lihat! Wajah kamu ambyar gini," gurau Vino menguyel-uyel pipi sang adik dengan gemas.
Viona jadi tersipu mendengarnya. Tangisnya mulai mereda namun masih enggan untuk bicara.
"Katakan! Apa yang membuatmu sampai menangis sedahsyat ini?" ucap Vino dengan pelan. Tidak lupa dia juga tersenyum menggoda membuat Viona jadi salah tingkah. Dia tahu, Vino sedang mencoba menghiburnya supaya tidak merasa tegang dan sedih lagi. Namun, Viona masih bisa merasakan kesedihannya walau tidak sebesar tadi.
"Aku harus bagaimana? Papa akan menikahkan aku demi menyelamatkan perusahaan. Itu sama saja dengan menjualku 'kan, Kak? Apa aku harus menuruti keinginan papa?"
Vino terdiam memandangi wajah sang adik dengan lekat. Dia juga bingung dengan keadaan saat ini. Dia sudah mencoba memutar otak untuk membantu keluar dari masalah yang dihadapi Heru. Tapi, hanya jalan buntu yang dia dapatkan. Satu-satunya jalan keluar memang dengan menyetujui tawaran Marshal. Tapi itu sudah pasti sangat berat untuk dilakukan.
"Aku gak mau, Kak. Bahkan aku gak kenal dia. Tapi, papa ...." Tangis Viona kembali pecah. Menyurukan wajahnya pada sang Kakak, Viona tidak bisa menahan lagi rasa sedih dan marahnya.
"Sstt, sudah jangan nangis lagi!" Tak hentinya Vino mengusap punggung Viona hingga adiknya kembali tenang. "Papa melakukan semua ini juga ada alasannya. Kakak tahu, papa terpaksa melakukan ini. Jika ada cara lain, sudah tentu papa tidak akan melakukan hal ini ...."
"Tapi kenapa harus aku, Kak?"
Vino membuang napasnya gusar. Itulah yang menjadi titik terberatnya. Viona yang harus dikorbankan dan tidak ada pilihan lain lagi. Jika saja, posisinya berbeda dan Vino yang harus menggantikan adiknya. Dengan senang hati Vino akan melakukannya. Asalkan bukan Viona yang menanggung imbas dari semuanya.
Tapi, semua itu tidak mungkin bisa diubah dengan posisi. Yang Marshal inginkan hanya menikahi Viona. Heru dan Vino bisa apa, mereka hanya orang yang sedang kelaparan mencari bantuan. Dan, datang Marshal memberikan penawaran. Awalnya, mereka kira penawarannya akan mudah dihadapi untuk kemudian disetujui. Ternyata tidak.
Kenapa juga Marshal harus meminta menikahinya? Padahal jika Marshal meminta timbal balik jasa, Vino bisa mengabdikan sisa hidupnya untuk bekerja dengan Marshal sekalipun tidak digaji.
"Aku harus apa, Kak? Aku tidak mau menikah dengannya." Pelukan Viona semakin erat meskipun isak tangisnya sudah mereda. Tapi nada pilunya masih bisa terasa menyesakkan dada.
"Jika Kakak berada di posisi aku, apa yang akan kakak lakukan?" Viona melepaskan pekukannya. Menatap Vino dengan lekat. "Kakak pasti menolaknya juga, kan? Sama seperti aku. Tidak mungkin Kakak mau menikah dengan orang yang tidak Kakak cintai, bahkan hanya karena alasan perusahaan. Sudah pasti Kakak akan menolaknya, kan?"
"Tidak," jawab Vino dengan cepat.
Viona tertegun mendengar jawaban kakaknya. "Apa kakak gila? Tidak mungkin kakak mau melakukan itu?"
"Viona, dengarkan Kakak!" Vino mengusap pipi adiknya dengan lembut. Perlahan menjelaskan alasannya dengan tenang. "Jika kakak berada di posisimu, kakak pasti menyetujuinya-"
"Kenapa?" tanya Viona tidak terima. Dia tidak sepemikiran dengan Vino. Bagaimana mungkin penawaran seperti itu disetujui dengan mudah? Gampamg sekali Vino bicara seperti itu. Apa dia tidak melihat betapa tersiksanya Viona saat mengetahui hal itu?
"Dengar dulu!" ucap Vino masih tenang. Viona pun akhirnya terdiam walaupun batinnya tidak terima dan menolak pemikirian kakaknya yang tidak berperasaan itu. "Dampak dari kebangkrutan perusahaan papa bukan hanya berakibat pada kita, tapi juga pada orang lain."
"Maksud kakak?"
Vino tersenyum manis membawa aura menenangkan sebelum dia menjelaskan. Viona pun terdiam kembali. "Kita lupakan dulu dampaknya terhadap keluarga kita yang sudah jelas pasti akan menderita," ujar Viona dengan lembut.
"Kamu pasti tahu, karyawan di perusahaan papa itu puluhan ribu. Jika perusahaan bangkrut, apa yang akan terjadi pada mereka? Tidak jadi masalah besar jika hanya keluarga kita yang mendapat imbasnya. Paling-paling kita sengsara dan hidup luntang lantung. Tapi kita masih bisa berusaha untuk bangun di kemudian hari. Tapi, mereka? Bagaimana nasib puluhan ribu karyawan papa? Bagaimana mereka menjalani kehidupannya lagi setelah kebangkrutan itu tiba? Tidak mungkin ada perusahaan lain yang akan menerima mereka dengan cepat. Itu artinya dampak terbesar dari kebangkrutan ini bukan keluarga kita, tapi mereka."
Viona hanya diam. Merenungkan ucapan Vino yang memang benar masuk akal. Tetapi, apa harus Viona yang berkorban?
"Percayalah! Papa melakukan semua ini dengan alasan yang jelas. Bukan hanya karena tidak mau melihat keluarganya menderita, tapi juga tidak mau menghancurkan taraf hidup banyak keluarga."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
KalinggaAnom
paling sebel ya mengatasnamakan orang lain biar kita berkorban. Duh, badmood baca part ini...
2021-02-13
2
Michelle Avantica
mulai baca dan moga beda dgn yg lainnya ya..
2021-02-06
1
Shaila
Mantap Thor👍
2021-01-14
1