"Bagaimana, Tuan? Apa Anda menyetujui penawaran saya?"
Laki-laki setengah baya itu menunduk. Dia tahu, tawaran Marshal adalah tawaran yang selama ini dia nantikan. Yang dia inginkan untuk menopang kerugian di perusahaannya supaya tidak mengalami kebangkrutan.
Tapi bukan itu. Bukan itu masalah yang dia inginkan saat ini. Dia tidak mungkin menuruti penawaran Marshal jika syaratnya harus merelakan putri bungsunya sebagai tameng menyelamatkan perusahaan. Tidak bisa dan tidak mungkin dia lakukan.
Viona adalah gadis satu-satunya yang dia miliki. Heru sangat menyayangi anaknya melebihi perusahaan. Tapi, keadaan memang memusingkan. Jika perusahaan bangkrut, maka nasib keluarganya juga yang akan menjadi taruhan. Keluarganya akan ikut terdampak dan itu artinya, Viona juga akan merasakan hidup menderita jika kebangkrutan itu tiba.
Tidak. Heru tidak mau melihat anak dan istrinya hidup sengsara. Dia harus berusaha untuk menyelamatkan perusahaannya demi mempertahankan kebahagiaan keluarga.
"Tuan, saya hanya ingin menikahi putri Anda. Saya akan menjamin, jika Anda memberikan putri Anda pada saya, maka dapat dipastikan jika perusahaan Anda tidak akan mengalami kebangkrutan sekalipun," bujuk laki-laki muda berusia 28 itu lagi. Berulangkali dia memberikan penawaran menarik untuk membujuk. Namun, Heru tidak juga menunjukkan ketertarikannya.
Heru menatap Marshal dengan sendu. Menggeleng tegas. Dia tidak mungkin memberikan anaknya jika harus dipertaruhkan demi perusahaan. Bagaimanapun juga, kebahagiaan keluarga lebih utama daripada perusahaannya.
"Apa Anda yakin, Tuan? Penawaran saya sangat menggiurkan dan tentu saja menguntungkan," ucap Marshal sembari tersenyum. "Lagian, saya tidak yakin dengan kebahagiaan keluarga jika perusahaan Anda terkikis. Kalian hanya bergantung dengan perusahaan, dan jika perusahaan terhenti, apa yang akan terjadi?"
Benar. Ucapan Marshal memang benar dan Heru juga berpikir demikian. Tapi dia tidak mungkin rela untuk melepaskan Viona. "Tuan, mintalah hal lain jika Tuan menginginkan timbal balik dari saya, asalkan jangan putri saya, Tuan."
Marshal tersenyum. Mengangkat gelas berisikan kopi hitam dari atas meja lalu menyesapnya sedikit sebelum dia simpan kembali. "Maaf Tuan, jika saya harus mengatakan ini," ucap Marshal dengan sungkan. "Apa yang bisa Anda berikan pada saya, sedangkan perusahaan Anda saja sedang tidak stabil. Kalaupun Anda punya sesuatu yang berharga, mungkin alangkah lebih baiknya jika digunakan untuk menunjang perusahaan daripada diberikan kepada saya."
Selalu benar. Lalu apa yang harus Heru lakukan? Dia memang sudah kehabisan cara untuk menopang kerugiaan perusahaan, bahkan jika diperbaiki dengan semua harta yang dia punya pun, Heru rasa tidak akan cukup karena masalah yang perusahaannya alami terlalu besar untuk dihadapi seorang diri. Dia butuh investor yang bersedia menanam sahamnya dengan jumlah besar dan selama ini, Heru tidak kunjung mendapatkannya. Mungkin semua investor juga akan berpikir dua kali jika harus menanamkan saham di perusahaan yang berada di ambang kebangkrutan.
Lama Heru terdiam membuat Marshal menyeringai senang. Dia rasa Heru akan menyetujui keinginannya. "Jadi, bagiamana, Tuan?"
Heru tetap menggeleng hingga Marshal harus menghela napas dalam melihatnya. "Tawaran saya hanya akan saya berikan sekali. Jadi, saya rasa Anda harus mempertimbangkannya dengan baik!"
Hela napas dalam, embuskan. Heru menatap Marshal dengan intens, dia menggeleng kembali. "Tidak bisa, Tuan. Saya tidak mungkin melakukan kebodohan seperti itu," ucapnya dengan lirih namun penuh penekanan.
Marshal harus memutar otak untuk membujuk Heru yang keras kepala ini. Sepertinya, Heru tergiur dengan tawaran Marshal. Namun, perasaan sayang pada putrinya lebih utama dibandingkan dengan kepeduliannya terhadap perusahaan. Itu wajar terjadi dan Marshal sangat memahami hal itu. Ayah mana yang akan tega menyerahkan anaknya begitu saja di saat ada orang yang memintanya secara tiba-tiba dengan alasan ingin membantu perusahaannya. Secara tidak sadar, itu bisa dibilang tindak penjualan? Atau masih bisa dibilang negosiasi halus?
"Tuan," panggil Marshal dengan tenang, "saya tahu, Tuan berat melakukan hal ini. Tapi, saya benar-benar menginginkan putri Anda untuk saya nikahi dan saya sudah pasti akan membantu perusahaan Anda untuk kembali berdiri dengan tegak dan bersejajar kembali di posisi yang sebelumnya, bahkan bisa menempati pencapaian tertinggi jika itu yang Anda inginkan. Saya akan menjamin semuanya kembali baik-baik saja."
Heru masih terdiam. Pikirannya berkecamuk. Namun, hati kecilnya sudah jelas tidak mungkin bisa melakukan hal itu. Sebesar apapun masalah yang dia hadapi, tidak boleh ada korban dalam menyelesaikannya, itulah prinsip dia.
Tapi, pikiran semrawut perlahan membawa pemikirannya menuju keegoisan. Dia juga bingung dan tidak tahu harus bagaimana sekarang. Terlebih, nasib keluarga bahkan masa depan anaknya yang dipertaruhkan.
"Saya akan memberikan waktu supaya Anda bisa memikirkannya kembali," ucap Marshal, "dan saya akan menunggu jawaban atas persetujuan Anda secepatnya."
"Kenapa Tuan sangat menginginkan putri saya? Kalian bahkan tidak saling kenal," tanya Heru. Pertanyaan itu ingin ia lontarkan sedari tadi tapi keberaniannya tertutupi oleh rasa bimbang yang dia hadapi.
Laki-laki tampan yang memakai jas berwarna navy itu tersenyum. "Saya hanya ingin menikahinya, Tuan. Minat saya pada putri Anda muncul telah lama silam. Mungkin Anda bisa menanyakannya pada Vino. Dia tahu segalanya tentang saya karena kami sahabat," jelas Marshal. "Masalah kita tidak saling kenal, itu bisa mudah dilakukan. Jika hanya berkenalan, sekarang juga kita bisa langsung saling mengenal, Tuan."
Heru tidak menyimak ucapan Marshal dengan benar. Pikirannya masih semrawut dan sulit untuk dijelaskan. Perusahaan dan nasib keluarga sangat terancam dan tidak ada jalan lain yang bisa dia lakukan.
"Tuan?" panggilan Marshal mengembalikan kesadaran Heru yang semula terdiam sedang melamun. Heru tersenyum canggung pada Marshal dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, dari rautnya, terlihat jelas jika ada kebingungan dan kebimbangan di sana. "Saya akan memikirkannya, Tuan," ucap Heru dengan terpaksa.
Marshal tersenyum senang. Dengan begitu, besar kemungkinan jika tawarannya akan disetujui oleh Heru.
***
"Huhh, lelah sekali!"
Viona menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Hari ini begitu melelahkan baginya. Sore hari, dia baru pulang karena banyaknya kegiatan di kampus yang begitu menyita waktu dan juga tenaga. Yang dia inginkan sekarang hanyalah merebah dan mencoba memejamkan mata. Biarlah tubuhnya belum dibersihkan, juga. Rasa lelah membawanya pada rasa malas walaupun hanya sekadar berjalan menuju kamar mandi.
Viona menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan. Kepala Heru muncul di sana. Di balik celah pintu yang sedikit terbuka. "Apa Papa boleh masuk?"
Viona yang semula berbaring, langsung mendudukan dirinya dan mempersilakan sang ayah untuk masuk. "Ada apa, Pa?" tanya Viona saat Heru sudah duduk di sampingnya.
Heru tersenyum dengan kaku. Wajahnya mulai memperlihatkan keraguan membuat Viona jadi heran. "Kenapa, Pa?"
Heru menggeleng dan tersenyum. Dia tidak mau mengatakannya namun keadaan sudah menuntutnya. Mau tidak mau Heru harus mengatakan semuanya pada Viona. Meskipun akan terasa sangat berat dan Heru yakin jika putrinya akan menolak.
Sudah seminggu berlalu setelah mendengar tawaran Marshal. Bukannya mendapatkan solusi, Heru malah semakin tertekan dengan keadaan. Perusahaannya sudah ada di ujung tanduk dan mau tidak mau Heru harus mengatakan niatnya pada Viona sebagai jalan akhir yang bisa dia tempuh meskipun sangat sulit untuk dilakukan.
"Papa ...," Beberapa kali Heru menghela dan membuang napasnya guna menghilangkan ketegangan. Namun, dia tidak bisa. Dia ragu. Dia takut juga cemas dan tidak rela jika harus merelakan Viona. "papa, mau mengatakan sesuatu sama kamu."
Viona yang memang sudah dirundung penasaran, hanya bisa terdiam. Menunggu hal apa yang akan Heru katakan.
Sepertinya Papa akan mengatakan hal yang serius sampai terlihat ragu seperti itu. Sebenarnya apa yang akan Papa katakan? ucap batin Viona heran.
"Nak, perusahaan papa sedang dalam keadaan darurat. Semuanya sudah tidak bisa papa pertahankan karena papa sudah tidak punya cukup biaya untuk menopang kerugian dan masalah lainnya." Heru menghela napas berat, ditatapnya wajah Viona dengan lekat. "Papa tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkannya. Hanya ada dua pilihan yang bisa Papa lakukan. Menjual semua aset untuk menutupi kerugian atau," Heru menggantungkan lagi kalimatnya membuat Viona semakin penasaran. "kamu yang jadi penolongnya."
Viona mengernyit dalam. Tidak paham dengan maksud ucapan Heru. Memangnya dia bisa menolong apa pada perusahaan? Kuliah saja belum lulus dan Viona sama sekali tidak mengerti tentang mengurus perusahaan. "Maksud Papa, gimana? Memangnya aku bisa membantu?"
Heru memegang kedua tangan Viona dengan lembut. Dia kembali tersenyum dengan raut penuh kesedihan. Hatinya berkata tidak boleh melakukan hal ini. Tapi, pikiran egoisnya terpaksa harus menyerahkan Viona sebagai tumpuan. "Kamu harus menikah dengan Tuan Marshal untuk menyelamatkan perusahaan kita."
Viona terdiam cukup lama mencerna ucapan Heru. Namun, sedetik kemudian dia langsung bertanya dengan nada tegas supaya Heru menjelaskan semuanya dengan benar dan Viona bisa meyakini jika apa yang Heru katakan bukan hanya sekadar guyonan.
"Kenapa harus aku, tidak mencari jalan keluar lain saja? Apa papa tidak menyayangiku?" ucap Viona pada dirinya sendiri. Dia terdiam kembali.
Setelah mendengar penjelasan dari Heru yang sangat mengejutkan beberapa jam lalu, dia mengurung diri di kamar. Tidak membiarkan siapa pun masuk bahkan Heru sekalipun tidak bisa bertatap muka lagi dengannya sehingga Heru merasa tidak enak hati dengan dalam. Dia tahu, anaknya pasti sangat kecewa pada keputusannya. Namun, tidak ada jalan lain yang bisa dia lakukan. Hanya itu cara satu-satunya yang masih bisa jadi harapan. Meskipun menyakitkan.
Viona menggeleng lagi. Dia bahkan sampai tidak mau makan hanya karena memikirkan perkataan Heru. Viona tidak sedikitpun bicara lagi pada Heru maupun Lina yang sedari tadi terus meminta maaf padanya.
Kenapa? Kenapa harus dia yang menjadi korbannya? Kenapa harus dengan cara menikah yang menjadi jalan keluarnya? Kenapa?
Hidup Viona bagaikan runtuh dalam sedetik. Tidak tahu harus marah pada siapa dan bagaimana cara mencurahkannya. Hanya diam yang bisa dia lakukan. Menangis pun tidak bisa karena dia masih belum sepenuhnya percaya akan kenyataan itu. Kenyataan yang mengharuskan dia menikah dengan Marshal demi menyelamatkan perusahaan. Tidak masuk akal.
**
"Papa menjualku?" tanya Viona dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dia tidak menyangka jika Heru akan setega itu memperlakukannya.
Heru segera menggeleng dan meraih kembali tangan Viona. "Bukan begitu maksud papa, Viona. Papa hanya tidak punya pilihan lain. Jangan anggap masalah ini tindak penjualan! Papa sakit mendengarnya. Anggap saja ini sebuah penyelamatan terhadap kelanjutan hidup keluarga kita. Dengan-"
"Tetap saja namanya penjualan, Pa!" potong Viona dengan nada tinggi. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya ini. Kenapa harus mengorbankan anak hanya demi perusahaan? "Jika perusahaan lebih berharga, maka buang saja aku. Jika-"
"Bukan itu maksud papa, Viona!" bentak Heru membuat Viona langsung terdiam dengan raut yang jelas memancarkan keterkejutan. Heru tidak pernah membentaknya seperti itu.
Sadar dengan nadanya yang terlalu keras, Heru menghela napas kasar dan meminta maaf pada Viona yang mulai ketakutan. "Bisa tidak kamu mengerti keadaan? Papa sedang pusing dan tidak punya jalan keluar. Harapan papa cuma kamu. Hanya kamu, Viona. Jika perusahaan hancur, maka keluarga kita akan hidup sengsara. Kamu mau hidup luntang lantung, tidak tenang dililit utang?"
**
"Arghh! Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Viona mengacak rambutnya frustasi saat mengingat penjelasan Heru. Dia duduk bersimpuh di samping ranjang dengan kedua kaki yang ditekuk.
Keadaan yang sangat rumit ini membuatnya sampai hilang akal. Bagaimana ia bisa menikah dengan Marshal yang belum dia cintai bahkan tidak dia kenal sama sekali. Terlebih, pernikahannya harus dilakukan demi menyelamatkan perusahaan. Apa itu terdengar masuk akal? Tidak. Sama saja dengan penjualan anak, bukan?
Tapi, Viona sendiri juga tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin membantu ayahnya untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara lain supaya dia tidak menikah dengan Marshal. Tapi dengan cara apa? Heru saja orang ahli di bidang perbisnisan sudah kelimpungan, apalagi dirinya yang bahkan tidak mengerti sama sekali tentang perusahaan.
"Dek?"
Viona mendongak melihat ke arah pintu. Vino masuk dan menutup pintunya kembali lalu menghampiri Viona. Dia ikut duduk bersimpuh di atas karpet dan menyandarkan punggung pada pinggiran ranjang.
"Kamu kenapa?" tanya Vino basa basi. Sebenarnya dia juga tahu jika Viona sedang dalam kondisi yang kurang baik karena Vino sudah tahu semuanya dari Heru.
Viona menggeleng dan menunduk. Dia hanya terdiam menahan rasa sakit itu sendirian. Padahal matanya sudah panas ingin menumpahkan bulirannya sekarang juga. Tapi, sebisa mungkin ia tahan. Viona tidak mau kakaknya jadi ikut khawatir.
"Hei, kamu kenapa?" Vino menunduk. Menarik dagu Viona hingga bisa menatapnya dengan lekat. "Mau nangis? Kenapa?" Vino tahu betul sifat adiknya. Dia juga tidak tega melihat Viona muram seperti ini. Yang Vino tahu, adiknya itu sangat periang dan tegar. Tidak pernah terlihat sekacau ini.
Tanpa berkata lagi, Viona memeluk Vino dengan erat. Tangisnya langsung tumpah di dalam dekapan Vino hingga membasahi baju bagian dada kakaknya.
Dengan perlahan, diusapnya punggung Viona yang terguncang. Vino teramat paham dengan perasaan Viona, bahkan jika dia yang berada di posisi Viona, mungkin tidak akan sanggup mendengar kenyataan ini. Mendengar Heru yang akan menikahkannya demi perusahaan, mungkin Vino dengan segera akan menentang. Tapi adiknya ini hanya terdiam menyimpan sakitnya sendiri. Setegar itukah Viona mengetahui hal yang mengejutkan ini?
"Sst, sudah-sudah!" Vino mengelus kepala Viona dengan sayang. Tidak tega melihat Viona yang tangguh ini menjadi rapuh hanya karena perkataan Heru.
"Kak, aku akan dinikahkan sama Tuan Marshal," ucap Viona dengan terisak. Masih menyembunyikan wajahnya di dada sang kakak. "Aku gak mau. Aku gak mau menikah dengannya. Aku gak kenal dia." Tangis Viona semakin pilu terasa membuat Vino semakin tidak tega.
Lama Viona menangis dalam dekapan Vino yang hanya terdiam memberikan waktu untuk adiknya mengeluarkan semua perasaannya. Rasa terkejut, kecewa, sedih, dan marah Viona luapkan dengan tangisan yang dia tumpah ruahkan di depan sang kakak. Hanya dengan Vino dia bisa berbagi segalanya. Mengatakan ketidaksediannya menuruti perintah Heru dengan gamblang. Hanya pada kakaknya dia bisa mencurahkan semuanya dan meminta bantuan, saat ini.
"Dek, sudah! Kakak gak mau liat kamu nangis terus kayak gini." Vino mengurai pelukannya membuat Viona harus sedikit menjauh dari dadanya dan perlahan mereka bertatapan. "Ululu, lihat! Wajah kamu ambyar gini," gurau Vino menguyel-uyel pipi sang adik dengan gemas.
Viona jadi tersipu mendengarnya. Tangisnya mulai mereda namun masih enggan untuk bicara.
"Katakan! Apa yang membuatmu sampai menangis sedahsyat ini?" ucap Vino dengan pelan. Tidak lupa dia juga tersenyum menggoda membuat Viona jadi salah tingkah. Dia tahu, Vino sedang mencoba menghiburnya supaya tidak merasa tegang dan sedih lagi. Namun, Viona masih bisa merasakan kesedihannya walau tidak sebesar tadi.
"Aku harus bagaimana? Papa akan menikahkan aku demi menyelamatkan perusahaan. Itu sama saja dengan menjualku 'kan, Kak? Apa aku harus menuruti keinginan papa?"
Vino terdiam memandangi wajah sang adik dengan lekat. Dia juga bingung dengan keadaan saat ini. Dia sudah mencoba memutar otak untuk membantu keluar dari masalah yang dihadapi Heru. Tapi, hanya jalan buntu yang dia dapatkan. Satu-satunya jalan keluar memang dengan menyetujui tawaran Marshal. Tapi itu sudah pasti sangat berat untuk dilakukan.
"Aku gak mau, Kak. Bahkan aku gak kenal dia. Tapi, papa ...." Tangis Viona kembali pecah. Menyurukan wajahnya pada sang Kakak, Viona tidak bisa menahan lagi rasa sedih dan marahnya.
"Sstt, sudah jangan nangis lagi!" Tak hentinya Vino mengusap punggung Viona hingga adiknya kembali tenang. "Papa melakukan semua ini juga ada alasannya. Kakak tahu, papa terpaksa melakukan ini. Jika ada cara lain, sudah tentu papa tidak akan melakukan hal ini ...."
"Tapi kenapa harus aku, Kak?"
Vino membuang napasnya gusar. Itulah yang menjadi titik terberatnya. Viona yang harus dikorbankan dan tidak ada pilihan lain lagi. Jika saja, posisinya berbeda dan Vino yang harus menggantikan adiknya. Dengan senang hati Vino akan melakukannya. Asalkan bukan Viona yang menanggung imbas dari semuanya.
Tapi, semua itu tidak mungkin bisa diubah dengan posisi. Yang Marshal inginkan hanya menikahi Viona. Heru dan Vino bisa apa, mereka hanya orang yang sedang kelaparan mencari bantuan. Dan, datang Marshal memberikan penawaran. Awalnya, mereka kira penawarannya akan mudah dihadapi untuk kemudian disetujui. Ternyata tidak.
Kenapa juga Marshal harus meminta menikahinya? Padahal jika Marshal meminta timbal balik jasa, Vino bisa mengabdikan sisa hidupnya untuk bekerja dengan Marshal sekalipun tidak digaji.
"Aku harus apa, Kak? Aku tidak mau menikah dengannya." Pelukan Viona semakin erat meskipun isak tangisnya sudah mereda. Tapi nada pilunya masih bisa terasa menyesakkan dada.
"Jika Kakak berada di posisi aku, apa yang akan kakak lakukan?" Viona melepaskan pekukannya. Menatap Vino dengan lekat. "Kakak pasti menolaknya juga, kan? Sama seperti aku. Tidak mungkin Kakak mau menikah dengan orang yang tidak Kakak cintai, bahkan hanya karena alasan perusahaan. Sudah pasti Kakak akan menolaknya, kan?"
"Tidak," jawab Vino dengan cepat.
Viona tertegun mendengar jawaban kakaknya. "Apa kakak gila? Tidak mungkin kakak mau melakukan itu?"
"Viona, dengarkan Kakak!" Vino mengusap pipi adiknya dengan lembut. Perlahan menjelaskan alasannya dengan tenang. "Jika kakak berada di posisimu, kakak pasti menyetujuinya-"
"Kenapa?" tanya Viona tidak terima. Dia tidak sepemikiran dengan Vino. Bagaimana mungkin penawaran seperti itu disetujui dengan mudah? Gampamg sekali Vino bicara seperti itu. Apa dia tidak melihat betapa tersiksanya Viona saat mengetahui hal itu?
"Dengar dulu!" ucap Vino masih tenang. Viona pun akhirnya terdiam walaupun batinnya tidak terima dan menolak pemikirian kakaknya yang tidak berperasaan itu. "Dampak dari kebangkrutan perusahaan papa bukan hanya berakibat pada kita, tapi juga pada orang lain."
"Maksud kakak?"
Vino tersenyum manis membawa aura menenangkan sebelum dia menjelaskan. Viona pun terdiam kembali. "Kita lupakan dulu dampaknya terhadap keluarga kita yang sudah jelas pasti akan menderita," ujar Viona dengan lembut.
"Kamu pasti tahu, karyawan di perusahaan papa itu puluhan ribu. Jika perusahaan bangkrut, apa yang akan terjadi pada mereka? Tidak jadi masalah besar jika hanya keluarga kita yang mendapat imbasnya. Paling-paling kita sengsara dan hidup luntang lantung. Tapi kita masih bisa berusaha untuk bangun di kemudian hari. Tapi, mereka? Bagaimana nasib puluhan ribu karyawan papa? Bagaimana mereka menjalani kehidupannya lagi setelah kebangkrutan itu tiba? Tidak mungkin ada perusahaan lain yang akan menerima mereka dengan cepat. Itu artinya dampak terbesar dari kebangkrutan ini bukan keluarga kita, tapi mereka."
Viona hanya diam. Merenungkan ucapan Vino yang memang benar masuk akal. Tetapi, apa harus Viona yang berkorban?
"Percayalah! Papa melakukan semua ini dengan alasan yang jelas. Bukan hanya karena tidak mau melihat keluarganya menderita, tapi juga tidak mau menghancurkan taraf hidup banyak keluarga."
Merenungi nasib adalah kebiasaannya dua hari ini. Dia masih enggan untuk keluar kamar bahkan untuk makan saja dia tidak mau meskipun sudah dipaksa beberapa kali oleh ibunya yang pertama mengetuk pintu. Kemudian ayahnya yang datang dan kembali meminta maaf. Juga terakhir dengan kehadiran Vino dan satu pelayan rumah tangga yang membawa banyak makanan ke kamar Viona.
Semua ajakan itu dia tolak dengan halus. Bukan makan yang dia inginkan, melainkan ketenangan dan jalan keluar dari semua masalah yang sedang dia hadapi. Kegusaran jelas terasa dalam dirinya, membuat Viona tidak merasakan yang namanya rasa lapar sama sekali. Hanya bimbang dan dilema yang terus dia resapi.
Setelah mendengar nasehat dari kakaknya, datang sedikit pencerahan dalam diri Viona. Tapi hal itu tidak membuatnya yakin untuk menyetujui. Penolakan dan rasa tidak maunya masih menghinggapi diri Viona. Dia tidak bersedia menikah dengan orang yang bahkan tidak dia kenal sama sekali. Lalu apa yang harus dia putuskan?
"Apa aku harus menyetujuinya?"
Pertanyaan yang entah sudah berapa puluh kali dia ucapkan pada diri sendiri. Viona terdiam kembali. Rasa ingin membantu ada dalam dirinya. Tapi rasa ragu untuk menyetujui masih menjadi kebimbangan besar dalam menentukan keputusan selanjutnya.
Apakah dia harus menolaknya?
Viona sudah tidak punya pilihan lain lagi. Dia juga seharusnya tidak egois dalam memutuskan sebuah harapan besar banyak orang. Ketidakrelaan menjadi tameng membuatnya gusar dan tidak tahu harus berbuat apa.
Jika dia menolak, jelas banyak nyawa dan masa depan yang akan menerima dampak terburuknya. Tapi jika dia menerima, hidupnya sudah tentu tidak akan terarah lagi. Dia harus menyerahkan hidup dan matinya pada orang bernama Marshal yang ingin menikahinya nanti.
Lalu apa yang harus dia lakukan?
Menerima tawaran, maka hidup banyak orang terselamatkan yang berarti dia harus masuk ke dalam jurang memilukan. Atau,
Menolak tawaran dan menjadikan masa depan banyak orang terabaikan yang berarti dia juga akan ikut menderita?
Jelas, pilihan pertama yang paling baik. Memang tetap akan ada yang tersakiti karena menjadi korban. Tapi, setidaknya tidak banyak dan hanya dirinya yang harus menderita.
Jika dia memilih pilihan kedua, maka tidak akan ada dampak baiknya. Memang Viona bisa terbebas dari pernikahan itu. Tapi, bagaimana dengan nasib keluarga dan karyawan papanya? Mereka akan sengsara hanya karena keegoisan Viona yang memilih untuk terbebas dari tawaran pernikahan.
Apakah dia bisa bersikap egois di saat rumit seperti ini? Jelas tidak bisa. Bukan saatnya mengutamakan diri sendiri saat ini. Jikalau pun dia menolak, sudah pasti dia akan tersiksa dan merasa bersalah pada semua orang yang ikut menderita.
Jadi, apa dia harus menyetujuinya?
Viona menjambak rambut dengan frustasi. Kenapa dia harus berada di posisi ini? Posisi yang membuatnya bingung memilih antara hidup dan mati. Posisi yang membuatnya harus menekan ego diri sendiri demi memikirkan hidup orang lain.
Kenapa? Kenapa pilihan ini harus ditujukan padanya? Apa tidak ada korban lain yang harus menderita seperti dirinya, sehingga semua keputusan berada di tangannya? Kenapa harus dia? Kenapa hanya dengan cara menikah? Tidak membunuhnya saja?
Rumit. Hidupnya menjadi rumit dalam waktu sedetik. Dia tidak tahu harus bagaimana dan harus menjawab apa.
Apa dia harus menikah dengan Marshal?
Menikah.
Memikirkannya saja tidak pernah. Tapi, tiba-tiba kata itu terucap di depannya dalam kondisi yang sangat membuatnya kelimpungan. Di saat dia sendiri masih punya banyak harapan yang ingin diwujudkan.
Bagaimana mungkin dia menikah dengan Marshal yang entah siapa dia. Viona bahkan tidak mengenalnya. Dan yang membuatnya semakin tidak terima karena menurut pemikirannya, Marshal adalah laki-laki berumuran sama dengan ayahnya.
Mereka sama-sama pebisnis, tidak mungkin ayahnya punya rekan bisnis muda yang berkuasa. Sudah pasti rekan bisnis ayahnya sudah tua dan hal itu membuat Viona tidak ingin menyetujuinya.
Tapi, bagaimana dengan nasib para karyawan Heru? Bagaimana masa depan keluarganya? Apa dia bisa bertahan dan membangun kembali keluarganya seperti semula jika kebangkrutan itu tiba?
Meskipun sudah meyakinkan diri sendiri bahwa dia bisa, tapi hatinya tetap ragu.
Bagaimana cara membangun kembali keluarganya menjadi seperti sekarang jika kemampuan Viona saja belum terlihat ahli di bidang apapun?
Dia sudah pasti tidak akan bisa membantu keluarganya merintis karir kembali meskipun kemungkinan itu ada. Tapi, sedikit peluang yang bisa dia dapatkan.
Viona bangun dari duduknya. Lebih baik dia segera berangkat kuliah daripada merenungi nasib yang entah kapan meperlihatkan hilal berakhirnya.
****
"Maaf, gue lama." Frans duduk di hadapan Aness dan Viona.
Dia baru saja keluar dari kelas membuatnya harus terlambat menemui kedua sahabatnya yang sejak satu jam yang lalu sudah menunggunya di kantin kampus.
"Iya, gak apa-apa," sahut Viona pelan. Sedang Aness, dia hanya menoleh pada Frans sebentar lalu mengalihkan pandangan pada mangkuk Mie ayam yang tinggal setengah.
Lima belas menit berlalu, Frans tidak hentinya memperhatikan Viona yang nampak banyak terdiam. Tidak seperti biasanya. Ada apa dengan anak ini? Dari tadi hanya memegang sendok yang dia siapkan untuk memakan Mie Ayam yang sudah dia pesan bersama Aness tadi. Tapi, Mie ayamnya tidak dia cicipi sama sekali. Bahkan Mie ayam punya Aness sudah ludes, sedangkan Viona hanya melihat mangkuknya dalam diam. Diajak mengobrol pun dia hanya menyahuti seadanya. Nampak aneh sekali.
"Vi, lo kenapa?" tanya Frans yang sudah dirundung keanehan sejak tadi. Viona tampak lesu sekali, bahkan matanya terlihat lelah. Ada apa dengannya?
Viona hanya menggeleng. Menyimpan sendok pada mangkuk. Dia tidak berselera makan. "Aku gak apa-apa, cuma lagi males banyak ngomong aja," timbalnya.
Aness dan Frans saling pandang. Sudah kenal sejak lama dengan Viona membuat mereka paham jika ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. Mereka tahu betul sifat Viona. Dan tidak biasanya Viona nampak kurang bergairah seperti hari ini. Gadis itu selalu bahagia di setiap hari, bahkan tidak pernah mengeluh. Tapi hari ini dia berbeda. Pandangannya saja terlihat sekali sedang tidak baik-baik saja.
"Lo sakit? Lo kenapa? Mukanya lelah gitu," tanya Aness mulai merasa cemas. Tapi lagi-lagi Viona hanya menggeleng dan tersenyum. "Terus kenapa gak dimakan?"
"Gak laper," ujarnya bohong. Padahal dia sendiri sudah dua hari tidak makan. Hanya minum susu segelas tadi pagi saat akan berangkat ke kampus. Itu pun dipaksa oleh ibunya.
Aness diam. Memandang Viona dengan aneh. Dia sentuh kening Viona. Lumayan panas membuat Aness jadi cemas. "Lo sakit? Kenapa gak bilang dari tadi. Yaudah, kita anterin lo pulang, ya?" Aness menatap Viona khawatir.
Frans ikutan panik. Dia nyentuh kening, pipi, dan leher Viona juga. "Lo panas. Kita pulang ya?"
Tapi, Viona malah menggeleng dan tersenyum. "Aku gak apa-apa, beneran. Kalian kenapa parno gitu? Aku cuma gak enak badan aja, dikit." Viona malah tertawa geli melihat kedua sahabatnya langsung sibuk sendiri.
Frans buru-buru berdiri. Mengambil tas Viona dari atas meja. Disampirkan ke bahunya dan langsung beranjak untuk membantu Viona bangun dari duduknya.
Aness juga ikut berdiri, langsung mapah Viona kayak orang tua yang berpenyakitan minta diantarkan ke kamar mandi. Viona tertawa lagi. Reaksi kedua sahabatnya ini terlalu berlebihan. "Aku gak pa-pa."
"Udah, gak usah banyak ngomong. Kita anterin lo pulang," sarkas Frans yang langsung jongkok di depan Viona. "Naik. Gue gendong sampe parkiran," ucapnya dengan tegas.
Viona hanya melongo melihat Frans yang berjongkok dan menepuk punggungnya sendiri untuk Viona naiki. "Frans aku gak papa."
"Naik!"
"Udah, naik aja biar Frans gendong lo. Gue tahu lo pasti puyeng kalo harus jalan," timbal Aness dengan panik.
Viona malah tertawa lagi. Memukul punggung Frans yang sudah siap untuk ditunggangi. "Aku gak papa. Bisa jalan sendiri, kali."
Frans yang udah panik serta cemas, langsung berdiri. Balik badan menghadap Viona. Tanpa bicara dia langsung gendong Viona ala bridal style. "Terpaksa. Lo gak mau nurut," ucapnya tidak menghiraukan Viona yang kaget dan langsung berontak minta diturunkan.
Tapi Frans tidak peduli. Tetap menggendong Viona sampai parkiran dan menurunkannya di kursi mobil bagian belakang ditemani Aness yang masih menampakkan wajah cemasnya.
Viona jadi kesal pada sikap mereka yang terlalu berlebihan itu. Apalagi saat berpapasan dengan mahasiswa lain ketika keluar dari kantin menuju parkiran, Viona merasa malu sekali. Mereka terus merperhatikan Viona yang berontak di dalam gendongan Frans.
****
"Aku bisa sendiri," tolak Viona pada Frans yang sudah siap di posisinya untuk menggendong Viona kembali. Membantunya turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
"Gak usah, Frans! Aku bisa sendiri," geram Viona. Frans masih saja tidak menghiraukan penolakannya. Dan melakukan hal yang sama seperti tadi. Langsung menggendong Viona dan membawanya masuk.
Dengan terpaksa Viona diam diperlakukan seperti itu oleh sahabat sekaligus sepupunya itu. Dia pasrah saja hingga di depan pintu, Lina menjerit histeris.
"Viona ...! Kamu tidak apa-apa?"
Viona yang baru saja turun dari gendongan Frans, menatap Lina dengan bingung. Kenapa ibunya terlihat panik seperti itu? "Mama kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Apa yang sakit? Ini sakit? Apa kamu pusing? Mual? Lemas? Apa yang kamu rasakan, sayang?"
Viona hanya melongo. Tubuhnya diperiksa dengan tidak sabaran oleh Lina. "Mama kenapa, sih? Aku gak apa-apa, Ma."
"Sayang, kata Aness kamu sakit. Sakit apa? Apa yang sakit? Kenapa gak bilang sama Mama?" ucap Lina memeluk dan mengelus kepala anaknya dengan sayang.
Viona langsung menatap tajam pada Aness yang berada di samping Frans. Dia tidak suka dengan tindakan Aness yang berlebihan seperti itu. Dan lagi, kapan Aness memberitahukan ibunya? Kenapa Viona tidak tahu?
"Hehe, maaf, Vi. Abisnya gue khawatir. Jadi, tadi chat tante Lina." Aness cengengesan mendapat tatapan marah dari Viona. Dia jadi salah tingkah sendiri.
"Ada apa ini? Kenapa ngumpul di depan pintu?"
Mereka menoleh berbarengan melihat Heru yang akan masuk ke dalam rumah.
Frans dan Aness langsung menghampirinya dan mencium tangan Heru. "Viona sakit, Om. Makanya kami antarkan dia pulang," jelas Frans.
Heru tercengang. Jadi cemas dan langsung menghampiri Viona yang masih dipeluk oleh Lina. "Kamu sakit? Sakit apa? Udah ke dokter?" tanyanya penuh khawatir.
Viona membuang napasnya kasar. Menepis tangan Heru yang meneliti setiap tubuhnya. "Aku gak apa-apa. Jangan dengerin mereka! Aku baik-baik aja," ucap Viona jengah. Dia menatap kedua sahabatnya dengan horor.
"Bohong, Om. Viona kayaknya gak baik-baik aja. Dia bahkan gak mau makan. Dari tadi ngelamun terus. Kayaknya sakit, deh. Badannya juga panas," tutur Aness membuat kedua orangtua Viona semakin panik.
Heru langsung memerintahkan sopirnya untuk menyiapkan mobil pergi ke rumah sakit. Lina segera memanggil pelayan untuk menyiapkan perlengkapan Viona untuk ganti. Takut harus dirawat inap.
Viona harus meraup wajahnya kasar. Berteriak pada semua orang kalau dia tidak apa-apa.
"Aku baik-baik saja. Gak usah lebay, deh!" Viona melewati mereka begitu saja dan menaiki tangga dengan tergesa lalu masuk ke dalam kamarnya.
Menatap kepergian Viona dengan bingung. Mereka terdiam dengan pikiran berkecamuk heran. Hingga mereka tersadar saat sopir menghampiri.
"Mobilnya sudah siap, Tuan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!