Episode 3.

Hariadi duduk termenung sendiri di ruang tamu, sejujurnya dia juga tak tega memaksa Naya ke sekolah, tapi tak ada pilihan lain, dia harus membuat sang putri keluar dari cangkangnya dan hidup dengan normal.

Tentu keputusan berat ini sudah dia pikirkan matang-matang, setelah kemarin dia kembali mendatangi seorang psikolog cantik yang bernama Dara.

Wanita itu lantas menyarankan agar dia memaksa sang putri untuk keluar dan bergaul.

**

Hariadi memandang cemas sembari menanti jawaban dari Dara, setelah dia menceritakan kondisi Naya.

"Putri Anda mengalami Post Traumatic Stress Disorder atau biasa disebut PTSD , yaitu kondisi gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan. PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis. Jelas pemicunya adalah kejadian di masa kecilnya itu." Dara menjelaskan dengan gamblang. Hariadi hanya manggut-manggut tanda mengerti.

"Kalau di Jepang, kejadian seperti ini biasanya disebut Hikikomori," lanjut Dara.

"Hikikomori?" Hariadi menautkan kedua alisnya, dia benar-benar tak mengerti. "Apa itu sejenis kartun dari Jepang?"

Dara terkekeh mendengar pertanyaan konyol Hariadi, tapi dia buru-buru menghentikan tawanya dan menjawab rasa penasaran lelaki itu, "Bukan, Pak. Hikikomori itu adalah sebuah kondisi dimana anak remaja menarik diri dari kehidupan sosial karena sesuatu hal, bisa trauma atau juga faktor-faktor lain. Biasanya mereka akan mengurung diri di kamar dan tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain. Tapi untuk kasus putri anda, sepertinya masih belum parah. Karena dia masih mau pergi berbicara dengan anggota keluarganya."

"Tapi selama delapan tahun ini, dia tidak mau keluar dan berteman dengan siapa pun. Kalaupun harus terpaksa keluar, dia selalu menunduk jika bertemu orang asing. Aku sungguh prihatin melihatnya." Hariadi berbicara dengan raut wajah yang sedih.

"Tenang, Pak. Anda harus sabar dalam menghadapi putri Anda, kita harus membuat dia merasa nyaman saat berada di luar rumah dan terus mensugesti pikirannya, bahwa berada di luar rumah itu tidak buruk."

"Aku sudah melakukannya, bahkan aku pernah menyembunyikan ponselnya dan mematikan listrik agar dia merasa bosan di rumah lalu memutuskan untuk keluar. Tapi sia-sia."

"Anda sampai melakukan itu? Anda tahu, para orang tua di Jepang juga pernah melakukan hal yang sama dengan Anda untuk memaksa anak Hikikomori keluar," ucap Dara dengan wajah yang serius.

"Benarkah? Apa anak itu akhirnya keluar?" tanya Hariadi.

"Iya, anak itu memang keluar. Lalu dia membakar rumahnya."

Wajah Hariadi sontak berubah tegang sembari menelan ludah.

Dara tersenyum melihat perubahan ekspresi wajah Hariadi.

"Saya hanya bercanda, Pak." Dara akhirnya terkekeh setelah mengaku.

Hariadi mengembuskan napas lega sambil mengelus dadanya, "Saya kira benar."

"Kalau begitu apa yang harus aku lakukan?" tanya Hariadi.

"Untuk kasus putri Anda, kita harus sedikit memaksanya. Kita harus membuat dia menghadapi apa yang membuatnya trauma, lalu kita akan tunjukkan jika itu tidaklah buruk. Kita harus mengembalikan kepercayaan dirinya lagi."

Hariadi mengangguk setuju, dan dari situlah dia memutuskan untuk memaksa Naya ke sekolah. Selama delapan tahun ini, dia sudah terlalu sabar melihat Naya menutup dirinya dari dunia luar. Tapi sekarang sudah saatnya dia tegas demi kebaikan sang putri.

"Ayah akan melakukan apa pun agar kau bahagia," batin Hariadi lirih.

**

Hariadi berulangkali menghembuskan napas untuk melapangkan dadanya, sungguh berat rasanya menerima kenyataan memilukan ini.

Sebagai orang tua tunggal, dia harus kuat menjadi ayah sekaligus ibu untuk kedua anak kembarnya itu. Terlebih saat melihat putri kesayangannya itu hidup dalam bayang-bayang trauma masa kecilnya, hati Hariadi kian terasa perih.

Dia menatap nanar pigura foto pernikahannya bersama mendiang sang istri yang terpajang di dinding, tanpa sadar dia menitihkan air mata.

"Aku merindukanmu. Andai kau ada di sini, aku ingin sekali memelukmu dan berbagi keluh kesah ku," ucapnya pelan seolah-olah sedang berbicara dengan foto sang istri yang kini tersenyum manis menatapnya.

Namun tiba-tiba lampu padam dan suasana mendadak gelap gulita, angin berhembus dari jendela dan menerpa tubuh Hariadi, seketika bulu kuduknya meremang. Hariadi merinding, detak jantungnya tak karuan. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang tak bercahaya dan tanpa pikir panjang, dia lari tunggang-langgang karena ketakutan.

Sementara itu di luar rumah, sebuah kabel listrik putus akibat tertimpa ranting pohon yang patah karena angin bertiup cukup kencang, sepertinya malam ini akan terjadi badai.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!