Di rumah, Kara mulai melacak keberadaan pria yang menjadi tersangka itu. Matanya menangkap sebuah titik yang menjadi tempat terakhir pelaku berada.
"Oke, gue harus segera ke sini. Gimana pun Langit udah kerja sama papa lebih lama dari pada gue yang datang ke sini dan juga banyak nyawa anak perempuan yang berada dalam bahaya."
Tengah malam tiba, Kara memastikan keadaan rumahnya telah sepi. Dia akhirnya keluar dengan memakai celana training, jaket abu-abu serta dengan keadaan rambut diikat.
Kara sendiri keluar dengan berbekal info yang dia dapatkan. Beruntung dia bisa membaca maps, kalau tidak pasti sudah hilang arah.
Satu jam berapa di perjalanan dengan hanya menggunakan sepeda, dia tiba di sebuah bangunan tua tepat jam dua.
Dia memakirkan sepeda, sekiranya di tempat yang tidak akan terlihat. Setelahnya dia menatap bangunan tua tersebut dengan perasaan campur aduk.
"Nggak, lo nggak boleh berhenti di tengah jalan. Inget, banyak nyawa anak perempuan yang bisa lo selamatin!" ucap Kara pada dirinya sendiri.
Dia membuang napasnya pelan, kemudian melangkah masuk. Sebelum itu, Kara sudah mengecek setiap sudut bangun tersebut dan bersyukurnya tidak ada cctv atau penjaga di sini.
Dia perlahan masuk dan menuju ke titik merah di ponselnya. Menurut pemikirannya, para korban tidak akan disekap di lantai satu atau yang lainnya. Pasti ada basement di sekitaran sini.
Kara mulai mencari-cari sekiranya sesuatu yang mencurigakan. Hingga dia menemukan sebuah patung dengan tangan yang mengadah. Awalnya Kara tak curiga sama sekali, tetapi dia melihat ada sebuah brankas yang berada di bawah meja.
Ditariknya benda lumayan berat itu, lalu mulai melihat brankas tersebut terkunci.
"Pake acara kekunci segala. Lagian ini ngapa udah kayak di game-game aja, sih!" keluhnya sembari menendang brankas tersebut, kesal.
Matanya menatap sesuatu yang berada di tembok. Itu adalah angka sembilan, Kara akhirnya melihat-lihat lagi dan menemukan tiga angka yang mencurigakan.
"2569? Jangan-jangan ini kodenya?"
Kara bergegas memasukin angka tersebut, hingga akhirnya brankasnya terbuka. Senyumannya melebar seketika, setelah terbuka terlihat sesuatu seperti bola besi berada di sana.
"Dih, kirain harta karun, tau-taunya bola besi biasa!"
Hendak meninggalkan benda itu, Kara melihat patung yang kedua tangannya mengadah.
"Oh, kali aja ini benda buat ditaroh di tangan patung itu."
Cepat-cepat dia mengambilnya, lalu meletakan benda berat tersebut pada tangan patung itu. Beberapa saat kemudian, tangannya terturun ke bawah hingga sesuatu di sebelah patung tersebut bergerak.
Kara melihat ada jalan ke bawa, dia tersenyum senang.
"Bingo!" ucapnya bersemangat.
Bergegas Kara menuruni anak tangga dengan perlahan. Dia mulai mendengar suara beberapa gadis yang meminta tolong.
Setelah beberapa saat berjalan, dia memilih untuk mengintip terlebih dahulu.
Netranya menangkap seorang pria sedang membentaki para gadis itu. Ada yang penampilannya sudah sangat kacau, ada pula yang seperti pasrah pada keadaan.
Kara yang mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya, segera mencari tempat bersembunyi. Beruntung di sekitarnya ada tumpukan karton hingga dia bisa sembunyi sampai seseorang itu pergi.
Setelah dirasa aman, barulah Kara keluar. Dia mengintip pada tempat tadi dan memang tidak ada penjaga maupun si penculik. Matanya menatap layar ponsel di mana titik merah itu menjauh dari gedung tua tersebut.
Dia lantas berjalan dan menampakan diri. Beberapa perempuan terkejut melihat kehadirannya, tetapi Kara meminta mereka untuk tetap diam.
"Sstt, gue ke sini cuma mau nyelamatin kalian. Jadi jangan banyak cincong dan terus tenang!"
Mereka semua sangat menaruh harapan besar pada Kara.
Gadis itu mendekat ke salah satu korban dan memberikan ponselnya.
"Telpon polisi dan katakan kalian berada di gedung tua di belakang hotel Sea. Cepat!"
Gadis itu mengangguk dan mulai menelepon polisi, sementara Kara sibuk membebaskan yang lainnya. Tak berselang lama, mereka seperti mendengar suara sirine polisi. Sebelumnya para polisi itu enggan untuk datang, tetapi Kara berteriak mengatakan bahwa dia akan menghancurkan kantor polisi jika mereka tidak datang.
Setelah para korban diamankan, Kara masih mencari-cari seseorang. Ponsel sudah berada di saku celana.
Tibalah dia pada lorong paling akhir, di dalam kegelapan, matanya seakan menangkap sosok manusia yang terduduk dengan posisi di ikat.
Dia berpikir itu adalah Langit, apalagi posturnya mirip sekali. Jadilah dia memasuki ruangan itu dan mendekatinya, tetapi tiba-tiba saja pintu tertutup dengan sendirinya.
Kara yang melihat itu menjadi panik. Begitu berbalik, itu hanyalah sebuah manekin. Saking frustasi sudah dibohongi, Kara berteriak.
"Fuuu*k!"
Tiba-tiba datang seorang pria dengan tubuh lebih tinggi dari Kara. Dia menampilkan senyum iblisnya, menatap Kara dalam cahaya yang remang-remang.
"Menikmati permainan ini, hmm?"
Kara menatapnya tajam, dia sama sekali tidak mengenali pria itu, bahkan suaranya pun.
"Ternyata kamu tidak sepintar itu. Saya kira, kamu tidak akan terkecoh dengan kancing baju serta penyamarannya. Ternyata sayangku ini masih harus banyak belajar."
"What the fu*k, who are you?" tanyanya sembari mengumpat.
"Ssstt! Tidak boleh mengumpat, sayang. Mulutmu itu tidak pantas mengucapkan kata kotor."
"Gue gak ada urusannya sama lo. Siapa lo? Lepasin gue sekarang!" teriaknya kesal.
"Sayangnya kamu harus berada di sini sampai semua rencanaku berhasil. Saya harus bisa mencuri hati calon papa mertua, dengan begitu papamu akan merestui kita berdua."
"Stop talking nonsense, damn it!"
"Bukan omong kosong, sayang. Kamu gadis yang agresif, sulit sekali ditaklukan. Jadi harus menggunakan rencana yang matang agar bisa menjinakan serigala yang kelaparan."
Kara harus tetap mengontrol emosinya, kalau tidak dia pasti sulit untuk memikirkan jalan keluarnya.
"Gue nggak tau, lo siapa, yang pasti gue gak akan nyerah gitu aja. Lo kunci gue di sini, gue punya cara sendiri buat keluar dan sampai kapanpun, gue gak akan pernah mau sama lo."
Terdengar suara tawa yang lumayan membuat Kara bergidik ngeri.
"Do whatever you want. I will wait for the day to come where we will both stare at each other!"
Setelahnya pria itu pergi meninggalkan Kara seorang diri. Dia lantas berlari ke arah pintu dan mencoba membukanya.
Dia memukul pintu itu dengam rasa kesal yang teramat besar. Beruntung dia memiliki ponsel yang menjadi harapan satu-satunya.
Kara melihat, sudah hampir subuh. Dia pun menelepon rumah hingga setengah jam kemudian ada yang menjawabnya.
"Halo?"
"Halo bi, ini Kara!"
"Loh, non Kara ngapain telpon? Bukannya non lagi di kamar?"
"Bi, tolong bilang ke papa. Datang ke gudang tua dekat hotel Sea. Kara terjebak di sini, buruan!"
Mendengar itu perempuan yang sudah sepuluh tahun bekerja dengan keluarga Kusuma itupun panik.
"Astaga non, kok bisa? Ya sudah, bibi panggilin tuan dulu."
Beberapa saat kemudian, terdengar suara panik dari Hendra.
"Kara, gimana bisa kamu di sana?"
"Hehe ... Kara tadi niatan mau bantu korban penculikan pa, terus malah dijebak, tapi para korbannya selamat, kok!"
Mendengar anaknya yang kelewat baik itu, Hendra menepuk dahinya.
"Astaga, ya sudah. Kamu tunggu di situ, papa akan datang bersama Langit."
Mendengar nama Langit, Kara langsung melongo.
"Loh, bukannya Langit diculik?"
Papanya lupa memberitahukan hal ini padanya.
"Sudah, nanti papa ceritakan. Terpenting sekarang, kamu coba cari jalan keluar dulu."
Kara yang merasa seperti dibohongi pun semakin kesal. Setelah telpon dimatikan, dia mencoba membuka kunci pintu menggunakan alat yang tadi dia pakai untuk menyelamatkan para korban.
Sayangnya benda itu malah rusak, mengakitbatkan Kara melemparnya ke sembarang arah.
"Aaghhh! Jengkel banget. Kenapa malah gue yang kejebak di sini, sih?" kesalnya.
Tanpa sengaja, Kara menyorot lubang di plafon. Sebuah ide muncul di kepalanya.
Dia menghempaskan manekin tadi, lalu menggeser kursi hingga ke bawah plafon yang berlubang.
"Pokoknya gue harus bisa kabur dari sini!"
Beruntung Kara tidak terlalu pendek, sehingga dia bisa menjangkau plafon tersebut dan mulai merangkak. Sesekali dia akan mengintip melalui celah yang terlihat, lalu kembali melanjutkan perjalanan merangkaknya.
Tibalah dia pada sebuah lubang yang ternyata mengarah pada sebuah kamar. Setelah turun, dia baru menyadari bahw tempat ini ternyata juga hotel.
"Lah, ini juga hotel ternyata."
Dia melihat dari jendela, kebetulan jam menunjukan pukul lima pagi. Dia menghela, lalu membuang napasnya lelah.
Berharap Hendra datang tepat waktu, Kara memilih untuk merebahkan tubuhnya. Beruntung kasur di hotel tua itu masih nyaman untuk digunakan.
Setelah hampir tertidur, dia mendengar suara seseorang memanggilnya. Kara spontan bangun dan mencoba membuka pintu hotel itu.
"Duh, kekunci lagi!"
Dia memukul pintu, lalu berteriak sekuat-kuatnya.
"Papa, Langit! Kara di sini!"
Berpikir bahwa mungkin mereka tidak mendengar, dia mencoba mendobrak pintu. Kara terus-terusan mendobrak hingga lengan kanannya sakit.
Selang beberapa menit, ada suara dari luar yang memanggil namanya.
"Kara?"
"Eh, Langit. Ini gue, kejebak di dalam!"
Langit pun meminta Kara untuk mundur, sementara dia dan Hendra akan mendobrak pintunya.
Setelah tiga kali percobaan, Kara akhirnya selamat.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments