07| First plan

Setelah mereka menyelesaikan makannya, Kana pamit ke kamar. Dia sungguh tidak betah jika harus bergabung dengan keduanya apalagi Regan. Siapa yang tidak tahu pria itu? Yah, kecuali kakaknya.

Di depan televisi, Regan sedang tiduran di paha Kara sembari memainkan rambut gadis itu. Sesekali dia memperhatikan wajah cantik Kara yang terfokus pada film kartun. Bulu mata lentik, hidung mungil dengan bibir penuh membuatnya semakin jatuh cinta saja.

Tiba-tiba Kara sedikit menepuk pipi Regan agar pria itu sadar.

    "Stop ngeliatin muka gue kayak gitu."

Regan tertawa kecil kemudian bangun dan duduk.

    "Kara, lo ini tipe cewe yang emang suka ikut campur urusan orang lain?"

Pertanyaan Regan berhasil mengalihkan pandangan Kara yang semula di televisi kini menatap pria tampan itu.

Tiba-tiba saja dia tersenyum dan berkata. "Itu kebiasaan buruk gue, tapi menyenangkan bisa ikut campur masalah orang lain apalagi mereka yang membuat peraturan konyol di negara ini."

Regan mengernyit heran, senyuman di bibir Kara masih dia pertahankan.

    "Gue tau alasan lo deketin gue dan bukan adek gue. Selain obsesi, lo juga tau gue diam-diam nyari informasi soal para petinggi-petinggi di negara ini."

Regan spechless dengan ucapan Kara yang memang tepat sasaran. Pria itu mulanya hanya memiliki sisi obsesi pada Kara yang kemudian menjadi rasa penasaran setelah tahu kenyataan Kara diam-diam menyelidiki soal para petinggi di negara itu.

    "Segala sesuatu pasti ada sebab-akibat. Makanya, kalau mau nyelesain masalah harus dari akarnya."

Regan tahu, Kara bukan gadis biasa seperti yang dia jumpai setiap harinya. Menggoda pria, mencari perhatian, berbelanja bahkan bisa saja menghabiskan sisa hidup mereka dengan mempercantik diri.

    "Gue gak tau kenapa bisa masuk ke dunia nggak jelas ini dan setelah gue liat keadaannya, gue yakin kalau gue punya hak mengubah nasib mereka yang berada di bawah kita. Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang!"

Malam itu Kara duduk di depan laptop sembari menatap data-data penting di layar. Ah, terakhir kali dia melakukan pembobolan sistem dan mencuri data-data adalah kelas dua smp.

Kara menyadari kemampuannya ini bahkan Ani sekalipun dan dia meminta sang anak menyembunyikannya.

Ditatapnya satu persatu oknum yang selalu ingin menang sendiri dan bertindak seenaknya.

    "Para tua bangka ini bener-bener bikin merinding. Mari kita mulai dari si paling aktif. Pasti bakalan menyenangkan ngelihat mereka menikmati kehancurannya nanti. Jadi nggak sabar."

Seminggu setelah Kara berada di dunia itu, dia mencari tahu tentang negara tempatnya tinggal sekarang. Banyak informasi yang beredar bahwa peraturan tak masuk akal itu dibuat oleh beberapa oknum. Bahkan sampai sekarang tidak ada yang berani menentang peraturan tersebut dan hidup dalam penderitaan yang tiada akhir.

Hukum di sini lebih kejam dibandingkan dunia asli. Kara tahu, dunia ini sudah teramat busuk dengan manusia-manusia yang maunya menang sendiri. Rasa kemanusiaan yang berkurang.

Kara sering melihat beberapa anak kecil melakukan pencurian secara terang-terangan hanya untuk mereka makan dan akan dipukul hingga mati bahkan mayat mereka pun enggan diurus oleh orang lain. Dibiarkan membusuk atau dibersihkan oleh pihak pemerintah.

Keesokan harinya, Kara berencana ingin mendekati salah satu murid yang diketahui ayahnya adalah salah satu petinggi di negara tersebut.

Siang itu kantin terlihat sangat penuh, beruntung Regan kala itu sedang berada di ruang guru jadi dia bebas melakukan rencananya.

Dicarinya si target dan ternyata tengah sibuk mengantri sampai-sampai dia terdorong keluar baris antrian. Untungnya Kara ssecepat mungkin menangkapnya.

    "Ah, makasih. Sorry banget, ini orang-orang pada gak sabaran ngantri!" ucapnya dengan menatap wajah cantik Kara.

    "Nggak apa-apa. Eum, kalo boleh tau namanya siapa?" tanyanya basa-basi.

    "Gue Bima, lo Kana, kan? Mantannya si Arkan?" tebaknya yang kemudian diangguki oleh Kara.

    "Beruntung lo bisa lepas dari manusia kayak dia. Udah banyak anak yang jadi korban buayanya dan parahnya lagi ada yang sampek di-"

Belum selesai pembicaraannya, mereka dikejutkan dengan kedatangan seseorang dengan jas hitam berjalan ke arah Bima.

   "Loh, pak Heri. Ngapain di sini?" tanya Bima dengan meihat ke arah pintu masuk.

   "Tuan menyuruh saya untuk menjemput anda. Katanya calon tunangan anda sudah menunggu di rumah."

Mendengar itu raut wajah Bima berubah menjadi kesal.

    "Bilangin sama papa, gue gak akan pulang sebelum perempuan itu pergi. Gue udah bilang berapa kali gak mau dijodohin sama dia."

Kara tersenyum, inilah kesempatan emasnya yang tidak boleh dibuang.

    "Gini, bilangin sama papa kalo gue udah punya pacar. Tenang aja, gue bakalan nyari orang yang mau pacar pura-pura. Udah, pak Heri pulang aja. Gak enak diliat sama orang-orang!" usirnya.

Setelah pria itu pergi, kini saatnya Kara beraksi.

    "Lo kalo butuh bantuan, gue bisa."

Bima spontan menengok ke arah Kara, benar juga. Lagipula gadis itu sudah putus dengan Arkan jadi tidak masalah untuknya mendekati gadis itu.

    "Ide bagus. Gue minta nomor lo, ya?"

.

.

.

Kara saat ini sudah berada di depan rumah target. Bahkan bangunan itu lebih besar dari milik Hendra. Bima menatap gadis itu dan menggandeng tangannya penuh percaya diri, sementara Kara mengangguk mantap.

Masuklah mereka dan disuguhi pemandangan dua keluarga yang sedang berbicara secara serius. Setelah melihat sang anak membawa perempuan lain, raut wajah mereka benar-benar terkejut terutama ayah Bima.

Pria tua itu menatap anaknya dengan tak percaya lalu beralih pada Kara.

    "Nggak perlu Bima jelasin, pasti pak Heri udah kasih tau ke kalian. Ini pacar Bima dan tolong jangan ganggu Bima dengan perjodohan atau apapun itu. Bima nggak suka apalagi Bima udah punya pacar."

Kara sengaja mendekat ke arah Bima, lalu berpura-pura takut saat ditatap tajam oleh orang tua Bima. Gadis yang akan dijodohkan dengan Bima pun menatap geram.

    "Bima, lo nggak bisa batalin perjodohan ini."

    "Diam. Gue gak ngomong sama lo!" bentaknya dengan menatap nyalang pada gadis itu.

    "Bima, gue takut!" bisik Kara pelan, suaranya sengaja dia lembutkan untuk membuat semuanya semakin sempurna.

    "Tenang aja, ada gue."

Bima kemudian menarik lengan Kara hendak membawanya ke kamar, tetapi ayahnya lebih mencekal tangan Kara dan menariknya hingga dia menabrak tubuh pria itu.

    "Aduh!"

Posisinya sedikit ambigu, tidak! Ini memang disengajakan oleh Kara. Dia ingin melihat reaksi pria tua itu bagaimana rasanya dipeluk oleh gadis muda sepertinya. Bima spontan menarik Kara dan memeluknya.

    "Papa apaan, sih. Kana itu pacar Bima, jangan main tarik gitu!" kesalnya.

Di pelukan Bima, Kara tersenyum licik. Kekacauan di rumah Bima pun tak dihiraukan oleh Kara. Dia justru sedang asik menatap pemandangan halaman rumah Bima dari atas balkon. Si pemilik kamar juga sedang di dapur menyiapkan cemilan untuknya.

Tiba-tiba pintu kamar Bima tertutup, Kara sendiri masih asik menikmati semilir angin yang meniup wajahnya. Begitu Kara berbalik, tiba-tiba tangannya ditarik dan dihempaskan ke atas ranjang. Dia tentu memasang wajah terkejut dan melihat siapa pelakunya.

 

    "O-om, ngapain di-"

    "Kamu kasih apa ke anak saya sampai-sampai dia mau menolak perjodohan ini?"

    "Sa-saya nggak ngasih apa-apa, tapi saya cinta mati sama Bima, om. Cuma Bima yang mau jadi temen saya di sekolah dan saya juga udah jatuh cinta sama Bima."

Kara memasang wajah memelas, dia sedikit menyingkap rok abu-abunya agar memperlihatkan paha mulusnya pada pria tua di depannya. Kara pun melirik sedikit pada atas nakas yang ternyata telah ada kamera ponsel yang merekam semua aksi pria itu.

    "Bohong, pasti kamu sudah tidur dengan anak saya, iyakan?" tanyanya, tetapi Kara menggeleng lemah.

    "Nggak om, saya masih perawan. Om nggak percaya?"

Perlu diketahui, ayah Bima adalah seorang yang hobi menyewa ****** diluar sana. Menurutnya, istrinya terlalu sibuk sampai-sampai tak bisa melayaninya. Melihat gelagat Kara yang seakan hendak lari, pria itu langsung menidih tubuhnya.

   "Om mau ngapain?" tanyanya panik.

   "Bangs*t, ini orang tua mesum belom apa-apa udah tegang aja. Kalo bukan karena mau ngancurin hidup lo, ogah banget gue begini. Sialan!" umpatnya dalam hati.

    "Kalau begitu kamu buktikan!" perintahnya membuat Kara ingin sekali menghajar wajahnya.

Kara tahu saat ini Bima sudah berdiri di depan pintu kamar.

    "Om jangan, saya nggak mau. Kenapa om maksa saya."

Setelah dipaksa, akhirnya air mata Kara keluar membuat aktingnya semakin terlihat natural. Pintu terdobrak dengan sangat kuat, terlihat Bima menatap ayahnya dengan geram, meletakan nampan di atas nakas dan mendorong pria tua itu agar menjauh dari Kara.

Spontan Kara memeluk tubuh Bima dengan gemetar, menangis tersedu-sedu sembari menyeringai puas.

   "Apa yang papa lakukan? Jangan samain Kara dengan perempuan yang selalu papa bawa kemari. Dia bukan ****** dan stop ganggu kehidupan Bima!" teriaknya frustasi.

    "B-Bima, gue takut. G-gue mau pulang aja."

Bima mengelus pelan rambut hitam Kara dan meng-iyakan ucapannya.

    "Gue anterin lo pulang. Maaf, ya udah buat lo takut."

    "Cih, gue gak bakalan takut sama kayak ginian. Ini cuma rencana doang!" batinnya kesal.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!