06| Sibling

Kara baru saja tiba di rumah dengan rasa lelah yang menjalar keseluruh tubuh. Matanya hampir tertutup di sofa jika Kana tidak datang dan memeluknya. Adiknya itu sungguh manja dan senang sekali berada di dekat Kara.

    "Kakak baru pulang? Pasti capek. Aku buatin minum, ya?" tawarnya dengan senyuman yang merekah.

Kara mengelus rambut Kana dengan penuh kelembutan layaknya seorang ibu.

   "Boleh, esnya yang banyak."

   "Okedeh!"

Setelah Kana ke dapur, Kara benar-benar terlelap hingga malam tiba. Dia terbangun dan sudah berada di dalam kamar dengan keadaan masih memakai seragam.

Kara berjalan keluar kamar dan merasa tak ada kehadiran Kana sama sekali. Dia bertanya pada bi Mirna selaku kepala pelayan, ternyata Kana menawarkan diri datang ke pertemuan yang dimaksud dengan Regan siang tadi.

Kara akhirnya mengangguk dan kembali ke kamar. Setelah selesai mandi, dia hendak turun makan. Sayangnya ponselnya berdering dan itu panggilan dari Hendra.

   "Halo pa, ada apa?" tanyanya dengan berjalan menuruni anak tangga.

   "Kara, kamu bisa ke sini sekarang? Pakai baju yang sama dengan Kana, ya? Bajunya papa taruh di laci paling bawah bagian lemari. Nanti papa kirimkan alamatnya."

Setelahnya panggilan dimatikan membuat Kara keheranan. Tak mau ambil pusing, dia segera melakukan apa yang Hendra ucapkan.

.

.

.

Kara kini berdiri pada salah satu restoran berating bintang lima. Akhirnya dia berjalan masuk dengan diikuti oleh Langit yang diperintah Hendra untuk mengantarkannya ke mari.

Mereka menuju ruang VIP di mana sudah ada dua keluarga berkumpul. Kara mengernyit keheranan kala melihat wajah murung Kana. Gadis menunduk seakan takut dengan kondisi saat itu dan terus berada di samping Hendra.

Kara berjalan mendekat membuat seisi ruangan terkejut kecuali keluarga Kara.

   "Ada apa ini?" tanyanya yang langsung membuat Kana mendongak dan memeluk Kara.

   "Kenapa kakak datang? Seharusnya kakak tidur saja. Pasti kakak capek seharian ikut lomba. Aku baik-baik aja, kok!"

Seakan tahu isi hati sang kakak, Kana berusaha meyakinkan Kara.

   "Nak, sini duduk dulu."

Hendra menyuruh Kara untuk duduk di sebelah Kana. Setelah suasana menjadi hening, barulah Hendra kembali bersuara.

   "Maaf yang sudah menyuruh kamu ke sini, padahal kamu lagi capek."

   "Kara gak apa-apa, kok."

Kara akhirnya menatap keluarga Regan satu persatu dengan wajah datar hingga tatapannya berhenti pada Regan sendiri. Pria itu tersenyum dan mengedipkan mata sebelahnya pada Kara.

   "Jadi ... Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Kara yang seketika mengubah intonasi bicaranya.

   "Ah, begini ... Maksud dari pertemuan dua keluarga ini adalah kami ingin nak Kara dengan Regan bertunangan!"

Mendengar kata tunangan membuat Kara mendelik.

   "Sebenarnya kami sudah mendiskusikan ini dari beberapa bulan yang lalu dan tiba-tiba Regan meminta kami untuk mengubah keputusan. Dia tidak mau menikahi adikmu, melainkan kamu sendiri. Kami juga baru tau kalau pak Hendra memiliki seorang anak perempuan lagi yang ternyata kembar."

Kara tersenyum hangat, dia juga menggenggam erat tangan sang adik. Dia tahu sejak tadi Kana sudah gemetar ketakutan bahkan Hendra sendiri tidak berbicara sama sekali.

    "Kalau saya menolak?"

Pertanyaan Kara sontak membuat mereka terkejut dan senyuman di bibir Regan mendadak memudar.

    "Kenapa? Saya hanya sekedar bertanya. Memangnya kenapa kalau saya menolak Regan? Apakah dunia ini akan kiamat?"

Dia masih mempertahankan senyumannya. Di sisi lain Hendra sudah memasang wajah cemas.

    "Saya tahu, papa saya memiliki hutang pada kalian. Keluarga Damares telah membantu banyak keluarga Kusuma hingga ke titik ini. Saya orang yang tentu tidak akan tinggal diam jika seseorang atau sebuah keluarga terlibat dengan keluarga saya. Jadi, saya harap anda tau jawaban saya apa!"

Kara berdiri, detik itu juga Regan tersenyum sumringah membuat seisi ruangan kebingungan.

    "Sepertinya putra sulung anda sudah tau jawabannya, jadi saya pamit undur diri dan tolong sembunyikan rahasia tentang saya pada publik. Jika publik mengetahuinya, maka itu menjadi urusan keluarga Damares. Permisi!"

Kara menggandeng tangan Kana keluar dari sana, sebelum itu Langit memberikan Kana jaket dan menggunakan pada gadis itu agar tidak terlihat oleh orang lain.

Keesokan harinya Kara bangun lebih awal. Setelah mandi dan menggunakan seragam, dia bergegas turun ke bawah. Matanya terkejut menangkap pemandangan seseorang yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan sabarnya. Kara berjalan perlahan dan menghampiri pria itu.

   "Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan menatap ke arah sekeliling.

   "Eh, em ... Gue mau ngajak lo berangkat sekolah bareng sekalian mau nebus kesalahan gue sama lo selama ini. Maafin gue yang selalu bersikap kasar."

   "Ya, gue udah maafin lo, tapi gue gak mau berangkat bareng lo. Udah, ya nanti gue telat!"

Kara langsung keluar dan di susul oleh Arkan. Setibanya di sekolah, parkiran menjadi sangat ramai apalagi dengan para gadis. Senyum mereka nampak sangat bahagia dan berjingkrak-jingkrak kesenangan.

Saat berjalan ke arah koridor, Kara mendengar beberapa gadis mengatakan kalimat siswa baru. Dia hanya mengendikan bahu, lalu melangkah ringan menuju kelas.

Kali ini justru kelasnya yang lebih ramai. Rasanya seperti ada artis papan atas yang menjadi siswa barunya. Bahkan Kara ingin masuk saja sampai kesulitan. Sesekali dia menarik kerah baju para gadis agar dirinya bisa lewat.

Saat sudah melewati pintu masuk, dia justru dikejutkan dengan seorang pria yang duduk di tempatnya. Sontak saja Kara berjalan dan menyuruhnya pindah. Kebetulan pria itu menutup wajahnya dengan buku.

    "Woe, minggir. Ini tempat punya gue, seenaknya aja lo main klaim!"

Mendengar suara menggelegar milik Kara, pria itu akhirnya menunjukan wajah tampannya. Sontak mereka yang tak bisa masuk kelas hanya berteriak histeris. Kara pun tak kalah terkejutnya dan mundur beberapa langkah sebelum akhirnya pria itu menarik pinggang dan memeluknya manja.

   "Woe, lepasin. Ngapain lo!" Kara panik dan berusaha melepas pelukan pria itu yang ternyata sangat sulit. Gadis-gadis di luar sana sudah seperti cacing kepanasan dan iri pada Kara.

    "Nggak mau. Enakan gini!" ucapnya manja membuat Kara hampir saja muntah.

    "Lepasin gak? Lagian sekolah lo bukan di sini, ngapain aja, sih!" kesalnya dengan menjambak rambut pria tersebut.

    "Regan asuu! Lepas gak?"

    "Ssttt! Masa cantik-cantik ngomong kasar, sih?"

Ternyata Regan telah pindah sekolah dan hal itu mudah saja untuknya. Pasalnya sekolah tempat Kara menempuh pendidikan adalah milik keluarga Regan.

Selama di sekolah, Regan tak pernah mau melepaskan Kara. Bahkan dia hampir mengikuti gadis itu ke toilet. Untunglah Kara mengancam Regan untuk menghentikan tunangan mereka jika dia masih terus mengikutinya.

Di rumah, Kara menghembuskan napasnya kesal. Mengapa Regan bisa sangat menempel padanya dan tak membiarkan teman-temannya mendekat. Bahkan Langit saja hampir dihajar jika Kara tak melerai.

    "Mimpi apa gue dijodohin sama manusia kayak Regan!"

    "Kak Kara udah pulang?"

Suara itu, Kara lantas menoleh dan melihat Kana yang baru saja menuruni anak tangga. Gadis cantik itu berjalan ke arah Kara dan memeluknya.

    "Nanti kalo udah weekend, kita ke pantai, ya? Pengen liburan sama kakak!"

Kara hanya mengangguk, dia tahu bahwa adiknya itu ingin sekali menghabiskan waktu berdua. Kurangnya kasih sayang sosok ibu membuat Kana menuntutnya pada Kara.

.

.

.

Minggu itu Kara menggunakan pakaiannya yang tertutup bahkan menggunakan masker dan kacamata hitam hanya untuk menutup wajahnya.

Dia duduk di dekat pohon dengan sesekali memotret Kana yang bermain dengan air laut.

Hingga waktu menjelang sore, mereka memutuskan untuk kembali. Kara beruntung karena selama seharian ini Regan sama sekali tak mengusiknya.

Setibanya di rumah, perut keduanya berbunyi saat mencium bau makanan yang enak. Keduanya saling memandang dan berlarian menuju meja makan. Benar saja, para pelayan telah menyiapkan makanan atas perintah Hendra.

    "Wuih, tau aja kita lagi lapar!" ucap Kara dengan segera duduk dan menyendokan nasi serta lauk pauknya.

    "Iya, nih. Lapernya jadi nambah, hehe!" sahut Kana dengan cengiran khasnya.

Disela-sela makannya, Kana bertanya sesuatu yang membuat Kara sedih.

    "Kak, aku mau nanya, deh!"

    "Hm, mau nanya apa?" tanyanya dengan menyendok lagi nasi ke dalam piringnya.

    "Masakan mama enak nggak? Aku pengen coba seenggaknya sekali aja masakan mama."

Kara terdiam, masakan Ani selalu enak dan menjadi favorit dirinya dan kakak angkatnya. Dia kemudian tersenyum demi bisa memuaskan rasa penasaran Kana.

    "Enak, kok. Doain aja Tuhan ngasih kesempatan buat mama ke mari atau kita yang nyusulin mama. Pasti mama kangen banget sama kamu!"

Pembicaraan sensitif ini harus mereka hentikan apalagi tiba-tiba Regan sudah berdiri tak jauh dari ruang makan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!