Malam itu Kana meminta Kara untuk tidur di kamarnya saja. Tentu saja gadis itu dengan senang hati menerimanya. Di atas kasur, terlihat Kana memeluk sang kakak tanpa mau melepasnya dan tanpa sadar sudah terlelap.
Kara menatap sebuah bingkai foto yang berada di atas meja, dengan susah payah dia mengambil foto tersebut dan akhirnya berada digenggamannya.
Sepasang suami istri dengan anak kembar digendongan masing-masing membuat bibir Kara melengkung ke atas. Ani ternyata sangat cantik saat muda.
"Mama, sekarang kara udah tau alasan mama selalu nggak mau cerita soal papa. Maafin Kara yang dulu pernah marah dan gak mau pulang ke rumah hanya karena mama nggak pernah cerita soal papa."
Tak terasa air matanya mengalir. Bayangan wajah Ani yang setiap malam selalu menangis secara diam-diam di dalam kamar membuat hati Kara tersayat. Dia pernah memergoki perempuan itu menangis dengan beberapa kali menyebut nama seseorang yang asing baginya.
Keesokan harinya, Hendra memasuki kamar para putrinya yang kebetulan tak dikunci.
"Ayo princess kecil papa bangun. Kana, kamu harus pergi ke sekolah. Sudah seminggu kamu absen, nanti papa bisa dapat panggilan dari guru."
Kara bangun lebih dulu dan disusul oleh Kana. Setelah merasa nyawanya terkumpulkan, dia kembali memeluk Kara.
"Nggak mau. Nanti mereka buli Kana lagi. Kana mau di sini aja, sama kak Kara lebih aman."
Hendra tahu betul, putrinya itu menjadi pendiam semenjak dirinya dibuli. Sudah menggunakan jalur hukum untuk membuat jera para pelaku, nyatanya mereka masih gencar membuli gadis malang itu.
Pernah sekali Kana sampai harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka fisik yang lumayan parah dibagian kepalanya. Semalam Hendra juga sudah menceritakan hal buruk yang menimpa Kana.
Mendengar itu jelas Kara menjadi kesal dan berniat untuk membalas perbuatan mereka bahkan bila perlu membuat mereka merasa bahwa mati lebih baik daripada hidup.
"Papa, biar Kara yang gantiin Kana sekolah sekalian mau lihat manusia-manusia macam apa yang hobinya membuli orang. Kara pastiin dengan kedatangan Kara kali ini, bakalan buat para pembuat onar jadi jera."
Hendra khawatir sekaligus senang. Khawatir karena takut jika Kara tidak tahan dibuli dan senang, dia bisa melihat putri sulungnya yang benar-benar menjaga sang adik.
"Kakak serius mau kasih mereka pelajaran?" tanya Kana dengan menatap wajah cantik Kara.
"Tantu saja. Kakak akan buat mereka menyesal sudah membuli adik kakak yang cantik ini, jadi kamu harus diam di dalam rumah. Kakak juga janji bakalan langsung pulang ke rumah setelah selesai jam sekolah."
"Hmm ... Kakak harus hati-hati sama cowo yang namanya Arkan."
"Memangnya dia kenapa?"
Hendra kemudian menjawab pertanyaan Kara.
"Arkan adalah kekasih Kana yang secara terang-terangan berselingkuh dengan sahabat Kana. Papa sudah pernah menyuruh dia untuk putus dengan Kana, tetapi dia justru mengancam adikmu. Kamu harus hati-hati dengan dia, apalagi ayahnya adalah salah satu pengusaha terbesar di negara ini."
Mendengar itu Kara hanya tersenyum, rasanya hidupnya lebih menantang dari sebelumnya. Apalagi dunia yang dia tinggali sekarang jauh berbeda dengan aslinya. Sungguh berbanding terbalik.
.
.
.
Di sebuah sekolah swasta, telah ramai dengan para penghuninya. Sebuah mobil ferrari terparkir di depan gerbang sekolahan itu. Begitu sang supir membuka pintunya, seorang gadis cantik dengan wajah yang tak asing keluar. Bukan sedikti, tetapi banyak yang langsung menatap ke arahnya.
Seorang pria tampan juga turun dari pintu sebelah dan langsung menghampiri gadis itu.
"Kita ke kelas!" ucapnya santai yang kemudian berjalan lebih dulu.
Sepanjang jalan menuju kelas, dirinya menjadi pembicaraan banyak siswa. Setibanya di kelas, dia langsung mencari tempat duduk sang adik yang memiliki banyak coretan kata umpatan. Kursinya berada di pojok belakang. Kelas masih lumayan sepi jadi dia menyingkirkan beberapa kursi dan meja agar miliknya berada di pertengahan.
Pria yang tadi bersamanya hanya bisa melongo, apalagi beberapa teman kelasnya. Dia meletakan tas dan segera duduk.
"Lo balik aja ke kelas," ucapnya yang kemudian diangguki oleh pria tampan itu.
Beberapa menit kemudian bel berbunyi tanda bahwa seluruh siswa harus masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Datanglah orang yang paling ditunggu-tunggu oleh gadis tadi.
Sepasang kekasih yang tidak tahu malu saling merangkul masuk ke dalam kelas. Tatapan keduanya saling bertemu, gadis itu hanya tersenyum tipis sembari mengedipkan mata sebelah ke pria tadi.
"Wih, tumben buruk rupa masuk."
Dia melepas rangkulan dan berjalan ke arah meja Kara.
"Kenapa? Kangen, ya?" tanyanya dengan melipat kedua tangan di depan dada.
Seisi kelas termasuk sahabat Kana terkejut mendengar jawaban dari gadis itu.
"Naj*s banget gue kangenin manusia kayak lo."
Mendengar itu beberapa orang tertawa.
"Kalo kangen bilang aja, nggak usah munafik sayang."
Merasa ada yang janggal, pria itu menjadi naik pitam. Biasanya Kana akan menunduk dan memulai menangis, pasrah menerima semua hinaan.
"Duh, yang kayak gini jadi rebutan cewe-cewe? Harusnya ditinggin lagi, lah standarnya. Rendah banget!"
Ada sekitar lima siswa yang secara ssmbunyi-sembunyi tertawa mendengar ucapan sarkas Kara. Mereka memang sudah sangat kesal dengan perbuatan buruk Arkan yang seolah-seolah dialah penguasa di sekolahan itu.
"Lo ... Oh, udah berani ngelawan?" Arkan menatap nyalang ke arah Kara yang sayangnya dibalas dengan tatapan mengintimidasi.
"Mulai detik ini kita nggak ada hubungan apapun. Coba aja kalo lo berani ngancem gue."
Bibirnya tersungging sebuah senyuman membuat seseorang yang sejak tadi memperhatikan akhirnya turun tangan.
"Wah, gak tau diri. Masih untung lo dijadiin pacar sama Arkan, bersyukur dong!"
Kara pun menatap gadis yang menjadi sahabat adiknya.
"Naj*s banget dijadiin pacar sama dia. Kalian cocok, deh."
"Iya dong kita cocok."
"Sama-sama murahan!"
Mendengar itu hampir saja gadis tadi menampar Kara yang untungnya langsung ditahan oleh Arkan.
"Sekarang juga gue tunggu lo di belakang sekolah. Kalo nggak dateng, tau sendiri akibatnya!"
Setelah Arkan dan gadis tadi berjalan keluar dari kelas, guru pun berjalan masuk. Bel keluar main terdengar, Kara dengan santai memasukan alat tulis ke dalam tas dan melenggang pergi menuju kantin.
Saat memasuki area itu, semua mata tertuju padanya. Berjalan tanpa menatap ke arah lain, Kara sekarang dipandang berbeda. Mereka mengira dia adalah Kana karena wajah yang teramat mirip.
Setelah memesan, dia memilih tempat yang untungnya masih ada yang kosong. Beberapa menit menunggu, akhirnya pesanannya tiba.
Baru saja akan menyendokan nasi goreng ke dalam mulut, seseorang menggebrak mejanya dengan kasar. Kara menutup mata sebentar sembari meletakan sendok di atas piring.
Begitu dia membuka mata, netranya saling bertubrukan dengan manik cokelat milik seorang gadis. Wajahnya terlihat sombong dan tersungging sebuah senyuman menghina.
"Ternyata babu sekolah udah balik lagi. Gue kirain lo bakalan takut buat sekolah!"
Sembari tersenyum dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, Kara berucap. "Duh, iya, nih. Babu sekolah yang bahkan lebih dihormati dari pada lo yang taunya ngebuli orang."
Seisi kantin dibuat terkejut dengan ucapan Kara.
"Apa dia sudah gila?"
"Darimana keberaniannya?"
"Tamatlah sudah."
Begitulah ocehan mereka mengenai Kara yang notebane tidak suka ditindas.
"Hei, lo udah berani sekarang ngejawab ucapan gue?" tanyanya sedikit geram.
"Berani dong. Masa sama cecunguk modelan kayak gini harus takut?"
Lagi-lagi mereka dibuat shock. Sungguh dia akan benar-benar tamat kali ini.
"Lo ... "
"Kaget, ya gue bisa ngelawan? Sejujurnya dari dulu juga gue bisa ngelawan lo yang modal ngadu ke orang tua, sayangnya gue mau lihat seberapa jauh lo bisa ngambil tindakan ini. Ternyata nyali lo gede juga, papa gue sampek ngasih peringatan pun nggak ngaruh."
Kara berdiri dan langsung berhadapan dengan gadis di depannya.
"Kali ini gue yang bakalan mastiin lo buat jera ngebuli siapapun. Kejahatan di dunia palsu ini pasti bisa gue atasi."
Mendengar itu sontak membuat mereka kompak membeku di tempat. Ada satu rahasia besar tentang dunia yang sedang Kara tempati. Bahkan Hendra sendiri enggan memberitahukannya karena takut jika sang anak akn semakin nekat atau justru mencari perkara dan membuatnya benar-benar dalam bahaya.
Kara pulang dengan perasaan tenang. Di sebelahnya ada Langit yang sedang sibuk bertelponan dengan seseorang yang disebut sebagai ketua. Dia sesekali terkejut dan menatap Kara membuat gadis itu kebingungan.
"Kenapa lo dari tadi ngeliatin gue kayak gitu?" tanyanya risih.
Langit sendiri menjadi kikuk dan meminta maaf.
"Udahlah. Pak, tolong anterin ke toserba. Saya mau beli jajan buat Kana."
Mereka akhirnya berhenti dan Kara meminta langit untuk menunggunya di mobil saja, sementara dirinya berjalan turun dengan santai memasuki toserba itu.
Di saat akan mengambil satu snack yang kelihatan sangat lezat, seseorang lebih dulu merebutnya. Kara masih bersabar dan mencari snack yang lain.
Begitu dia melihat snack yang lezat lagi hendak mengambilnya, sayangnya ada yang lebih dulu meraihnya membuat kesabaran Kara sudah berada di ambang batas. Dua menarik napas dan membuangnya secara perlahan, lalu mencoba mengambil satu gosokan panci dan menengok ke arah kiri. Terlihat ada seorang pria tampan yang hendak ikutan mengambil gosokan itu membuat Kara melotot ke arahnya.
"Ngapain lo ngikutin gue mulu?" tanyanya kesal. Pria itu sendiri langsung membenarkan posisi kerah seragam yang berbeda dengan milik Kara.
"Pede lo. Siapa juga yang ngikutin lo!"
Dia berjalan lebih dulu menuju kasir. Setelah mengambil beberapa snack dan es krim lalu membayar, Kara kembali ke dalam mobil.
Setibanya di rumah, ternyata Kana sudah menunggu dengan raut wajah tak tenangnya. Kara keluar dengan menenteng dua kresek sedang dan berjalan masuk. Dihampirinya Kana yang menatapnya dengan senyuman melebar.
"Kakak pulang."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments