Keesokan harinya Kara berangkat ke sekolah seperti biasa. Dia telah menyusun sebuah rencana yang menurutnya sempurna.
Selama jam pelajaran, semuanya berjalan lancar. Bima pun sering menghubungi Kara hingga membuat gadis itu benar-benar kesal.
Beruntung Regan tak masuk hari itu, kalau tidak maka Bima sudah pasti akan dihajar habis-habisan.
Hari semakin sore, Kara mengirimkan pesan pada seseorang tanpa ada yang mencurigainya. Dia meminta supir untuk mengantarkannya ke sebuah restoran.
Setibanya di sana, Kara meminta dua orang itu untuk tetap di dalam mobil sampai dia kembali.
Setengah jam kemudian, gadis itu benar-benar kembali. Dia tersenyum senang dan meminta supir untuk pulang.
Di sisi lain, seorang pria dengan stelan jas hitam rapi telah berdiri di depan pintu kamar hotel. Setelah memasukan kode, pintu terbuka. Dia melihat adanya seragam sekolah yang sama dengan milik putranya berada di atas ranjang.
Senyum mesumnya semakin mengembang ketika mendengar suara shower di kamar mandi menyala.
Kamar tersebut sudah tersedia minuman anggur yang kadar alkoholnya sedang saja. Pria tua itu menuangkan segelas minuman tersebut lalu menengaknya sampai habis.
Selang beberapa menit, tiba-tiba saja tubuhnya terasa panas. Segera dia membuka pakaiannya demi bisa merasa sejuk.
Sayangnya sesuatu di bawah sana sudah berdiri. Nafsunya sekarang telah menguasai akal sehatnya. Seseorang dari kamar mandi pun keluar dengan hanya menggunakan handuk.
Begitu dia melihat seseorang di atas ranjang, spontan dia tersenyum.
.
.
.
Di tempat lain, terlihat Kara sedang menikmati adegan dewasa yang dia tonton secara gratis. Oh tidak, dia tentu tidak akan melihatnya.
Hanya perlu mengecek bahwa rencananya berjalan dengan lancar.
Ketika pagi tiba, Kara mendapat kabar bahwa pria tua gila perempuan dan kekuasaan itu sudah kembali ke rumahnya sembari memasang wajah kesal, karena mengira semalam yang bermain dengannya adalah Kara.
"Mampus lo pak tua. Habis ini gue bakalan sebarin semua perbuatan busuk lo biar para rakyat tau gimana kelakuan para petinggi di belakang mereka."
Setelah mandi, Kara meminta izin pada Hendra untuk tidak masuk sekolah hari ini. Dia mengatakan bahwa ada hal penting yang harus dikerjakan dan Hendra tak perlu mencemaskan hal itu.
Kana menatap kakaknya yang sedang menyantap roti tawar. Dalam hatinya yang paling dalam, dia bersyukur pada Tuhan telah memberinya kesempatan untuk bertemu dengan orang yang kasih sayangnya tidak jauh berbeda dengan seorang ibu. Tak masalah jika dia tidak bertemu dengan sang ibu, asalkan Kara terus bersamanya itu sudah cukup.
"Kak, kapan-kapan kita foto berdua, ya? Papa punya studio buat foto. Sekalian kalo misalkan kakak balik lagi ke dunia asli, kakak bisa nunjukin fotonya ke mama. Pasti mama seneng liat anaknya udah tumbuh besar."
Saat itu juga Kara berhenti untuk menyantap sarapannya. Hendra hanya bisa menatap keduanya secara bergantian. Dia tahu bahwa Kana menginginkan kasih sayang sosok seorang ibu. Hatinya teriris, mengapa takdir seperti ini harus terjadi padanya.
Kara akhirnya tersenyum dan meletakan roti di atas piring sembari berkata.
"Kalau bisa kita sekeluarga pergi ke dunia asli, biar ngumpul di sana. Mama juga pasti kangen sama Kana dan papa."
Kana hanya mengangguk dan kembali melanjutkan sesi sarapan, begitu juga dengan yang lainnya.
Hari ini Kara tengah berada di rumah salah satu kenalannya yang ternyata memiliki dendam pada para petinggi negara.
Mereka bertemu saat Kara berbelanja di mall dengan Bima.
"Kara, makasih banget lo udah mau bantu gue. Gue udah dapat penyiar kabar yang bakalan nyiarin perbuatan orang tua itu. Kita tinggal mengirim buktinya saja."
Setelah mengirimkan semua file bukti, mereka duduk sembari menonton televisi. Selang beberapa menit, berita yang mereka tunggu akhirnya muncul.
Terungkap sudah perbuatan busuk ayah Bima yang suka menggelapkan uang rakyat dan bermain-main dengan perempuan lain membuat gempar.
Tiba-tiba ponsel Kara bergetar. Dia melihat dan ternyata ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Dugaan Kara adalah, ini nomor milik ayah Bima.
"Ha-halo?"
"Kamu perempuan licik. Kamu sudah merusak reputasiku. Cepat hapus rekaman dan bukti dokumen-dokumen itu, kalau kamu tidak mau mati?" ancamnya, Kara sendiri tengah tersenyum geli.
"Bapak ngancam saya? Jejak digital itu menyeramkan, maka dari itu bapak seharusnya nggak melakukan hal kotor. Sekarang kita lihat siapa yang akan kalah. Bapak atau saya?"
Kara memutuskan panggilan dan memblokir nomor tersebut. Tiba-tiba ponselnya kembali bergetar dan itu panggilan dari Bima. Dia memutar bola matanya malas lalu mengangkatnya.
"Kana ... "
"Bima? Gue udah liat beritanya. Gue turut sedih liat bokap lo kayak gitu!"
"Iya ... Gue gak nyangka papa ternyata sebejat itu. Untung kemarin gue cepetan datang, kalo nggak pasti lo jadi korbannya.
"Terus keadaan nyokap lo gimana, Bim?"
Tentu saja Kara harus mengetahui kondisinya.
"Mama shock dan pingsan, tapi udah sadar. Mama juga minta cerai dari papa, itu juga berkat paksaan dari gue."
"Iya Bim. Lo yang sabar, ya?"
"Makasih. Kana, lo bisa datang gak ke rumah gue? Gue butuh pelukan Kan."
Mendengar itu kenalan Kara justru tertawa mengejek, sementara dia memasang wajah kesal.
"Maaf, ya Bim. Gue lagi sibuk ngurusin sepupu gue yang masih kecil. Bandel banget, makannya gue gak sekolah hari ini."
"O-oh, ya udah."
Setelah panggilannya berakhir, Kara langsung mendumel sendiri.
"Setelah ini siapa target lo?" tanyanya sembari mematikan televisi.
Kara nampak berpikir sebentar, lalu tersenyum.
"Tentu saja orang yang memenang kekuasaan tertinggi, tetapi bukan pemimpinnya."
Malam itu Kara sedang asik dengan laptopnya, kali ini dia mencuri data-data milik targetnya. Anehnya, bahkan tidak ada virus yang masuk ke dalam laptopnya setelah dia meretas data-data tersebut.
Terlihat beberapa dokumen tentang penggelapan dana rakyat serta beberapa bukti kejahatannya di masa lalu sebelum menjadi orang penting.
Kara tersenyum, dia tak menyangka bahwa dunia ini benar-benar diisi dengan manusia-manusia kotor.
Setelah menyimpan file pada berkas yang sulit diketahui, dia menutup laptop dan tidur.
Keesokan harinya dia pergi ke sekolah seperti biasa, bedanya adalah ada siswa baru yang di mana dia masuk kemarin, sementara Kara tidak masuk.
Saat tiba di bagian jendela belakang, tanpa sengaja matanya menangkap pemandangan yang membuatnya tersadar. Dia tertawa perlahan membuat beberapa siswa yang lewat menatapnya keheranan.
"Yah, namanya juga manusia. Pasti mereka memiliki sisi buruknya!"
Kara berjalan seolah tak tahu apapun hingga dia masuk ke kelas. Sekilas menatap Regan, lalu berjalan ke arah kursinya.
Entah mengapa, bibirnya tak bisa berhenti tersenyum. Terlalu dini untuk membodohi seorang Kara.
Dia menengok ke arah Regan yang tumben-tumbenan tidak bergelayutan padanya.
"Pulang sekolah gue bareng lo."
Regan langsung tersenyum dan mengangguk.
Kara menatap seorang gadis yang berada di samping Regan dengan tatapan mengejek, tetapi yang menyadari hanya gadis itu saja.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk, Kara pun mengambil ponsel dari saku baju dan melihat pesan dari Arkan. Awalnya dia tidak mau membukanya, sampai ada pesan lanjutan di mana Arkan bilang bahwa dia harus melihat foto yang dikirimnya.
Kara dengan cepat membuka dan melihatnya.
"Ah, mesra sekali!" ucapnya lantang membuat seisi kelas spontan menatap ke arahnya.
Kara berbalik menatap mereka dengan keheranan.
"Oh, maaf. Suara gue terlalu kencang, ya?"
Seorang gadis mendekati Kara, lalu duduk tepat di hadapannya.
"Kan, lo tau gak? Kemarin waktu lo nggak masuk, cewe yang duduk di sebelah Regan itu nemplok terus ke dia. Iwuh, padahal udah gue tegur tapi Regan diem aja. Lo nggak ada niatan ngelabrak gitu?"
Kara tersenyum, hanya akan membuang-buang waktu melabrak mereka, lagipula dia harus mengumpulkan banyak bukti bukan?
Bel keluar main terdengar, Regan spontan menyambar tangan Kara lalu mengajaknya ke kantin. Hal itu membuat siswa baru tersebut menjadi kesal dan mengumpati Kara.
Keduanya berjalan seperti sepasang kekasih yang ideal, padahal Kara sendiri sudah sangat menahan diri untuk tidak menampar wajah munafik Regan.
Di kantin, siswa baru tadi mencoba untuk bergabung dengan Kara. Tentu saja gadis itu mengizinkan gadis tersebut untuk bergabung.
Kara memperhatikan gerak-gerik keduanya yang terlihat saling kode-kodean. Dia tahu keduanya sedang asik membelai kaki satu sama lain, Kara lantas sengaja menjatuhkan sendoknya ke lantai dan langsung menunduk untuk mengambil.
Tepat sekali dugaannya. Lihat kaki mereka berdua, rasanya ingin sekali Kara memotongnya dan memajangnya. Oh tidak, Kara bukan seorang psikopat.
"Gue udah kenyang, kalian lanjut aja makannya."
Melihat Kara berdiri, Regan spontan ikut berdiri. Dia membuntuti Kara untuk membayar lalu kembali ke kelas.
Hari yang melelahkan bukan bagi Kara?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments