09| Broken

Malam harinya, Kara mencoba untuk mencari tahu kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Regan.

Beruntung dia sempat menginstal sebuah aplikasi pada ponsel Regan dan menyembunyikannya. Melihat pada map yang tertera di layar laptop, Kara tersenyum dengan terkepal.

Regan sedang berada di rumah target Kara.

    "Jangan bilang kalo siswa baru itu anak dari target gue selanjutnya?"

Bukankah ini semakin memperlancar usahanya?

Beberapa hari kemudian, Kara mendapatkan sebuah paket entah siapa pengirimnya.

Setelah menandatangi, dia kembali ke dalam dan duduk di sofa. Matanya menatap kotak yang ukurannya sedang saja.

Tidak sabaran, akhirnya dia membukanya. Setelah beberapa saat, barulah terlihat apa isinya.

    "Huh, bingkai foto?"

Dia mengambil dan melihat fotonya. Kara terbelalak kaget melihat foto tersebut.

    "K-kok, foto gue yang ini bisa ada di sini?"

Isinya adalah foto Kara saat sedang liburan bersama Ani dan kakaknya di Bali. Foto tersebut diambil oleh Kakaknya dan menurutnya itu adalah yang paling dia suka.

Kara menelan salivanya dan menatap ke arah sekitar. Saat ini Kana sedang berada di dalam kamar, sementara Hendra berada di perusahaan.

Dia membuka lagi dan melihat ada sebuah surat. Spontan Kara langsung membacanya.

    "Fotonya cantik, ya. Pasti kamu sedang kebingungan dari mana foto ini di dapatkan? Sayangnya rahasia sekecil apapun yang kamu sembunyikan, akan tetap ketahuan olehku. Kamu jangan takut, saya akan selalu mendukung semua rencanamu dari belakang dan jangan coba-coba mencari tahu siapa diriku. Bahkan jika kamu bertanya pada papamu, orang tua itu juga tidak akan tau. Kita akan bertemu disaat yang tepat. See u dear!"

Kara menjadi geli sendiri setelah membaca surat tersebut. Dia sudah sangat muak dengan orang yang mencoba mendekati dan mengajaknya berpacaran.

Tidak ingin mengambil pusing, dia lantas menyimpan surat dan foto itu di tempat yang aman.

Kara sendiri tidak mencoba mencari tahu siapa si pengirim paket tersebut, sesuai dengan isi suratnya. Toh, dia masih memiliki tujuan yang jelas untuk dia lakukan.

Semua bukti yang dia cari selama beberapa hari ini sudah terkumpul, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Dia pun bergegas pergi ke halaman belakang, menatap ke arah sekeliling dan meregangkan otot-ototnya.

    "Kayaknya gue harus ke tempat gym. Perut gue udah mulai kayak roti donat."

Setelah bertanya pada Langit mengenai tempat gym yang bagus, dia langsung mendaftar untuk menjadi member VIP.

Awalnya semua latihan Kara berjalan dengan lancar tanpa adanya seorang pelatih.

Kara juga bukan hanya pergi untuk melakukan gym, dia juga berlatih memanah. Entahlah, tetapi dia rasa perlu melakukan hal ini.

Setelah seminggu dia sibuk untuk membuat fisiknya kuat, Kara berniat mengajak Langit untuk mengantarkannya ke mall. Dia perlu membeli beberapa pakaian untuknya. Dia diundang di acara ulang tahun salah satu teman kelasnya.

Saat sedang asik memilih pakaian, Kara seperti mendengar suara Regan. Dia yang awalnya tidak ingin ambil pusing, tiba-tiba menoleh ke arah samping. Tak jauh dari sana berdiri Regan dengan siswa baru atau anak dari target Kara.

Melihat betapa mesranya mereka membuatnya mengepal tanpa sadar. Langit tahu dan hanya bisa diam. Dia takut kalau salah ambil langkah, maka dirinya akan menjadi sasaran amukan dari Kara.

Kara sendiri sudah menahan amarah di dadanya mati-matian, apalagi ketika mendengar kata sayang dia mulut keduanya. Dia mengatur napas dan mulai menenangkan diri.

Kara menyempatkan untuk merekam kelakuan busuk mereka, lalu mengambil beberapa gambar.

    "Gue bakalan pastiin lo Regan, nggak hidup dengan tenang. Beruntung bukan adek gue yang lo giniin, kalau nggak ... Demi Tuhan, gue bakalan bikin hidup keluarga lo hancur."

Setelah membayar, mereka akhirnya keluar. Di depan mall, dia menatap langit yang begitu cerah. Matanya memanas, padahal Kara sudah yakin untuk tidak menangis pada saat keadaan apapun.

    "Langit, lo kenal Regan nggak?" tanya Kara dengan berjalan menuju parkiran dan memasuki mobil, kantas diikuti oleh Langit.

    "Siapa yang nggak kenal dia?" sahutnya membuat Kara menatap pria itu seketika.

    "Ceritain semuanya Langit, tentang Regan. Biar gue gampang buat ngasih dia pelajaran."

Langit menghela napas lalu membuangnya.

    "Menurut informasi yang beredar, Regan itu orangnya sangat playboy. Sering membuat onar juga biang masalah. Sayangnya orang tuanya terlalu memanjakan dia yang notebane anak satu-satunya dan para gadis juga buta akan perbuatan nakalnya."

Dia diam sebentar, menatap ke arah bangunan yang berdiri kokoh.

    "Sebelum pertemuan itu terjadi, papa lo udah nyuruh gue buat nyari tau lebih detail soal Regan dan ternyata dia sering keluar masuk bar setiap malam. Walaupun orang tuanya menutup kebenaran tersebut, tetapi jejak digital benar-benar sulit dihapus."

    "Saat orang tua Regan ingin menjodohkan dia dengan Kana, diam-diam Regan mencaritahu soal keluarga Kusuma dan nemuin lo sama Kana lagi asik bermain di pantai. Jadilah dia lebih tertarik sama lo dari pada Kana dan mungkin menurutnya lo mangsa yang empuk buat dia bodohi padahal dia yang keliatan bodoh di sini!"

Kara mengangguk paham, setibanya di rumah, Kara langsung mencari sang ayah. Sayangnya Hendra saat ini sedang melakukan meeting di perusahaannya.

    "Langit, anterin gue ke perusahaan papa. Gak usah banyak tanya!"

Mereka akhirnya tiba di perusahaan milik Hendra. Kara menatap kagum pada bangunan yang berdiri kokoh serta bagus itu. Dia segera menggeleng dan melenggang masuk begitu saja. Langit spontan mengejarnya.

Di meja resepsionis, Kara pun bertanya mengenai keberadaan Hendra.

    "Permisi mbak, saya mau tanya boleh?" tanyanya dengan nada sopan serta senyuman yang ramah.

    "Tentu saja bisa nona."

Kara tersenyum, itu berarti mereka belum tahu wajah dari anak Hendra. Memang Hendra tidak terlalu mau mengumbar kehidupan pribadinya pada publik, makannya jarang ada yang tahu kalau dia sudah memiliki anak terlebih wajahnya masih seperti orang belum beristri.

    "Saya mau bertemu dengan pak Hendra, apakah bisa?"

Perempuan itu langsung menautkan alisnya. Baru saja akan menjawab, Langit sudah datang dan memberi penjelasan.

    "Ah, maafkan saya nona. Saya tidak tahu kalau an-"

    "Ssttt, jangan keras-keras mbak. Nah, mbak udah tau jadi harus bantu saya pergi ke tempat papa juga harus diem-diem aja. Kalo ada yang nanya saya siapanya pak Hendra, bilang aja tamu penting atau istrinya juga boleh ahaha, becanda mbak!"

Mereka akhirnya menaiki lift, lalu pergi ke lantai tiga tempat Hendra melakukan meeting. Menurut informasi yang mereka dapat, meeting akan selesai dalam limat menit lagi jadilah keduanya menunggu.

   "Bentar lagi papa keluar. Pokoknya lo nggak boleh ngomong!"

Selang beberapa menit, orang-orang mulai keluar dari ruang meeting tersebut.

Kara memperhatikan satu persatu wajah mereka hingga dia melihat salah satu targetnya ternyata ada di sini.

Baru saja Kara akan mendekat, tiba-tiba seorang perempuan dengan pakaian yang minim menghalanginya.

    "Maaf, perusahaan kami tidak menerima pengemis!" ucapnya dengan nada ketus, raut wajah Kara tak kalah kesal.

    "Gaada yang mau ngemis, mbak. Minggir, ganggu jalan gue aja lo!" ucapnya yang hendak melangkah, tetapi perempuan itu lebih dulu menjegal kaku Kara hingga dia terjatuh.

Spontan Langit membantu Kara untuk berdiri. Melihat Hendra sudah keluar, barulah Kara melancarkan aksinya.

    "Huaaa, sakit!"

Mendengar suara yang familiar, Hendra bergegas mendekat. Sayangnya sebelum itu, perempuan tadi lebih dulu menjambak Kara, sungguh di luar nalar eh dugaan.

    "Stop menangis, di sini bukan tempat bagi kalian para pengemis. Harus berapa kali saya bilang? Lagipula pak Hendra tidak akan sudi mengurus kalian!"

    "Siska!"

Suara menggelegar milik Hendra membuat perempuan itu langsung melepas jambakannya dan membenarkan posisi pakaiannya.

   "P-pak Hendra. Maaf pak, saya sudah berusaha untuk mengusir mereka, tetapi mereka tidak juga mau pergi."

    "Siapa yang kamu bilang pengemis?"

Hendra pun membantu Kara untuk berdiri, sementara gadis itu sudah memeluk Hendra.

    "Papa, lutut Kana sakit. Tadi didorong sama dia!" adunya, Langit pun hanya mengangguk.

    "P-papa?" Siska sendiri mulai gelagapan saat Kara memanggil Hendra dengan sebutan papa.

    "Setelah ini kamu ke ruangan saya. Kamu sudah sengaja mencelakai anak saya!"

Di dalam ruangan, Kara duduk di tempat Hendra, sementara Langit di sofa.

Hendra sendiri sedang menatap nyalang pada Siska yang diketahui posisinya sebagai sekretaris.

    "Kamu sudah keterlaluan. Saya juga sudah mendengar semua keluhan dari beberapa karyawan mengenai perbuatan kamu yang seenaknya ketika saya tidak ada. Saya mencoba untuk memaafkan kamu dan berharap kamu berubah, tetapi kali ini kamu sudah menyakiti anak saya. Silahkan pergi ke bagian HRD untuk mengambil gaji kamu dan pergi dari perusahaan saya. Saya tidak butuh sekretaris yang kerjaannya tidak becus. Saya menerima kamu kerja di sini juga berkat kakak kamu dan jangan kamu kira saya tidak tahu niat busuk kamu yang ingin menggoda saya. Kamu bertelanjang pun, saya tidak akan tergoda."

Kara pun cekikikan sembari menatap tengil ke arah Siska yang sudah memasang wajah malu serta kesal pada Kara.

    "Iya, pa. Usir aja, mama gue lebih cantik daripada modelan kayak lo. Hush, jauh-jauh lo dari keluarga gue. Awas aja, kalo sampek lo berani nampakin diri, liat aja akibatnya."

Siska pun langsung pergi begitu saja. Kara tertawa terbahak-bahak hingga kejengkang ke belakang, membuat Hendra langsung berlari dan membantu Kara untuk berdiri.

   "Mampus, ngetawain orang lagi!" sahut Langit yang tidak mengerti lagi dengan tingkah laku Kara.

   "Aduh ... Habisnya itu orang nyebelin."

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Grey

Grey

sakit sih pasti itu😂

2024-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!