Sementara di tempat lain, jauh di sana di tempat sekarang Fiya dan Arion berada. Sekitar 8 jam perjalanan jika ditempuh dengan bus.
"Kenapa? Kenapa harus aku yang nanggung semua ini? Bukan aku yang melakukan kesalahan, bukan aku! Tapi kenapa harus aku yang bertanggung jawab atas salah yang nggak aku perbuat. Ini nggak adil!"
Wanita itu sedang marah-marah, meluapkan segala emosi yang tertahan selama ini. Dia sudah mencoba untuk memendam semuanya dalam hati, mungkin inilah saatnya kemarahan itu meluap.
"Gara-gara kamu, aku harus menanggung semua ini. Kamu tau? Bisa diam nggak sih? Bisa nggak ribut kan? Sakit kepalaku mendengar suaramu menangis terus. Kan sudah kukasih susu. Apalagi? Hah?" pekik wanita itu.
"Kenapa kau harus ada dalam hidupku? Kau kira semua ini mudah? Hah? Kau kira aku siap dengan semua ini? Dasar anak manja, cengeng. Bisa diam kan?" pekiknya lagi.
Sedari tadi ia bicara meluap-luap. Sampai tubuhnya bergetar menahan marah.
Sementara Arion - suami wanita itu, mencoba memeluknya dari samping. Berusaha menenangkan sang istri tercinta. Untung saja Fiya tak sampai melukai atau kasar kepada baby Nawal.
"Sudah, sayang sabar. Tenang.... "
"Tenang kakak bilang? Sabar kakak bilang? Apa kurang tenang aku selama ini? Apa kurang sabar aku selama ini? Dari dulu aku terus yang menanggung kesalahan yang dia perbuat. Dan lihat ini! Dia yang berbuat, dia yang enak-enak dengan cinta satu malamnya. Aku lagi kan yang menanggung kesalahannya? Aku capek, Kak!"
Hiks hiks hiks
Pecah sudah tangis wanita itu. Wanita yang selama ini terlihat tegar dalam menghadapi segala sesuatu. Ya, dia adalah Kaifiya. Tahu tidak? Sejak ia membawa baby Nawal pergi bersamanya, menjauh dari ibu kandungnya, tentunya dia masih menyimpan kemarahan.
Bahkan tak jarang ia abai dengan baby Nawal. Ia tak mau ganti popoknya, ia tak mau berikan bayi itu susu. Ia biarkan saat bayi itu nangis. Untung saja, ada Arion sang suami yang sabar dan dia yang selalu mengurus baby Nawal. Walau sebenarnya kalau boleh jujur, dia belum siap.
Rasanya sungguh tiba-tiba. Tiba-tiba dia harus merawat seorang bayi, yang mana dia belum ngerti apa-apa. Dari segi mental, dia belum siap. Dari segi finansial juga dia merasa belum cukup.
Baru saja dia, Arion design dari tempat ia bekerja dulu, sejak Fiya memutuskan membawa baby Nawal pergi bersama mereka. Sementara Fiya juga, baru saja lulus jadi calon aparatur negara. Kebetulan, penempatannya tepat di sana, dimana mereka sedang tinggal.
Entah kenapa, hari ini semua yang Fiya pendam selama ini meledak sudah. Ternyata benar, sesuatu yang dipendam itu tidak bagus. Terasa sesak di dada bila dibiarkan, apalagi sudah menggunung.
Dulu juga, saat Ela, mamanya Babay Nawal memutuskan untuk pergi merantau ke tanah sebrang. Fiya, tak lah mengijinkan. Begitu juga dengan mama Basagita. Tapi apa? Ela merengek, meraung seperti anak kecil, bahkan sampai mengancam sang mama, ia akan bunuh diri jika tak diberi ijin merantau ke negeri tetangga.
Akhirnya apa? Fiya lah yang mengurus semuanya, keberangkatan Ela dengan terpaksa ke negeri seberang.
Dengan berat hati, ia pergi kesana kemari, mengurus paspor, tiket pesawat, semua berkas-berkas Ela, Fiya pula lah yang ditugaskan oleh sang papa - Rudi untuk itu.
Dia sebenarnya enggan dan berat melakukannya, tapi rasanya tak tega melihat papa dan mamanya bertengkar hanya karena masalah kepergian Ela ini. Fiya tak ingin keluarga mereka porak poranda hanya karena keinginan Ela yang entah mengapa sungguh tertarik sekali dengan negara itu.
"Sudahlah, aku nggak mau urus dia. Aku capek, aku lelah. Aku dituntut terus mengalah dan mengerti. Sementara aku, siapa yang ngertiin gimana keadaan ku sekarang?" ucap Fiya dengan berapi-api.
Fiya pun melangkah pergi, meninggalkan Arion yang sedang memberikan baby Nawal susu. Ia menutup pintu kamar itu dengan kasar hingga suara pintu itu membuat Arion terkejut, begitupun dengan baby Nawal. Bayi itu pun menangis kembali, padahal tadi sudah tenang.
Terpaksa Arion, melepaskan botol minum dari mulut mungil di bayi, lalu menggendong bayi itu, mencoba menenangkannya. Ia mau marah dengan Fiya, tapi kembali ia berpikir. Apa amarah bisa diselesaikan dengan amarah?
Pernikahan yang sudah menginjak lima tahun itu, sampai sekarang mereka tak pernah bertengkar. Bahkan baru kali ini ia melihat Fiya marah-marah seperti ini. Ia pun tak mau menodai pernikahannya dengan pertengkaran. Dimana jika istri marah, emosi, suami hanya bisa sabar, lembut menghadapi sang istri.
Rumah tangga itu, tak semulus jalan tol. Ada cekcok sana sini. Tapi tak harus membuat kita putar asa kan? Dalam hidup ada kalanya pasang dan surut. Disitulah kita belajar, dituntut untuk bagaimana bersikap menghadapi semua itu dengan tenang. Akan tetapi, bisakah kita tenang dalam menghadapi persoalan yang menurut kita itu sangatlah berat?
Sebagai manusia biasa, hal yang wajar marah, tertawa, menangis, tetapi, ingat segala sesuatu yang berlebihan itu tidak bagus. Hasilnya mungkin bisa mengecewakan bahkan menyakitkan.
Itulah mungkin yang dirasakan oleh Ela sekarang. Terlalu cinta dengan pria, hingga si pria itu merenggut sesuatu yang berharga baginya, Ela malah suka rela memberikannya.
Atau begitu pun dengan Fiya. Ia terlalu memanjakan sang kakak selama ini. Dari dulu, ia selalu mengalah, selalu menuruti permintaan sang kakak.
***
"Sayang, kamu nggak boleh marah - marah seperti ini, apalagi melampiaskan semuanya kepada babu Nawal. Dia nggak tau apa-apa, sayang. Dia nggak salah."
"Tapi kan kak, gara-gara dia harus aku yang menanggung semuanya," sela Fiya.
Arion merasa istrinya itu sudah tenang setelah beberapa saat marah - marah dengan Baby Nawal tadi. Ternyata belum mereda amarahnya.
"Tetap saya, sayang. Baby Nawal tak salah. ABG salah adalah orang tuanya. Berbuat tanpa berpikir. Kalau bisa memilih, dia tak ingin dilahirkan ke dunia dalam keadaan seperti. Jadi, kamu dan aku, harus merawat baby ini sesuai permintaan mama. Kamu masih ingat kan pesan mama?"
Seketika Fiya terdiam. Ia ingat kilas balik saat sang mama - Basagita, memohon kepadanya, agar membawa baby Nawal pergi untuk menutupi aib keluarganya.
Kalau sudah membahas tentang mama, hati siapa yang tak luluh. Siiapa yang tega membuat hati seorang ibu memohon, terluka oleh karena ulah anaknya sendiri. Mencoreng nama ibunya, mencoreng nama keluarga. Apa tega Fiya dengan semua itu? Tentu tidak.
Kaifiya bukanlah anak yang berhati batu yang tega mengabaikan perasaan sang mama. Ia terima akhirnya permintaan sang mama untuk membawa baby Nawal pergi jauh dari hidup sang kakak. Demi menutupi aib keluarganya. Demi mempertahankan pernikahan kakaknya.
Fiya menangis tergugu di dalam pelukan suaminya itu. Untuk Arion berhati lembut, tenang. Ia menghadapi segala sesuatunya dengan tenang dan sabar.
"Kita sudah menerima permintaan mama. Kita sudah membawa baby Nawal jauh ke sini. Disinilah kita sekarang berada. Siap tidak siap, kita harus merawatnya. Mau tak mau, kita harus menjaganya."
"Kita jadikan ini pelajaran, anggaplah dia adalah anak kita. Jadi mulai sekarang kita, aku dan kamu harus belajar semua dari nol. Aku tau ini sulit, tapi tak salah kita mencoba kan? Mari, kita berdamai dengan keadaan." Ucapan panjang lebar dari suaminya sungguh mampu menenangkan hati Fiya.
Sementara Kaifiya, masih menangis di pelukan suaminya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments