Fiya merampas kertas itu dari tangan Ela dengan kasar. Bukan ia tak sayang pada kakaknya itu. Bukan pula ia bermaksud berbuat kasar, namun untuk saat ini ia begitu kesal, marah, kasihan, berbaur menjadi satu.
Kakak yang selama ini ia anggap polos, lugu, pulang - pulang dari negeri orang malah membawa kehamilan, menghadirkan seorang bayi tanpa ayah. Bahkan mereka tak tau kalau dia sedang mengandung. Sungguh Daniela pintar sekali menyembunyikan semua itu.
Hati siapa yang tak teriris? Siapa yang tak marah? Terlebih Daniela tak jujur dari awal kehamilan dia. Dan yang lebih perih lagi, Daniela tak ada kontak dengan pria itu.
"Dalam beberapa hari, kami akan pergi. Membawa Awal pergi sejauh mungkin," ucapnya Fiya.
Ela menangis tergugu. Mama dan Fiya tak tega rasanya melihat itu. Tapi, apa mau dibuat. Nasi sudah menjadi bubur. Mereka tak bisa mengembalikan lagi keadaan.
"Makanya, kalau berbuat sesuatu itu ya dipikir! Jangan karena rasanya enak, jadi lupa daratan. Kemana kita harus mencari lelaki itu, hah?" Kesal Fiya. Ia masih belum bisa tenang. Kesal rasanya.
Mulut Ela seakan-akan susah untuk digerakkan, seolah ada yang menguncinya dengan kuat. Ia menerawang kejadian kala itu, bersama pria dari kenegaraan Bangladesh, dengan tubuh tinggi, tegap, besar dan brewok sebagai pemanisnya. Entah kenapa ia terjerat akan pesonanya.
"Seandainya mama tidak mengijinkan mu untuk bekerja kesana, ini semua tidak akan terjadi." Tiba-tiba mama Gita berujar, mengawali bicara setelah sekian lama membisu.
"Mama..... yang salah..... disini," ucapnya dengan terbata dengan air mata yang mengalir deras. Ia sesenggukan, bahkan Fiya bisa melihat dengan jelas bahu mama yang bergetar.
"Mama, jangan bicara begitu, ma. Semua ini salah Ela. Bukannya kita sudah mewanti-wanti dia selama di sana? Dianya aja yang nggak bisa dinasehati," celetuk Fiya.
Kaifiya masih terus memojokkan dan menyalahkan semuanya kepada Daniela, kakaknya itu. Fiya mendekati ibunya, lalu memeluknya kembali.
"Mama tenang aja, aku akan menyayangi Awal sama seperti aku menyayangi anakku sendiri. Dia akan aku anggap seperti anakku yang lahir dari rahimku. Mertuaku setuju, dan suamiku Arion juga setuju, ma. Mereka bilang, itu masih keluarga jadi nggak apa-apa."
"Iya, ma. Mama jangan khawatir. Kami akan menjaganya dengan baik. Kami akan berusaha menjadi orang tua yang baik untuk Nawal," timpal Arion yang sedari tadi membisu. Ia mendekati istrinya, menggenggam tangan Fiya.
Sementara Ela masih mematung, masih setia dengan pikiran yang melanglang buana ke negeri sebelah, berkelana dengan masa lalu yang kelam itu. Bahkan ia tak menyimak lagi obrolan antara mama dan Fiya, adiknya itu.
"Ela" panggil Fiya.
"Kak Ela!" panggilnya lagi. Tapi Ela tak menyahut.
Akhirnya Fiya menepuk bahu kakaknya itu pelan.
"I-iya, Fi. Kenapa?"
"Kenapa? kenapa? Kamu melamun? Kamu masih memikirkan cowok itu? Kamu masih mengharapkan dia?" cerca Fiya. .
"Bu-bukan, Fi, tapi... . Aku.... "
"Ngapain kamu pikirkan lagi dia? Dia aja belum tentu mikirin kamu. Aku heran sama kamu, masih saja kamu peduli dengan dia yang sudah merenggut kehormatan mu. Masih ngarep?"
Ela menggeleng.
"Udah lah. Nggak usah mikirin lagi si banci itu. Sekarang yang harus kamu pikirkan adalah, pernikahan mu yang sudah semakin dekat."
"Iya, Fi."
"Besok kami akan pergi."
"Apa? Besok? Kenapa cepat sekali Fiya? Dan kenapa tiba-tiba?" Ela memberondong sang adik dengan banyak pertanyaan.
"Heh, nggak usah ngegas gitu. Aku kan tadi udah bilang, makanya jangan menghayal."
"Tapi, Fi boleh nggak aku bersama baby Awal sebentar lagi. Aku..."
"Tidak boleh. Kalau kamu bersama Awal lebih lama, aku takut kamu berubah pikiran. Yang ada nanti pernikahan kamu batal. Aku juga nggak mau Awal lama-lama sama kamu. Karena sekarang dia sudah menjadi anakku. Bukan anakmu lagi," ujar Fiya dengan penekanan.
"Kamu mau tetangga semua tau kalau kamu punya anak sebelum menikah? Kamu mau mama malu? Jika awal terlalu lama disini, apa yang kita sembunyikan akan terendus," timpal Fiya lagi.
Sakit, tentu saja. Semudah itu sang adik menghujam belati di dalam dada Ela. Yang tega memisahkan seorang bayi dari ibu kandungnya. Bahkan bayi itu masih umur sehari di dunia ini. Apakah ia, Ela sebagai ibu kandung tak berhak menyandang jabatan ibu untuk baby Awal?
Bukankah memang tak ada yang bisa memisahkan anak dari ibu atau sebaliknya ibu dari anaknya?
Kembali air mata Ela berurai, bahkan tak terbendung. Rasanya dunianya runtuh. Tapi ia dihadapkan dengan dua pilihan sekarang. Bersama dengan putrinya atau, gagal menikah dengan pujaan hatinya dan nama baik keluarganya jadi taruhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments