"Hmm, harum banget istriku," ucap Hanai. Ia menghampiri Ela yang sedang mengeringkan rambutnya di depan meja rias.
"Sinikan, biar Abang yang keringkan."
Ela membiarkan saja Hanai mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Kayaknya pakai hairdryer lebih cepat kering ya," ujarnya.
"Nggak usah, bang."
"Lho, kenapa?"
"Aku nggak terbiasa. Nggak kuat, kepalaku suka sakit menahan sengatan panasnya. Lebih terbiasa dengan handuk kecil saja," tutur Ela menjelaskan.
"Iya deh, tuan putri. Hamba akan lakukan sesuai perintah tuan."
"Lagian, hairdryer juga nggak ada kok," celetuknya lagi.
"Jadi?" jerit Ela.
"Abang hanya ingin menggoda mu," sela Hanai sambil tertawa.
Ela tersenyum saja dengan tingkah suaminya. Bisa dikategorikan memang, Hanai adalah tipe pria humble dan romantis. Berpacaran selama enam bulan, itu yang ia lihat dari Ela selain dia baik, perhatian dan juga tidak pelit.
"Nah, sudah kering. Sekarang kita tidur yok," ucapnya.
"Belum, bang. Masih basah. Aku nggak bisa tidur kalau rambutku masih lembab."
"Oh, banyak banget sih pertanyaan istriku ini."
"Hehe." Ela hanya cengengesan sebagai jawabannya.
Dengan sabar, Hanai mengipas-ngipas rambut Ela dengan kertas. Berharap segera kering. Dalam hati ia masih kesal, malam pertama kok disuguhkan dengan kegiatan-kegiatan yang nyeleneh seperti ini.
""El..." panggilnya pelan. Suaranya agak berat.
"Iya, bang."
"Tidur, yok."
"Belum ngantuk bang."
"Abang tau gimana biar kamu bisa cepat ngantuk."
"Apa?" tanya Ela antusias.
"Olahraga."
"Malam-malam olahraga? Olahraga apaan?"
"Olahraga ranjang."
Terdiam Ela mendengar celetukan suaminya itu. Bahkan ia merasa malu. Ucapan suaminya tak difilter sedikitpun. Begitu mudah dan frontal Hanai mengucapkan kalimat itu.
"Ta-tapi, bang."
Hanai tak menghiraukan protes yang coba dilayangkan Ela. Ia menuntun sang istri agar duduk diatas meja rias, sementara mereka berhadapan, dimana Hanai berdiri, menangkupkan kedua tangan ke pipi chubby istrinya itu.
Ia membelai surai panjang hitam Ela dengan lembut, lalu beralih ke tengkuk Ela.
"Sayang."
"Hmm."
"Abang pengen..... Sekarang ya...... Kan ini malam pertama kita. Boleh ya?"
Bahkan suara Hanai pun terdengar serak.
"Tapi, bang aku...."
"Menolak keinginan suami dosa loh."
Tak bisa Ela mengelak atas permintaan suaminya itu. Mereka sudah halal. Dan sudah semestinya ia melaksanakan kewajibannya sebagai istrinya, yaitu melayani suaminya.
Ela pun menganggukkan kepalanya. Membuat Hanai senang sekali sampai tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, akibat sinyal yang diberikan istrinya itu.
Benda kenyal dan lembut itu pun beradu, kemudian menyatu, menimbulkan suara napas yang terengah-engah akibat hampir kehilangan oksigen mereka berdua.
Mereka pun melanjutkan sesuatu yang seharusnya mereka lanjutkan. Apalagi mereka sudah pasangan suami istri yang sah. Tentunya malam pertama adalah malam impian bagi setiap pasangan pengantin baru.
Bunyi tik tik tik dari suara hujan, bahkan tak menjadi penghalang pasangan itu untuk melakukan ritual mereka. Tetapi, suhu udara yang dingin semakin menambah nikmatnya melodi memori yang mereka ciptakan.
Hingga pertengahan malam, usai sudah kedua insan itu melepas sesuatu yang harus dilepaskan. Menikmati indahnya perpaduan yang memang harus dipadukan.
****
"Lho, Abang mau kemana? Rapi banget," seru Ela
Sementara jam di dinding memang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sudah waktunya memang berangkat kerja bagi yang sibuk mengais rejeki. Tapi yang jadi pertanyaan, ini kan masih satu hari Hanai dan Ela menikah. Kok sudah bekerja? Apakah tidak terlalu cepat? Biasanya kan ada cuti selama beberapa hari.
"Abang ada urusan sama teman-teman. Sekalian mau ketemuan dengan teman Abang yang menawarkan jadi dosen di kampusnya. Biar ada kerja tambahan. Biar pundi-pundi istri Abang ini nanti penuh dan nggak ngeluh."
Daniela tersenyum mendengar godaan suaminya.
"Ketemuannya kok cepat banget, bang. Nggak kepagian gitu?"
"Memang janjinya pagi, sayang. Kebetulan tempatnya juga agak jauh. Kamu di rumah saja ya. Jangan kemana-mana."
"Oke, bang."
"Doakan Abang biar kita bisa beli rumah, atau nggak dalam waktu dekat kita sewa rumah sederhana aja dulu supaya kita lebih mandiri. Jangan mengharapkan bantuan dari orang tua terus."
Ela tersenyum. Ia terharu dengan penuturan suaminya. Ternyata sudah sejauh itu pemikirannya.
Usai Ela menyalami suaminya dan si suami mengecup kening sang istri, mereka pun berpisah.
Sementara untuk saat ini, Daniela masih belum bekerja. Ia sudah mencari-cari lowongan pekerjaan secara online.
Belum ada setahun memang dia tidak bekerja setelah kepulangannya dari Malaysia.
Kring kring kring
Ponsel Ela berbunyi. Buru-buru ia meraih ponsel itu lalu mengangkatnya.
"Halo, Fiya."
"....."
"Apa?"
"...."
"Awal sakit? Sakit apa?"
Sungguh sangat panik Ela ketika mendengar kabar kalau anaknya sakit. Memang, setelah pernikahan dia selalu memikirkan baby Awal Ada rasa rindu, sesal, sesak di dada dan banyak hal yang menggerogoti dirinya.
Tak jarang Ela melamun tanpa sepengetahuan Hanai. Sejauh ini dia masih bisa menguasai emosinya. Karena jika sampai Hanai tau apa yang dia pikirkan, habislah sudah.
Bayi yang masih merah berpisah dari ibu kandungnya, sangat miris bukan? Sangat pilu bukan? Keduanya saling merindukan, tapi tak bisa saling melepas rindu. Bahkan si ibu tak bisa mengakui terang-terangan, tak bisa memeluk dengan puas anaknya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments