Daniela sudah sangat kikuk sebenarnya. Untung saja ibu mertuanya paham dan langsung mematahkan ucapannya agar tak panjang lebar kemana-mana.
"Bang, kok pulangnya cepet?"
"Jam ngajar sudah habis. Jadi langsung pulang aja. Sebenarnya diajak nongkrong sih sama Dante, tapi nanti aja kubilang." Hanai sibuk membenarkan kemejanya, menggulung lengannya hingga sampai ke siku.
"Mau minum apa?" tanya Ela seraya memberi salim pada sang suami.
"Air hangat aja deh. Lagi nggak enak tenggorokan nih." Hanai mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di dapur, meja makan.
"Abang sakit?"
"Nggak, El. Hanya tenggorokannya aja yang gatal."
Ela pun mengambil segelas air hangat lalu memberikan pada suaminya. Sementara ibu mertuanya, mama Heera tersenyum menyaksikan anak dan menantunya itu.
Kepanikan dan ketakutan dalam diri Ela, perlahan mulai sirna seiring datangnya suami dari tempat ia mengajar. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ketakutan itu tetap ada. Namun ia berusaha setenang mungkin agar keluarga barunya itu tak mencurigai dirinya.
Beep Beep Beep
Tiba-tiba, ponsel Hanai berbunyi. Tapi ia masih belum menjawab lantaran ia masih meneguk air hangat yang disuguhkan oleh istri tercintanya
"Kok nggak diangkat bang?" tanya Ela, mengerutkan keningnya. Dia bisa membaca nama kontak yang menelpon.
Gluk Gluk Gluk Gluk
Hanai meneguk minuman itu sampai habis setengah gelas. "Iya, sayang bentar. Lagi menikmati minumannya."
"Cuma air putih doang, bang. Lebay banget sih," celetuk Ela, ada senyum yang terukir di bibirnya. .
Suara ponsel itu masih berdering.
"Buruan angkat. Takutnya penting, bang."
Hanai pun mengklik layar ponsel yang bersimbolkan telpon dengan warna hijau.
"Iya, Hallo, Dan."
"Buruan. Gue lagi di Kafe nih!"
"Iya, iya. Gue kesana sekarang."
Klik
Panggilan pun diakhiri oleh Hanai sekilas.
"Apa kata Dan Dan itu, bang?"
"Dante, sayang, bukan Dan Dan. Entar dia marah kalau dengar" Hanai membenarkan ucapan istrinya.
"Iya, bang. Terus apa katanya?"
"Abang pergi dulu ya. Ada urusan penting sama Dante. Kamu baik-baik ya di rumah. Kalau aku kelamaan pulang, kamu tidur aja duluan. Bisa kan? Nggak usah tunggu Abang pulang."
"Tapi, Ba-"
Tanpa mendengar kelanjutan ucapan sang istri, Hanai buru-buru ke kamar, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Bahkan ia mengabaikan istrinya yang memanggil-manggil namanya.
Usai bersih-bersih, Hanai ijin kepada istri, ayah dan juga ibunya. Entah kenapa ia penasaran sekali, apa yang akan disampaikan Dante kepadanya. Karena desakan Dante lah maka ia buru-buru pergi.
****
"Sorry, bro. Waktu itu gue batal ketemu Lo. Tiba-tiba gue ada urgent waktu itu," ucap Dante menjelaskan.
Saat ini mereka sudah berada di Kafe sesuai janji di telepon tadi.
"Terus Lo mau bilang apa ke gue? Lalu kenapa rame-rame. Malah Lo bawa juga nih si kuntet."
"Kenapa? Lo ga senang ketemu gue?" tanya orang yang dibilang Hanai kuntet. Dia protes karena Hanai menanyakan keberadaannya."
"Lo ga senang ketemu gue?" lanjutnya.
"Bukan gitu, bro. Tapi kan dia bilang gue sama dia doang yang mau ketemu."
"Kalian berdua nyembunyiin sesuatu dari gue? Sampai gue ikut kalian bahkan jadi bahan pertanyaan. Ah ga asik, Lo. Teman nggak ada akhlak," sarkas Davin.
"Kok kalian berdua malah ribut sih? Ga terima gitu kita bertiga ketemuan? Nggak terima gue ajak nongkrong? Kita kan udah jarang nongkrong bertiga, formasi lengkap. Apalagi ini nih, pengantin baru," tekan Dante pada kata pengantin baru.
"Jadi Lo nyuruh gue buru-buru kesini hanya untuk nongkrong doang?" tanya Hanai. Padahal ia sudah sangat kepo tentang ucapan Dante di telepon tadi.
"Iya. Hehehe," ucap Dante tanpa dosa. Ia malah menyunggingkan senyumnya, sehingga tampaklah gigi putih dan rapinya.
"Sialan, Lo," ucap Hanai tak terima.
"Lo kan pengantin baru. Ya gue kan mau bertanya banyak hal ke Lo. Gimana rasanya setelah menikah, lalu apakah nikmat pada malam pertama. Ya gue kepo lah. Teman gue satu-satunya yang sudah married kan Lo doang. Yang paling dekat," ujar Dante panjang lebar. "Si kuntet ini juga mana tau apa-apa," lanjutnya.
"Heh, bocah gue punya nama. Nama gue bukan kuntet tapi Davin," ujar Davin menegaskan.
Teman-temannya memanggilnya kuntet karena dia pendek, beda dengan Dante dan Hanai yang tinggi.
Begitulah obrolan ketiga sahabat itu kalau sudah bertemu. Banyakan bercandanya dari pada seriusnya. Bahkan nggak akan ada ujungnya itu perdebatan kalau ketiganya tidak ada yang mengakhiri obrolan un-faedah itu.
"Gimana? Berdarah nggak?" tanya Dante tiba-tiba. Ia mencolek lengan Hanai dengan jari telunjuknya.
"Apanya yang berdarah?" tanya Hanai tak mengerti maksud ucapan Dante
"Itunya istri Lo."
"Itunya apa? Yang jelas Lo kalau nanya," sela Davin.
"Ah Lo berdua kayak nggak ngerti aja," timpal Dante, lalu menyeruput jus yang ada di gelas di hadapannya.
Mereka nongkrong bukan minum-minuman beralkohol atau apa, namun jus. Kata Dante sih biar sehat.
Hanai dan Davin masih bingung dengan pertanyaan Dante. Mereka berdua tak mengerti arah pembicaraan ini kemana.
"Ah Lo, kuntet. Pake acara nggak ngerti lagi. Padahal diantara kita bertiga Lo yang paham soal ini meski Lo belum menikah," ucap Dante.
Davin berpikir sejenak. Lalu ia menyunggingkan senyumnya karena sudah mengerti kemana arah pembahasan ini.
Hanai malah semakin tambah bingung. Ya, diantara mereka bertiga hanya dia yang masih bingung tentang semua ini.
"Ketika malam pertama gimana, Han? Enak nggak? Rasanya gimana sih? Masih perawan nggak? Berdarah nggak?" tanya Dante beruntun.
Barulah Hanai paham maksud kedua temannya.
"Berdarah?" tanya Hanai "Istri gue nggak berdarah. Sakit kali kalau dia berdarah," lanjutnya.
"Sakit tapi nikmat kan," goda Davin.
"Jadi istri Lo nggak berdarah? Berarti nggak perawan dong," ujar Hanai keceplosan. Dia orangnya memang gitu. Kalau ngomong suka nggak di filter.
Seketika Hanai ternganga. Bayangan tentang malam pertama dengan sang istri berputar di kepalanya. Kilas balik malam pertama mereka seolah berputar bagai film klasik dalam pikirannya.
Ia tersenyum mengingat akan hal itu. Membuat kedua temannya heran. Hanai tersenyum tak membagi senyuman itu dengan mereka. Tetapi kemudian ia tiba-tiba terlihat serius. Pertanyaan dari Dante tentang istrinya berdarah atau tidak langsung melunturkan senyum merekahnya.
"Memangnya kalau tidak berdarah tandanya apa?" tanya Hanai polos.
"Tandanya gadis itu sudah tak suci lagi alias tidak pe-ra-wan," ujar Davin. Menegaskan pada kata perawan.
"Istri Lo nggak perawan? Dia nggak berdarah?" Semakin diperjelas oleh Dante
Hanai tiba-tiba terdiam seribu bahasa. Satu tanya menohok yang tertanam dalam benaknya. Bahkan sampai membuat ia sesak. Apakah benar istrinya seperti yang dituduhkan oleh sahabatnya? Apakah benar Daniela sudah tidak perawan lagi? Secara sewaktu malam pertama kan 'popo' nya tidak berdarah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments