Flashback on
"Kamu kenapa sih, melamun saja dari tadi. Coba ceritakan apa yang kamu pikirkan," ucap Hanai dengan lembut.
Hanai mendudukkan istri kecilnya diatas pangkuannya. Untung saja saat ini mereka berada di dalam kamar, jika tidak orang yang melihatnya akan merasa terbakar cemburu.
Entah mengapa, sejak pertama kali bertemu dengan wanita itu, Hanai langsung jatuh cinta kepadanya. Ia sampai memutuskan dan memilih Ela lah pilihan terakhir dalam hidupnya. Meski bukan cinta pertama, tapi ia akan mengakhiri masa hidupnya bersama dengan wanita itu.
"Aku nggak apa-apa kok, bang," ucap Ela, menyelipkan senyum tipisnya itu.
Meski belum lama kenal luar dan dalam diri Ela, Hanai tahu betul ada yang disembunyikan oleh Ela darinya. Ia tahu senyum itu adalah senyum paksaan.
"Jujur sama abang. Sebenarnya adek kenapa?"
"Nggak apa-apa kok, bang," sahut Ela cepat. Ia tak ingin Hanai mencurigai dirinya.
"Aku nggak mikirin apa-apa kok," imbuhnya lagi.
Kabar tentang sakitnya baby Nawal masih terngiang-ngiang dalam hatinya. Ia berusaha menutupi hatinya yang gusar itu.
"By the way, abang tadi jadi ketemuan sama yang namanya dan dan itu?" Ela berusaha mengalihkan topik pembahasan.
"Jadi, sayang," jawab Hanai tersenyum.
"Abang dekat banget ya sama yang namanya dan dan itu ya?" Lagi-lagi Ela menyibukkan sang suami dengan banyaknya pertanyaan darinya. Ela ingin suaminya itu benar - benar tak membahas perihal ekspresi wajahnya hari ini.
Yang sudah saling mengenal lama belum tentu saling tahu baik dan buruknya seseorang. Sama halnya dengan Hanai dan Ela. Mereka berdua baru mengenal sekitar enam bulan yang lalu. Tentu masih banyak yang tersembunyi jati diri mereka yang sebenarnya.
Jaga image tentunya masih sering ditunjukkan mereka. Tapi yakinlah, seiring berjalannya waktu mereka akan semakin saling mengenal, semakin dekat dan bahkan semakin mesra karena masing-masing sudah mau menunjukkan cintanya.
"Mereka berdua sahabat abang, dek. Kami bertiga dulu se kampus. Tetapi beda jurusan."
"Ooh," sahut Ela sambil manggut-manggut tanda mengerti.
****
"Sayang, Nawal nangis itu. Masa dibiarin sih," ujar Arion sewot. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggang. Rambutnya masih basah, sehingga tetesan - tetesan air terjatuh ke leher, bahu dan punggungnya.
"Sayang.... " seru Arion lagi.
Tapi yang dipanggil tidak menyahut sama sekali. Sepertinya ia tak menyadari jika suaminya telah selesai dari kamar mandi.
"Fiya!" panggilnya dengan suara yang agak meninggi.
"I-iya," sahut Fiya terkejut.
"Mikirin apa sih? Nggak liat baby Nawal sedang rewel? Apa nggak dengar suara tangisnya?" cerocos Arion kesal dengan sang istri.
"Kakak aja yang diemin. Aku malas," sahutnya dengan kesal juga.
"Lho, kok gitu sih sayang. Jangan gitu dong dengan baby Nawal. Sekarang kan aku dan kamu yang jadi . "
"Jadi apa? Orang tuanya?" sela Fiya cepat.
"Tuh tau. Kenapa tak bertindak sebagai ibu yang seharusnya sigap jika sang bayi sedang rewel. Apalagi sedang sakit begini."
"Aku capek, kak. Aku lelah. Jenuh dengan semua ini Aku terus mengerti orang tapi orang tak ada yang mengerti aku," sahut Fiya lagi cemberut.
"Ya tapi jangan lampiaskan semuanya ke baby Nawal, sayang. Dia kan nggak tau apa-apa. Bukan salahnya dia dilahirkan dari rahim seorang ibu seperti itu. Dan bukan inginnya juga ia berasal dari benih seorang ayah yang tak bertanggung jawab. Jadi... "
"Terimalah dia, sayang. Apa kamu tega melihatnya tanpa ayah dan ibu? Apa kamu sanggup?" Sepengetahuan kakak, Fiya itu adalah wanita yang lembut, baik hati, menyayangi anak-anak. Tapi hari ini kakak melihat Fiya yang berbeda. Fiya yang bukan diri Fiya sendiri."
"Kenapa, sayang? Cerita sama kakak. Siapa tau dengan bercerita, walau kakak misal tidak bisa memberi jalan keluar, tapi se- enggaknya kan kamu merasa puas. Karena telah meluapkan sesuatu yang sesak, yang kau pendam selama ini."
"Sudah terlalu banyak aku berkorban selama ini, kak. Sampai kapan kak?" Fiya sesenggukan di pelukan suaminya. Sementara Arion, menepuk-nepuk lengan baby Nawal agar tenang, dengan masih adanya handuk yang melilit di pinggangnya.
Bahkan, Fiya merasa tetes demi tetes buliran air itu mengenai dirinya, tapi ia abai. Ia malah merasa nyaman dengan semua itu.
"Sebentar, ya. Kakak pakai baju dulu. Biar enakan kita ngobrol," ucap Arion. Ia melepaskan tubuh Fiya dengan lembut, tetapi dengan cepat Fiya memeluk pria itu lagi.
"Seperti ini sebentar saja," mohon Fiya.
"Tapi kakak belum pakai baju, sayang."
Fiya malah abai, ia tak peduli. Malah semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh pria tercintanya itu.
Arion pun hanya bisa mengalah. Ia benar-benar meras Fiya sangat rapih sekarang. Bukan seperti Fiya yang ceria, cerewet. Nggak ramai kalau dia tak ada.
"Ya sudah. Menangis lah.. Luapkan semua sesak di dada mu. Kan ku pinjamkan bahuku untuk tempat mu bersandar. Gunakanlah sesuka hatimu, gunakan sepuasnya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments