Kedua pasang mata itu masih terus mengawasi Moses dan Deasy, tanpa disadari oleh keduanya. Demikian juga ketika keduanya tampak akan beranjak, kedua pasang mata itu saling memberi kode untuk mengikuti pasangan itu.
Tidak ada yang aneh, Moses mengantarkan Deasy sampai di depan pagar rumah. Sepertinya cowok itu menolak, ketika Deasy menawarinya untuk masuk. Deasy melambai, dan baru masuk ke dalam rumahnya, begitu mobil Moses tak terlihat.
Kedua penguntit itu tampak lega, melihat Deasy pulang ke rumahnya dengan selamat. Semua kekhawatiran mereka tidak terjadi, syukurlah.
"Fuih, seru juga rasanya jadi detektif ya, Tha. Mama tadi merasa jadi Irene Adler yang di kisah Sherlock Holmes itu. Memang sih, Mama secantik dia, uhuk."
Mama terkekeh dengan leluconnya sendiri. Sedang Thalita cuma memandangnya dengan sebal. Bagaimana bisa, tokoh Irene Adler yang diidolakannya, disamakan dengan emak-emak rempong yang hobi menebar gosip.
"Jadi itu yang namanya Moses? Cakep ya, Tha? Mana tajir lagi. Fuuh, cocok banget lah, kalau Mama punya mantu kayak gitu."
Thalita semakin cemberut. Perkataan Mama, seperti menginginkan dia jadi pel*kor. Thalita mendengkus kesal.
"Kamu kenapa, Tha? Kok wajahmu kusut banget kayak gitu? Harusnya kan kamu senang, si Deasy gak kenapa-napa."
"Thalita senang, Deasy gak kenapa-napa, bahkan pulang ke rumah dengan selamat. Yang bikin Thalita gak senang, kenapa Mama nyamain diri dengan Irene Adler, dia kan idola Thalita, jadi yang lebih pantas mirip dia itu Thalita, bukan Mama."
Seketika Mama tertawa dan mengacak rambut anak semata wayangnya itu. Merasa ditertawakan, Thalita makin cemberut.
"Iya deh iya, Mama ngalah. Kamu yang mirip Irene Adler, Mama mirip Sherlock Holmes."
"Mana ada Sherlock Holmes gembrot kayak Mama gitu? Dia kan badannya cungkring. Mama tuh lebih mirip Genta, timbang Sherlock."
Mama mendengkus kesal, karena dikatain gembrot oleh Thalita.
"Eh, Tha, menurutmu, sikap Moses tadi aneh gak sih? Katamu, semalam dia kasar banget sama Deasy, kok tadi Mama lihat, sikapnya manis banget."
"Thalita tuh merasa sikap Bang Moses aneh itu, udah dari lama sih, Ma. Kadang dia itu baik banget, lemah lembut. Kadang juga kasar dan suka bentak-bentak. Tapi kadang juga humoris dan suka jahil. Seperti ada tiga kepribadian, ada di satu tubuh. Dan masing-masing pribadi itu munculnya sendiri-sendiri, gak muncul bareng."
"Semacam kepribadian ganda?"
"Iya, Ma. Thalita pernah baca artikel tentang itu, katanya, orang yang bersangkutan gak menyadari saat menjadi pribadi yang berbeda. Jadi kayak orang pikun gitu kali."
"Mama juga pernah baca, tapi lupa dimana. Nanti, kamu cari info lewat internet ya, Tha!"
"Siap, Ma."
"Semoga saja kekhawatiran kita gak terbukti. Kasihan Deasy, dia seperti menemukan kasih sayang yang hilang pada diri Moses."
"Ya semoga aja, Ma."
"Om Hans dan Tante Anna udah tau, anaknya punya pacar?"
"Kata Deasy sih, mamanya udah dia kasih tau, tapi ya gitu, dicuekin. Apa wanita karier itu selalu gitu ya, Ma? Cuma mikirin cari duit doang, gak mikirin anaknya juga pengen didengarkan."
"Ya enggak juga, tergantung orangnya. Buktinya Mama ini, lebih mikirin ngerawat kamu dengan tangan Mama sendiri, dari pada bayar orang. Padahal, kalau Mama tetap kerja, gaji Mama lebih dari cukup buat bayar asisten rumah tangga."
"Thalita bersyukur deh, punya mama seperti mama Thalita ini."
"Katanya gak suka? Mau tukar tambah sama mamanya Deasy aja?" ledek Mama.
"Ah, Mama! Gak mau! Nanti Thalita kesepian kayak Deasy dong," kata Thalita merajuk.
Mama memeluk Thalita, kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Tiba di rumahnya, Moses masuk ke dalam sambil bersiul senang. Sesekali tangannya mengusap pipi, yang tadi dicium Deasy sebagai tanda perpisahan. Cewek itu memang gampang sekali dibujuk, cukup dengan memberinya hadiah kecil seperti tadi, sudah membuat gadis itu melupakan kekesalannya.
Moses duduk di sofa ruang tamu yang sekarang sudah tampak bersih dan rapi. Pasti Bik Sari sudah bekerja keras membersihkan tempat itu. Seingat Moses, dia sempat muntah, karena perutnya tak tahan dengan minuman keras yang diminumnya semalam.
Dari dalam laci kecil di bawah meja, Moses mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Tak lama, cowok itu sudah asik bermain-main dengan kepulan asap yang dihembuskan lewat hidungnya.
"Eh, Den Moses sudah pulang rupanya. Mau Bibi panaskan masakan, Den? Mungkin Den Moses lapar?"
"Gak usah, Bik! Aku baru saja makan di luar bareng Deasy kok."
"Oh gitu. Neng Deasy udah gak marah sama Den Moses?"
"Udah enggak kok. Barusan aja kami berdua makan malam romantis. Eh, Bik, duduk sini deh!" Moses menepuk sofa di sebelahnya, dan meminta Bik Sari duduk di sana.
"Ada apa, Den?"
"Kemarin itu kenapa sih? Kok aku bisa mabok kayak gitu?"
Bik Sari menghela napas, sebelum menjawab pertanyaan majikannya. Tampaknya wanita tua itu sedang memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
"Bibi nemuin Den Moses di gudang belakang. Sedang pingsan di atas kardus yang berisi barang-barang Non Renata."
"Ngapain aku ke gudang ya, Bik?"
"Kata Neng Deasy, Den Moses sedang cari Bibi. Bibi ketiduran di perpustakaan, capek setelah bersih-bersih. Nah, karena pintu gudang terbuka dan lampunya nyala, Neng Deasy ngira Bibi di dalam."
"Kok bisa kebuka pintunya?"
"Mungkin saat ambil kemoceng, Bibi nutupnya kurang rapat, jadi terbuka sendiri."
"Oke. Sekarang, kenapa Deasy gak masuk gudang sendiri, kan dia yang curiga Bibi di dalam?"
"Neng Deasy kan phobia laba-laba, Den. Mungkin dia takut kejatuhan hewan itu kalau nekad masuk sendiri."
Moses terdiam. Deasy phobia laba-laba, suatu fakta yang baru saja dia ketahui. Cowok itu sekilas menyeringai seram, membuat Bik Sari yang sempat melihatnya sedikit bergidik.
"Kok diam, Den?"
Moses menggeleng, memberi isyarat pada Bibi kalau dia baik-baik saja.
"Boleh Bibi nanya, Den?"
"Tanya aja, Bik! Kalau aku bisa pasti aku jawab kok."
"Den Moses masih cinta dengan Non Renata?"
Air mata tampak mulai meleleh di pipi Moses, cowok itu menangis. Tak lama, suara isaknya terdengar memenuhi ruang tamu. Bik Sari menepuk-nepuk pundak majikannya dengan sayang.
"Dia satu-satunya cewek yang aku cintai, Bik. Tak ada seorang gadis pun yang bisa mengambil hatiku kecuali dia."
"Termasuk Neng Deasy?"
"Termasuk dia juga. Aku cuma kasihan sama dia. Dia kesepian. Orang tuanya gila kerja, jadi dia butuh teman."
"Kan udah ada Neng Thalita, Den. Mereka berteman, bahkan bersahabat."
"Bibi pikir Thalita selalu ada untuk Deasy terus? Thalita juga punya kehidupannya sendiri. Suatu saat, dia akan punya pacar, dan gak ada waktu lagi buat Deasy, sibuk dengan pacarnya."
"Terus? Den Moses mau mempermainkan Neng Deasy?"
"Renata juga kesepian, Bik. Dia butuh teman. Deasy akan jadi teman baik untuk Renata."
Bik Sari tampak mengerutkan kening, tak paham akan maksud Moses. Moses berdiri, dan beranjak menuju perpustakaan.
"Kemana, Den?"
"Ketemu Renata, Bik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Hana
apa iya renata disekap di perpustakaan ? atau .. sudah mati tapi mayatnya masih di simpan di perpustakaan.
2023-07-05
0
Hana
darimana Bibi bisa tau kalau Deasy phobia laba laba? karena seingatku, Deasy hanya bilang ke bibi kalau dia phobia ruangan sempit.
2023-07-05
0
Hana
bisa jadi Moses mengidap kepribadian ganda, tapi kalau memang iya, saat dia berubah menjadi kepribadiannya yang lain, dia tidak akan ingat pada Deasy.
2023-07-05
0