Siang itu, Neta dan Reza berbincang sekedarnya. Kedatangan Reza adalah untuk membeli pakaian untuk ibu asuhnya yang sedang berulang tahun. Dia terlihat tertarik dengan butik kecil milik Neta..
"Apa kamu suka yang ini? Berapa berat tubuhnya? Biar aku cek dulu lingkar dadanya. Takutnya enggak muat," kata Neta sembari memilihkan pakaian yang pas lainnya.
"Ini saja sudah yakin muat aku. Dia tidak begitu gendut. Hanya saja mungkin nanti agak kepanjangan sedikit." Reza menjawabnya.
"Oh ya? Kira-kira berapa tingginya. Di sini kami juga melayani jasa perombakan. Jadi biasanya pelanggan yang datang akan langsung memilih dan merombak pakaian sesuai dengan ukuran tubuhnya. Jadi tidak perlu repot-repot lagi," terang Neta dengan ramahnya.
Reza terdiam dan berpikir. "Ukur saja setinggi telingaku itu berapa senti. Aku punya fotonya dan tinggi dia adalah sebatas telingaku," akunya.
"Oh oke," jawab Neta yang kemudian mengambil meteran dan mengukur tinggi Reza.
"I55 nih Za tingginya. Benar gamis yang ini, tidak yang lain?" tanya Neta untuk memastikan.
"Iya itu saja," kata Reza setelah Neta mengukurnya.
"Oh, jantungku serasa mau copot saat dia mengukur tinggi tadi. Ah, kenapa sampai seperti ini aku ya? Gila sih ini, pesonanya lembut tapi kuat memikat. Pantas saja Suami wanita itu sampai bisa bertekuk lutut di hadapan wanita lembut ini. Wah, aku harus mengumpulkan banyak bukti," pikir Reza dengan tatapan matanya yang terus mengikuti ke mana Neta pergi.
"Kalau aku memberikan semua foto itu, setidaknya aku harus memastikan kalau klienku itu bukan orang yang sadis. Aku tidak tega juga kalau nantinya Neta yang lemah lembut ini menjadi sasaran amuk wanita itu. Ah, gila aku." Reza tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.
"Kenapa bisa aku malah jadi tertarik dengan urusan orang lain? Ada apa denganku ini? Apa iya aku jatuh cinta? Ah, tapi Neta ini istri orang sekarang. Kenapa bukan aku yang terlebih dulu menikahinya?" gerutu Reza di dalam hatinya.
Ketika Reza masih memikirkan tentang Neta, wanita yang dia pikirkan itu datang dengan wajah tersenyum. Dan terlihat begitu indah dipandang. Neta tampil seperti oase di tengah gurun tandus.
Reza pun tersenyum menyambutnya. Tatapan penuh damba itu ia tunjukan dan siapa sangka bila ada salah seorang di sana yang mampu mengartikan tatapan mata Reza itu. Iya, Dara bisa mengerti akan makna tatapan mata itu.
"Ini sudah jadi, semoga suka ya ibunya. Eh apa tidak dibungkus kado sekalian?" tanya Neta menawarkan.
"Oh ada ya?" tanya Reza balik dengan sorot matanya yang berbinar.
"Ada, silahkan berikan sama karyawanku itu," tunjuk Neta kepada Dara.
Reza pun tersenyum dan menuruti arahan Neta. Ia menyerahkan pakaian itu kepada Dara.
"Ini Mbak, tolong dibungkus yang rapih ya," pinta Reza.
"Baik Mas," jawab Dara.
Sambil membungkus, Dara yang sedari tadi memerhatikan mimik muka Reza pun mulai bertanya. "Suka ya sama Mbak Neta?" tanyanya.
Glek.
Reza menelan ludahnya perlahan. Satu yang ada di kepalanya saat ini. Apakah begitu kentara rasa tertariknya kepada Neta, sampai-sampai karyawan toko itu bisa tahu?
"Saya sarankan jangan Mas. Dia itu sudah bersuami, baru saja menikah. Yah, walaupun suaminya suka pergi dan jarang pulang, tapi Mbak Neta itu tipe wanita yang setia menjaga hatinya."
"Benarkah? Wah, saya takjub Mbak. Tapi sayangnya saya tidak ada niatan untuk itu. Hanya sekedar mengagumi kepribadiannya saja. Apa itu salah?" tanya Reza balik kepada Dara hingga Dara yang sedang membungkus kado itu berhenti.
Dara menatap datar Reza yang tersenyum kepadanya. "Salah jika kamu tujukan kepada wanita yang sudah bersuami Mas."
Keduanya lalu saling diam. Baik Dara maupun Reza tidak lagi saling berbincang. Sampai membungkus kado itu selesai, tidak ada lagi percakapan dan Dara segera mengalihkan perhatian untuk melayani pembeli yang lain.
"Mbak, kita belum dapat fotografer juga ya?" tanya Wilda yang baru saja sampai dengan membawa beberapa pernak-pernik bahan pakaian.
"Oh iya, aku lupa belum mencarinya. Eh tapi ...."
Perkataan Neta menggantung saat dia melihat Reza yang hendak pergi dan membuka pintu keluar. Segera Neta menyusulnya. Neta mengajaknya kembali masuk dan duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
"Za! Sebentar aku mau ngomong. Tadi kelupaan," kata Neta sembari mendekat.
"Ada apa?" tanya Reza dengan ekspresi wajahnya yang datar.
Neta terlihat sedikit gugup dan dia tidak begitu yakin akan menawarkan Reza untuk bekerja sama dengannya. Pasalnya juga dia belum mengenal lebih jauh siapa Reza. Mereka saja baru bertemu satu kali saja.
"Em, kamu kan freelance. Aku hanya ingin menawarkan tentang pekerjaan. Butikku ini sedang membutuhkan fotografer untuk membuat gambar yang bagus sebelum kami memposting di wall jual beli online. Apa bisa kamu menjadi fotografer kami? Tidak setiap hari bekerja. Hanya bila ada produk baru saja. Bagaimana?" tanya Neta penuh harap akan jawaban ya.
Reza melipat kedua tangannya ke dada dan menatap penuh arti Neta.
"Ini adalah jalanku untuk semakin dekat dengannya. Tidak aku sangka bila jalanku akan semudah ini. Ini merupakan kesempatan bagus untukku. Agaknya seru bila aku menerima tawaran ini," pikir Reza.
"Apa kamu yakin dengan hasil jepretanku?" tanya Reza seolah memastikan.
"Iya, aku sudah melihatnya. Menurutku itu bagus. Kamu ingat pertama kita bertemu kamu memotretku bukan? Apa kamu lupa?" tanya Neta dengan begitu polosnya.
"Ah, polos sekali dia ini. Kalau sikapnya sepolos ini aku jadi penasaran, apa mungkin dia berani merebut suami orang secara terang-terangan? Dari wajah dan tutur katanya saja tidak nampak kenakalan. Ah, mengapa aku malah begitu khawatir tentangnya?" pikir Reza.
"Gimana?" tanya Neta dengan sorot matanya yang berbinar dan Reza tersentuh olehnya.
"Oke," jawab Reza singkat.
"Kalau begitu besok bisa kamu datang dengan membawa kameramu? Kita harus melakukan pemotretan besok. Aku ada model baru yang harus dipajang," kata Neta dengan raut senang.
"Bisa," jawab Reza.
"Mulai hari ini kita partner, oke?" ujar Neta sambil mengulurkan tangannya.
"Oke," jawab Reza yang menyetujui kesepakatan tersebut.
****
Sampai malam hari, Neta masih saja Bekerja. Bahkan sampai semua karyawannya pulang, Neta masih setia berada di depan meja kerjanya. Dengan secangkir kopi yang bergambar emoticon dia bicara.
"Suamiku saja setiap pergi sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku cemas, aku khawatir. Tapi mengapa dia terlihat begitu tenang? Ah, sebenarnya aku mulai meragukan pernikahan kami," kata Neta seorang diri di dalam ruang kerjanya di butik miliknya.
"Ayah, kalau tidak karena nasihat ayah sebelum meninggal, mungkin sekarang ini aku sudah mengamuk dan berusaha untuk berpisah dari suamiku. Pernikahan kami baru seumur jagung dan dia sudah kerap kali mencampakkan aku begini. Ayah, aku harus bagaimana menyikapinya? Sedangkan, dia begitu baik terhadap bibi dan ibu." Neta menatap bintang-bintang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments