“Enggak, siapa juga yang marah sama kamu Kei,” kilah Neta tanpa mau melihat suaminya itu.
Kei mendenkat lalu mengusap lembut pipi Neta. Ia mendaratkan kecupan di sana. Seakan dia begitu mencinta.
“Seneng deh aku, kamu enggak marah. Ya sudah, aku pergidulu, baik-baik di rumah ya?” pamit Kei dengan lembutnya seolah saat ini dia adalah lelaki terbaik di dunia.
“Sama sekali tidak peka,” batin Neta saat ciuman di pipinya itu tiba.
Kei pergi melenggang begitu saja. Bahkan dia sama sekali tidak menawari Neta atau berniat mengantarkannya terlebih dahulu. Sama sekali tidak ada niatan untuk mengantarkannya.
“Ya.” Neta menjawab sekedarnya tanpa ekspresi bahkan tidak ada di senyuman yang menyertainya.
Kei berlalu pergi, sedan hitamnya melesat tanpa sekalipun menoleh kebelakang. Neta hanya melihatnya dengan perasaan kecewa. Sedih yang tersisa saat itu juga.
“Ah, sama sekali dia tidak peka. Ini antara dia tidak peka atau tidak mau memerhatikanku. Ibu, iya harusnya aku bicarakan tentang hal ini,” gumam Neta yang kemudian pergi meninggalkan apartemen mewahnya.
Neta sama sekali tidak membawa mobil yang Keiji belikan. Dia lebih memilih untuk naik taksi online. Semua barang itu ia tinggalkan begitu saja.
Agendanya hari ini adalah untuk menemui pelanggan terbaik dan teroyal butiknya. Neta dan Dara, berangkat menemui nenek Fuji yang kali ini titik temunya berbeda. Nenek Fuji memintanya untuk datang ke sebuah hotel.
“Kamu yakin, kita ketemunya di sini?” tanya Neta kepada Dara dan keduanya mendongak menatap bangunan hotel yang tinggi menjulang.
“Iya sih Mbak, ini di sini sih alamatnya. Iya ‘kan?” Dara menunjukan alamat dari ponselnya kepada Neta.
“Iya, ya sudah kita masuk saja,” ujar Neta memutuskan dan mereka mulai masuk ke dalam lobi hotel.
Sepanjang jalan menuju ke kamar tersebut hanya ada tatapan takjub di mata keduanya. Mereka berjalan dengan pelan menikmati setiap suguhan desin ruangan tersebut yang nampak futuristik dan mewah. Dara nampak begitu terpukau sementara itu Neta biasa saja.
Sudah sangat biasa bagi Neta pemandangan itu ada, di apartemennya juga nyaris sama dengan apa yang ada di sana. Bahkan jenis hiasan dindingnya pun nyaris sama. Akan tetapi Neta sama sekali tidak menatuh curiga akan hal itu.
Sampailah mereka di depan pintu kamar 88. Pintu kamar hotel itu nampak berbeda dengan yang lainnya lebih besar dan terlihat spesial. Dara melongo ketika sampai di sana.
“Ketuk tidak Mbak?” tanya Dara yang seperti tidak yakin dengan terus menatap ke pintu tersebut.
“Kalau tidak diketuk apa mau kamu gigit pintunya Dara?” kata Neta yang menyahuti dengan candaannya dan mereka tertawa bersama.
Siapa yang tahu bila yang ada di dalam sana adalah ada seseorang yang ia kenal juga. Kei ada di dalam kamar itu bersama neneknya. Dia tengah membicarakan mengenai perjanjian pelimpahan hak waris.
“Jadi bagaimana Kei, apa kamu sudah mendapatkan wanitanya?” tanya nenek Fuji yang masih terduduk di atas kursi rodanya.
Kei yang sedang duduk di samping neneknya itu pun mendekat, menarik perlahan kursi rod aitu lalu menggenggam tangannya penuh dengan rasa sayang. Cucu semata wayang itu memang begitu menyayangi neneknya, di saat terakhir neneknya, ia berusaha untuk mewujudkan impian neneknya.
“Sudah Nek, apa nenek ingin melihatnya? Dia cantik dan keibuan. Juga sangat berbeda dengan Salma. Dia tidak mudah marah Nek,” ungkap Kei yang memberikan pujian terhadap sosok Neta tanpa ia sadari.
“Iya kah? Mana fotonya? Nenek belum melihat foto kalian,” kata nenek Fuji dengan bibirnya yang merekah tersenyum senang.
“Ini,” Kei menunjukan sebuah foto perniakahan.
Nenek bukannya tersenyum lagi. Senyuman itu luntur dan memudar. Ia lalu menatap Kei dan mengernyitkan keningnya.
“Kei kenapa anak baik ini?” tanya nenek Fuji dengan ekspresi wajahnya yang amat sangat terkejut.
“Apa nenek kenal?” Kei mulai penasaran dan dia juga keheranan mengapa raut wajah neneknya sampai seperti itu.
Nenek Fuji menatap lekat cucu satu-satunya itu. “Kei, nenek bukan kenal lagi. Kamu tahu, nenek pernah bercerita mengenai pendonor darah sewaktu nenek kecelakaan hingga nenek menjadi seperti ini?”
Kei mengangguk.
“Itulah gadis ini Kei, dia yang nenek ceritakan menolong nenek dengan suka rela, dengan ikhlas, akan tetapi kemudian ibunya meminta imbalan uang. Ini gadis baik itu Kei,” ulangnya lagi dengan perasaan iba.
Kei mengusap wajahnya, Ia seketika merasa lemas. Dia sama sekali tidak menyangka bila wanita yang sudah mneolong neneknya dan mendapatkan cemoohan dari ibunya sendiri kali ini adalah wanita yang sama yang dijadikan alat tukar untuk sejumlah uang oleh ibunya sendiri.
“Ibunya mengirim email kepada Jono Nek, kemudian kami bertemu dan dia banyak mengarang cerita. Hingga pada akhirnya aku mau menerima kesepakatan asalkan dia nantinya bisa benar-benar hamil dan memberikanku
keturunan. Lalu bagaimana jika begini? Apa Salma juga mengenalnya?” tanya Kei yang mulai khawatir.
Beruntungkah Kei pada saat itu nenek menggeleng. “Nenek tidak tahu Kei, tapi kenapa harus gadis ini. Apa nantinya dia mau melepaskan anaknya jika kamu membawanya dan kembali kepada Salma?”
Belum sempat Kei menjawabnya, pintu hotel itu sudah di ketuk. Kei berdiri dan ingin membukakan pintu namun nenek segera melarangnya.
“Jangan! Bersembunyilah Kei, itu dia. Itu Aneta yang datang,”sergah nenek Fuji seketika.
Kei menoleh dan kembali. Ia lalu berjongkok di hadapan neneknya. “Apa maksudnya Nek?”
“Itu Aneta, istri keduamu. Dia adalah penjahit langganan nenek. Semenjak hari itu, aku membantunya dengan cara lain. Aku kasihan dengan anak baik itu yang selalu tertindas dan di manfaatkan oleh ibunya sendiri.”
“Semuanya sudah terlanjur terjadi, tapi nenek tidak mau kalau sampai dia tahu nenek ini adalah nenekmu. Nenek tidak siap kalau dia akan membenci nenek dalam waktu dekat ini. Biarkan kami tetap berhubungan baik layaknya teman baik,” kata nenek Fuji.
“Nenek sudah terlalu lama kesepian. Dia hanya menginginkan rumah yang ramai dengan suara anak-anak. Tetapi aku sudah salah mengambil keputusan degan menikahi Salma yang ternyata mandul. Sedangkan Neta, ternyata dia seberharga itu bagi nenek. Iya, aku hanya harus tetap menyembunyikan semua ini,” batin Kei sembari ia berjalan memasuki kamar lalu menguncinya dari dalam.
“Sus, bukakan pintunya. Ingat apapun yang kami bicarakan ini jangan sampai terdnegar di telinga Salma,” pesan nenek Fuji sebelum suster Dini membukakan pintu.
“Baik Nek, saya akan menjaga rahasia ini.” Suster Dini berjalan membukakan pintu.
“Mbak Dini, oh saya kira tadi kami salah kamar. Ini pertama kalinya kita ke sini.” Neta bersalaman dengan Dini yang sudah sangat mengenal.
“Mari mbak, masuk. Nenek sudah menunggu dari tadi,” kata suster Dini yang mempersilahkan keduanya untuk masuk.
Neta melangkah masuk dan ia sedikit terkejut saat mendapati beberapa furmitur di dalamnya nampak sama seperti di dalam unit apartemennya. “Kenapa banyak sekali furnitur yang sama?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments