7.
Terdiam membeku tanpa bergeming sedikitpun. Aneta sama sekali tidak melakukan pergerakanselain menatap penuh tanya suaminya. Lelaki yang diakui baik oleh keluarganya itu justru membuatnya banyak bertanya-tanya.
Neta hanya bisa mengusap perlahan wajahnya tanpa berani bersuara. Dia tidak mau mengusik laki-laki yang selalu dielu-elukan baik oleh ibu dan bibinya. Jujur saja, ini sangat membingungkan bagi Neta, beberapa kali bertemu dan langsung menikah begitu saja.
Saat memikirkan ini semua pun Neta sebenarnya bisa merasakan suatu keanehan. Tetapi lagi-lagi semua itu diruntuhkan oleh pengaruh sang ibu yang menyatakan Kei adalah orang baik luar biasa. Ia, ini semua tidak lepas dari sosok Neta yang merupakan anak berbakti.
“Sudah bangun?” tanya Kei tiba-tiba dengan menepuk paha Neta.
“Hem?” gumam Neta memberikan responnya dengan sedikit terkejut.
“Sudah bangun?” ulang Kei bertanya.
“Iya, mau sarapan apa?” tanya Neta tanpa melihat wajah suaminya. Dia masih kesal juga heran perkara selimut yang terpisah.
“Nasi goreng saja, aku hari ini harus kembali bekerja dan mungkin dua atau tiga hari lagi baru pulang. Kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Kei dengan terus saja memerhatikan raut wajah Neta.
“Tidak apa-apa,” jawab Neta secukupnya dengan tersenyum tipis dan menatapnya sekilas.
Kei hanya mengamati pergerakan istri keduanya itu yang sangat jelas terlihat sedang mengalihkan suatu rasa tidak nyaman. Tangannya begitu cepat bergerak melipat selimut, mengikat rambutnya asal lalu pergi dari kamar tersebut tanpa banyak bicara. Tetapi tidak ada pintu yang dibanting seperti saat Salma marah.
“Kenapa raut wajahnya seperti itu? Apa … dia merasa kalau aku sengaja menjaga jarak dan hanya mau mendekat saat ingin melakukan itu?” pikir Kei masih dengan maniknya yang menatap pintu kamar mereka.
Tidak mau terus-terusan terganggu dengan pikiran kacaunya mengenai sikap Kei yang Neta endus semakin aneh, dia kemudian memilih untuk menyibukan diri di dapur. Sambil memasak, Neta juga menyambi mengurusi pekerjaannya dengan menghubungi anak buahnya di butik. Tidak terlihat ia kesusahan, semua itu nampak biasa dan dengan mudah ia lakukan.
Neta menghubungi Wilma untuk memeriksa persediaan bahan. Sedangkan ia Rumi dan Dara pada hari ini memiliki janji untuk mengukur baju pelanggan. Pelanggan mereka itu selalu meminta mereka untuk mengukur baju di rumahnya saja lantaran usianya yang tak lagi muda dan hanya bisa duduk di atas kursi roda.
“Kalian hari ini jadi ‘kan mengukur baju nenek Fuji?” tanya Neta sembari memotong bawang bombay.
“Jadi Mbak, baju itu akan di pakai bulan depan saat acara ulang tahun cucu menantunya katanya. Jadi dia minta dibuatkan pakaian seragam untuk acara foto termasuk cucu lelakinya itu,” terang Dara.
“Oh iya, kerjakan saja dan jangan buat kecewa. Aku mungkin akan datang sekitar dua jam lagi,” kata Neta yang setelahnya ia mengakhiri panggilan setelah dirasanya cukup.
“Hhh ….” Neta mendesah perlahan menghembuskan napasnya pelan.
“Nampaknya aku memang harus menyibukkan diri untuk membuang semua pikiran negatif ini. Pernikahan ini tidak banyak mengubah jadwal kegiatanku kecuali rumah dan mobil-mmobil baru yang kumiliki itu. Aku bahkan tidak
tahu harus senang atau sedih akan hal ini,” batin Neta dengan terus mengaduk-aduk nasi gorengnya.
Selesai memasak, ia sejenak menatap pintu dan melihat Kei belum juga keluar dari kamarnya. Saat ini perasaannya gamang dan mengambang. Banyak pertanyaan yang menggelayuti benaknya.
Hanya saja untuk membuka suara, Neta malas mendengarkan sejuta alasan yang sudah pasti bisa Kei lontarkan. Saat sedang sibuk dengan pikirannya itu, sebuah pesan masuk dari Wila.
Wila: [Mbak, bulan depan fotografer kita menikah dan dia ingin mengundurkan diri. Kita harus mencari fotografer baru. Apa kita membuka lowongan atau mbak ada orang sendiri?] isi pesan Wila.
“Kenapaharus di saat yang tidak tepat seperti ini sih?” keluh Neta seorang diri.
Belum selesai ia mneghadapi perasaanya yang tidak menentu, Neta harus disibukan dengan persoalan baru. Mencari fotografer untuk memotret produknya. Perkara itu tidak mudah, Neta haru memilih sendiri gaya dan cara pengambilan gambar si fotografer agar ia mendapatkan hasil gambar yang sesuai.
“Cari ke mana aku,” keluhnya lagi sambil menata nasi goreng di atas piring.
“Mau cari apa?” tanya Kei yang rupanya sedari tadi berada di belakang tubuh Neta namun hanya diam saja.
Neta tersenyum simpul dan meletakkan nasi goreng buatannya itu di atas meja. Hanya satu piring saja yang ia buat. Dia berharap suaminya akan mengajaknya makan sepiring berdua.
“Tidak cari apa-apa Mas, hanya bahan untuk buatkan baju pelangan,” jawab Neta yang kembali ke dapur untuk membuatkan jus wortel suaminya.
Kei duduk dan Neta duduk di sampingnya. Hubungan mereka memang terkadang masih begitu kaku. Namun diantara mereka berdua ini hanya Neta yang banyak menanam benih harapan di dalamnya.
Neta mendambakan hubungan pernikahan yang sempurna dengan sosok lelaki yang lemah lembut dan menyayanginya. Tetapi sampai detik ini, dia masih belum bisa memahami Kei sedikit pun.
“Silahkan dimakan.” Neta mempersilahkan dengan harapan dia akan ditawari makan bersama.
Kei langsung melahap saja nasi goreng itu dan meniknya masih sibuk membaca email-email yang masuk ke ponselnya. Dia sama sekali tak mengindahkan keberadaan Neta di sampingnya yang sedang menunggunya untuk makan bersama. Padahal, tangan Neta sudah siap untuk menggapai sendok yang ada di sampingnya.
“Bahkan menawariku pun tidak?”batin Neta bertanya-tanya.
Neta mengurungkan niatnya dan mengeratkan katupan bibirnya. Tidak terjadi perbincangan di sana dan Neta yang kesal pun pada akhirnya memilih untuk pergi mandi dan meninggalkan Kei menyantap sarapan paginya.
“Aku mandi ya Mas, makanmu ‘kan sudah selesai,” pamit Neta dengan sopannya.
“Hem,” jawab Kei sebatas deheman dingin.
“Sabar Neta, surgamu ada padanya. Mungkin dia bersikap begitu karena banyak masalah di kantornya,” pikir Neta yang menguatkan dirinya sendiri.
****
Kei yang sudah siap dengan setelan jasnya itu berdiri di depan pintu utama dan berniat untuk berpamitan. Lagi-lagi dia selalu membawa kopernya ke mana-mana. Padahal jika dipikir ini adalah rumahnya. Bukankah seharusnya tidak usah membawa koper itu bila tidak menginap lama?
“Ta! Aku pergi ya!” seru Kei di depan pintu.
Neta yang juga sedang bersiap pun seketika keluar dari kamar yang juga menenteng kopernya. Hal itu membuat Kei membelalakan matanya. Dia heran melihat Neta membawa koper.
“Kamu mau ke mana? Kenapa bawa koper segala?” Kei bertanya dan kembali masuk ke dalam rumah.
“Aku mau tidur di butiklah. Buat apa di rumah, kamu juga perginya lumayan lama ‘kan? Kebetulan pekerjaanku juga banyak jadi kemungkinan lembur terus,” jawab Neta.
Kei mengernyitkan keningnya. Ia seperti sedang menelisik. Tatapannya lurus menatap Neta dan berkata, “Bukan karena marah sama aku?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments