KAU DAN AKU
HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!!!
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Dara... maaf, aku tidak bisa menikahimu." Ucap seorang pria.
"A-ada apa ini? Apa maksudmu, Mas Roni?"
Wanita yang sudah memakai kebaya putih itu, seperti disambar petir di siang bolong, saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut pria yang dicintainya.
"Dara, maafkan aku. Aku sangat mencintai Ratu. Aku tidak bisa menikahimu." Akui Roni sambil menggenggam tangan wanita yang berada di sampingnya.
"Maafkan aku, Dara. Aku juga mencintai Roni. Kami saling mencintai." Ratu ikut menimpali. Ia membalas genggaman tangan Roni dengan erat.
"A- a- i-" Dara tidak bisa bicara. Hatinya begitu sangat hancur. Pria yang dicintainya dan sahabat baiknya sendiri, ternyata bermain api di belakangnya selama ini.
Setelah mengatakan hal penting tersebut, Roni dan Ratu saling bergandengan tangan pergi meninggalkan aula pernikahan itu. Tanpa peduli pada apapun. Termasuk perasaan Dara.
"Mas Roni... Mas Roni... kau tidak boleh begitu!!! Kalian tidak boleh seperti ini padaku!!!! Kenapa kalian begitu tega padaku? Apa salahku? Kenapa kalian melakukan ini?!" Dara menangis sambil terduduk di lantai. Kakinya yang gemetaran sudah tidak sanggup menopang tubuhnya.
Hari ini, hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Dara. Mendadak berubah menjadi hari yang sangat menyakitkan.
"Mas Roni!!! Mas Roni!!! Mas Roni!!!" Dara menangis memanggil calon pengantin pria yang telah pergi bersama sahabatnya.
"Mas Roni!!!" Dara tersentak bangun dari tidurnya. Nafasnya kini terasa sesak dengan hati yang bergemuruh. Ia mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya.
'Kenapa mimpi itu lagi?!' Dara menghembuskan nafas sambil bangkit dari tempat tidur.
Sudah 5 tahun berlalu, setelah kejadian yang menyakitkan dan memalukan itu. Di mana Dara ditinggalkan tepat di hari pernikahannya. Hari di mana ia akan menikah dengan Roni, kekasih tercintanya. Yang malah pergi dengan selingkuhan berkedok sahabat baik itu.
Glek...
Glek...
Glek...
Dara menenggak air dingin dalam lemari es, satu botol minum itu sudah ludes. Mendinginkan hatinya yang sempat panas. Karena kembali mengingat hari yang dianggapnya hari tersial tersebut.
"Masih jam 2. Tidur lagilah!" Dara pun melangkah kembali masuk ke kamarnya.
Pagi pun menjelang, Dara sarapan dengan Ayah dan Bundanya.
"Kamu temui saja dulu, nak." Bujuk Bunda pada putri semata wayangnya.
"Dara nggak sempat, Bun." Tolak Dara halus.
"Nanti saat kamu libur. Anaknya baik kok. Kenalan saja dulu, berteman-"
"Dara pergi ya Yah, Bun. Sudah terlambat." Dara menyalami kedua orang tuanya. Ia kabur untuk menghindari pembahasan itu.
Bundanya sering sekali menyomblangi-nya dengan anak dari teman-temannya. Dara sangat malas berhubungan dengan pria lagi.
Ya, bagi Dara. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercaya. Ucapan manis dengan kenyataannya tidak ada yang sama, 100% omong kosong belaka. Dara sudah trauma berteman atau menjalin hubungan dengan pria.
"Sudah, Bun. Biarkan saja! Dara masih butuh waktu." Ucap Ayah setelah melihat putrinya pergi.
"Butuh waktu sampai kapan, yah?" Bunda menatap suaminya dengan mimik wajah serius.
"Sudah 5 tahun! 5 tahun yah, setelah kejadian menyakitkan dan memalukan itu." Bunda kembali mengingat kejadian di hari itu.
"Dara harus membuka hati kembali, Yah. Ia tidak boleh terus menutup dirinya!" Hati Bunda mulai sedih.
Pasca ditinggal di hari pernikahannya, Dara tidak pernah mau dekat atau menjalin hubungan kembali dengan pria manapun. Bahkan untuk berteman dengan seorang pria saja, Dara langsung membangun tembok tinggi yang sangat kokoh.
Sebagai seorang ibu, Bunda tidak ingin putrinya terus seperti itu. Kini usia Dara sudah tidak muda lagi. Sudah menginjak di usia 30 tahun. Para tetangga sudah menggosipkan putrinya yang seorang perawan tua.
"Bun, biarkan saja dulu. Putri kita masih trauma." Ayah membujuk Bunda. Ia mengerti kekhawatiran istrinya. Tapi, ia juga mencoba memahami putrinya. Pria yang sudah semakin tua itu, tidak ingin melihat Dara menangis lagi. Dan disakiti oleh pria.
Ayah yakin, suatu hari pasti akan ada pria yang bisa mencintai putrinya setulus hati. Bukan seperti mantan calon menantunya itu.
Pernikahan yang batal kala itu, sangat menorehkan luka di hati putrinya. Dara selalu menangis histeris sampai beberapa hari. Bahkan yang lebih parah, Dara sudah sering mencoba untuk bunuh diri. Berniat mengakhiri hidup untuk selama-lamanya.
"Dara... turun ya, Nak." Ayah membujuk Dara yang sudah berdiri di tembok pembatas gedung.
"Tidak, Ayah. Biarkan saja Dara mati!" Ucap Dara dengan Wajah bersimbah air mata yang begitu menyayat hati yang melihat.
"Jangan begitu, sayang!" Ayah masih mencoba membujuk. Selangkah mundur saja, putrinya itu akan jatuh dari gedung berlantai 5 ini. Ia harus pelan-pelan membujuk sang anak.
Bunda yang berada tidak jauh dari putrinya, tak kuasa melihatnya. Merasa sesak dan takut melihat anaknya yang akan nekad. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri. Suaminya itu mencoba untuk mendekati putri mereka.
"Jangan halangi Dara, Ayah!" Dara masih bersikeras akan melompat.
"Kamu nggak sayang lagi sama Ayah?" lirih Ayah berucap.
Dara terdiam. Hatinya berdesir melihat Ayahnya yang sudah berlinang air mata. Ayahnya adalah seorang pria. Tapi, saat ini menangis hanya karena dirinya.
"Biarkan saja aku mati. Aku mau mati! Ayah, biarkan Dara mati saja! Hu... huu... hu..." Dara menangis histeris saat Ayah menarik dirinya turun dari tembok pembatas tersebut.
"Tenanglah, Nak. Tenang ya, sayang!" Ayah memeluk putrinya erat. Ia tak akan melepaskan Dara lagi.
"Ayah, biarkan aku mati!!!"
"Nak, kamu nggak sayang sama Ayah lagi? Kamu mau meninggalkan Ayah sama Bunda? Bagaimana Ayah bisa hidup tanpa kamu, Nak?!" Melihat putri terkasihnya bersikap seperti itu, membuatnya sangat sedih.
"Kamu tega meninggalkan Ayah. Kamu nggak sayang lagi sama Ayah? Kamu jangan seperti ini, Nak. Kamu masih punya Ayah. Kamu masih punya Ayah dan Bunda. Tolong jangan buat Ayah takut lagi, Dara..." Jelas Ayah sambil menangis. Ia ingin Dara mengerti, bahwa putrinya tidak sendiri. Masih ada Ayah dan Bunda di sisinya.
"A-ayah..." Dara yang masih menangis terisak-isak itu pun memeluk Ayahnya dengan erat. "Ma-maafkan Dara, Ayah. Maafkan Da-Dara."
Dara sangat menyesal. Karena rasa sedih dan sakit hatinya. Ia malah melupakan Ayah dan Bundanya. Melupakan perasaan kedua orang tuanya. Orang yang paling kehilangan dirinya adalah kedua orang tuanya. Mereka pasti yang akan sangat sedih dan terpukul dengan pikiran dangkalnya ini.
Bunuh diri bukanlah akhir dari segalanya. Dara seharusnya tidak berpikiran seperti itu. Ia seharusnya memikirkan bagaimana perasaan kedua orang tuanya.
Batal pernikahan itu saja, masih menjadi buah bibir para tetangganya. Ayah dan Bunda mungkin sudah tutup telinga, atau tak mau ambil pusing dengan gibahan mereka.
Dan bagaimana lagi jika ditambah dengan niatnya untuk bunuh diri?
Bagaimana Ayah dan Bundanya menghadapi semua ini?
Kenapa ia jadi membuat kedua orang tuanya merasakan kesakitan?
"Ayah... Bunda... Tolong maafkan Dara. Tolong maafkan Dara. Maafkan Dara..."
Ayah menghembuskan nafasnya berkali-kali mengingat saat putrinya yang begitu nekat. Dan syukurnya setelah hari itu... Dara tidak pernah mencoba mengakhiri hidupnya lagi. Putrinya perlahan mulai bangkit melawan keterpurukannya.
Dara, putri kesayangannya bisa tersenyum dan tertawa bahagia saja. Ayah sudah sangat bersyukur.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Dwi Setyaningrum
jgn lah bunuh diri Krn gagal menikah dara balas mantanmu dg elegan lah kalau km bunuh diri paling mantanmu hanya menyesali cuma sebentar doang hbs gt lupa deh rugikan dirimu dara sdh mati mengenaskan msk neraka lg ehh mantan ttp bahagia ngenes ga tuh km..semangat dara pasti km dpt penggantinya yg LBH baik dr mantanmu itu🙂🙂
2024-07-10
2
Anonymous
keren
2024-05-06
1
Abi Zar
keren Thor ceritanya...lanjutkan Thor ..oh ya jangan lupa mampir di novelku juga ya Thor,masih pemula nich
2024-04-02
0