HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!!!
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Dara... maaf, aku tidak bisa menikahimu." Ucap seorang pria.
"A-ada apa ini? Apa maksudmu, Mas Roni?"
Wanita yang sudah memakai kebaya putih itu, seperti disambar petir di siang bolong, saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut pria yang dicintainya.
"Dara, maafkan aku. Aku sangat mencintai Ratu. Aku tidak bisa menikahimu." Akui Roni sambil menggenggam tangan wanita yang berada di sampingnya.
"Maafkan aku, Dara. Aku juga mencintai Roni. Kami saling mencintai." Ratu ikut menimpali. Ia membalas genggaman tangan Roni dengan erat.
"A- a- i-" Dara tidak bisa bicara. Hatinya begitu sangat hancur. Pria yang dicintainya dan sahabat baiknya sendiri, ternyata bermain api di belakangnya selama ini.
Setelah mengatakan hal penting tersebut, Roni dan Ratu saling bergandengan tangan pergi meninggalkan aula pernikahan itu. Tanpa peduli pada apapun. Termasuk perasaan Dara.
"Mas Roni... Mas Roni... kau tidak boleh begitu!!! Kalian tidak boleh seperti ini padaku!!!! Kenapa kalian begitu tega padaku? Apa salahku? Kenapa kalian melakukan ini?!" Dara menangis sambil terduduk di lantai. Kakinya yang gemetaran sudah tidak sanggup menopang tubuhnya.
Hari ini, hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Dara. Mendadak berubah menjadi hari yang sangat menyakitkan.
"Mas Roni!!! Mas Roni!!! Mas Roni!!!" Dara menangis memanggil calon pengantin pria yang telah pergi bersama sahabatnya.
"Mas Roni!!!" Dara tersentak bangun dari tidurnya. Nafasnya kini terasa sesak dengan hati yang bergemuruh. Ia mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya.
'Kenapa mimpi itu lagi?!' Dara menghembuskan nafas sambil bangkit dari tempat tidur.
Sudah 5 tahun berlalu, setelah kejadian yang menyakitkan dan memalukan itu. Di mana Dara ditinggalkan tepat di hari pernikahannya. Hari di mana ia akan menikah dengan Roni, kekasih tercintanya. Yang malah pergi dengan selingkuhan berkedok sahabat baik itu.
Glek...
Glek...
Glek...
Dara menenggak air dingin dalam lemari es, satu botol minum itu sudah ludes. Mendinginkan hatinya yang sempat panas. Karena kembali mengingat hari yang dianggapnya hari tersial tersebut.
"Masih jam 2. Tidur lagilah!" Dara pun melangkah kembali masuk ke kamarnya.
Pagi pun menjelang, Dara sarapan dengan Ayah dan Bundanya.
"Kamu temui saja dulu, nak." Bujuk Bunda pada putri semata wayangnya.
"Dara nggak sempat, Bun." Tolak Dara halus.
"Nanti saat kamu libur. Anaknya baik kok. Kenalan saja dulu, berteman-"
"Dara pergi ya Yah, Bun. Sudah terlambat." Dara menyalami kedua orang tuanya. Ia kabur untuk menghindari pembahasan itu.
Bundanya sering sekali menyomblangi-nya dengan anak dari teman-temannya. Dara sangat malas berhubungan dengan pria lagi.
Ya, bagi Dara. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercaya. Ucapan manis dengan kenyataannya tidak ada yang sama, 100% omong kosong belaka. Dara sudah trauma berteman atau menjalin hubungan dengan pria.
"Sudah, Bun. Biarkan saja! Dara masih butuh waktu." Ucap Ayah setelah melihat putrinya pergi.
"Butuh waktu sampai kapan, yah?" Bunda menatap suaminya dengan mimik wajah serius.
"Sudah 5 tahun! 5 tahun yah, setelah kejadian menyakitkan dan memalukan itu." Bunda kembali mengingat kejadian di hari itu.
"Dara harus membuka hati kembali, Yah. Ia tidak boleh terus menutup dirinya!" Hati Bunda mulai sedih.
Pasca ditinggal di hari pernikahannya, Dara tidak pernah mau dekat atau menjalin hubungan kembali dengan pria manapun. Bahkan untuk berteman dengan seorang pria saja, Dara langsung membangun tembok tinggi yang sangat kokoh.
Sebagai seorang ibu, Bunda tidak ingin putrinya terus seperti itu. Kini usia Dara sudah tidak muda lagi. Sudah menginjak di usia 30 tahun. Para tetangga sudah menggosipkan putrinya yang seorang perawan tua.
"Bun, biarkan saja dulu. Putri kita masih trauma." Ayah membujuk Bunda. Ia mengerti kekhawatiran istrinya. Tapi, ia juga mencoba memahami putrinya. Pria yang sudah semakin tua itu, tidak ingin melihat Dara menangis lagi. Dan disakiti oleh pria.
Ayah yakin, suatu hari pasti akan ada pria yang bisa mencintai putrinya setulus hati. Bukan seperti mantan calon menantunya itu.
Pernikahan yang batal kala itu, sangat menorehkan luka di hati putrinya. Dara selalu menangis histeris sampai beberapa hari. Bahkan yang lebih parah, Dara sudah sering mencoba untuk bunuh diri. Berniat mengakhiri hidup untuk selama-lamanya.
"Dara... turun ya, Nak." Ayah membujuk Dara yang sudah berdiri di tembok pembatas gedung.
"Tidak, Ayah. Biarkan saja Dara mati!" Ucap Dara dengan Wajah bersimbah air mata yang begitu menyayat hati yang melihat.
"Jangan begitu, sayang!" Ayah masih mencoba membujuk. Selangkah mundur saja, putrinya itu akan jatuh dari gedung berlantai 5 ini. Ia harus pelan-pelan membujuk sang anak.
Bunda yang berada tidak jauh dari putrinya, tak kuasa melihatnya. Merasa sesak dan takut melihat anaknya yang akan nekad. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri. Suaminya itu mencoba untuk mendekati putri mereka.
"Jangan halangi Dara, Ayah!" Dara masih bersikeras akan melompat.
"Kamu nggak sayang lagi sama Ayah?" lirih Ayah berucap.
Dara terdiam. Hatinya berdesir melihat Ayahnya yang sudah berlinang air mata. Ayahnya adalah seorang pria. Tapi, saat ini menangis hanya karena dirinya.
"Biarkan saja aku mati. Aku mau mati! Ayah, biarkan Dara mati saja! Hu... huu... hu..." Dara menangis histeris saat Ayah menarik dirinya turun dari tembok pembatas tersebut.
"Tenanglah, Nak. Tenang ya, sayang!" Ayah memeluk putrinya erat. Ia tak akan melepaskan Dara lagi.
"Ayah, biarkan aku mati!!!"
"Nak, kamu nggak sayang sama Ayah lagi? Kamu mau meninggalkan Ayah sama Bunda? Bagaimana Ayah bisa hidup tanpa kamu, Nak?!" Melihat putri terkasihnya bersikap seperti itu, membuatnya sangat sedih.
"Kamu tega meninggalkan Ayah. Kamu nggak sayang lagi sama Ayah? Kamu jangan seperti ini, Nak. Kamu masih punya Ayah. Kamu masih punya Ayah dan Bunda. Tolong jangan buat Ayah takut lagi, Dara..." Jelas Ayah sambil menangis. Ia ingin Dara mengerti, bahwa putrinya tidak sendiri. Masih ada Ayah dan Bunda di sisinya.
"A-ayah..." Dara yang masih menangis terisak-isak itu pun memeluk Ayahnya dengan erat. "Ma-maafkan Dara, Ayah. Maafkan Da-Dara."
Dara sangat menyesal. Karena rasa sedih dan sakit hatinya. Ia malah melupakan Ayah dan Bundanya. Melupakan perasaan kedua orang tuanya. Orang yang paling kehilangan dirinya adalah kedua orang tuanya. Mereka pasti yang akan sangat sedih dan terpukul dengan pikiran dangkalnya ini.
Bunuh diri bukanlah akhir dari segalanya. Dara seharusnya tidak berpikiran seperti itu. Ia seharusnya memikirkan bagaimana perasaan kedua orang tuanya.
Batal pernikahan itu saja, masih menjadi buah bibir para tetangganya. Ayah dan Bunda mungkin sudah tutup telinga, atau tak mau ambil pusing dengan gibahan mereka.
Dan bagaimana lagi jika ditambah dengan niatnya untuk bunuh diri?
Bagaimana Ayah dan Bundanya menghadapi semua ini?
Kenapa ia jadi membuat kedua orang tuanya merasakan kesakitan?
"Ayah... Bunda... Tolong maafkan Dara. Tolong maafkan Dara. Maafkan Dara..."
Ayah menghembuskan nafasnya berkali-kali mengingat saat putrinya yang begitu nekat. Dan syukurnya setelah hari itu... Dara tidak pernah mencoba mengakhiri hidupnya lagi. Putrinya perlahan mulai bangkit melawan keterpurukannya.
Dara, putri kesayangannya bisa tersenyum dan tertawa bahagia saja. Ayah sudah sangat bersyukur.
.
.
.
"Kak Dara!"
Dara yang sedang berjalan di lobi sebuah perusahaan menoleh ke arah suara. Terlihat seorang wanita berlarian kecil menghampirinya.
"Kak Dara... Lihat ini!" Ucap Eka menunjukkan jari manisnya yang melingkar sebuah cincin.
"Wah... Apa kau dilamar?" Tanya Dara dengan wajah bertanya.
Eka mengangguk pelan. "Iya, dia melamarku tadi malam. Dan dalam waktu dekat ini, aku akan menemui orang tuanya." Ucap Eka dengan wajah berbinar.
Dara agak bingung. Temannya belum lama ini baru menjalin hubungan. Apa sudah seserius itu? Cepat sekali!
"Selamat ya. Semoga lancar tanpa hambatan sampai ke pernikahan." Doa Dara dengan tulus. Ia menepis pikiran negatif yang tadi sempat singgah.
"Kak, mau ku kenali sama temannya nggak?" Eka menawarkan.
Dara menggeleng dan kembali melangkahkan kaki.
"Kak Dara... Ayolah!" Eka menyusul temannya yang sudah menjauh itu.
"Aku nggak suka pria, Ka."
"Tapi kakak suka laki-laki, kan?!" Ledek Eka. Dara selalu menolak, jika ia ingin mengenalkan teman dari kekasihnya.
Dara sudah berada di meja kerjanya. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum memulai pekerjaannya.
"Hei... perawan tua!!!"
Dara berpura-pura tidak mendengar. Atasannya itu selalu memanggilnya begitu. Entah apa faedah buatnya.
"Hei... Saya memanggil kamu. Kenapa kamu tidak menyahut?" Bu Upik mendatangi meja Dara. Ia melipat tangannya di dada. Menatap tajam Dara.
"Oh... kapan Ibu memanggil saya ya?" Tanya Dara bersikap biasa. Seolah tidak mendengar wanita itu tadi memanggilnya.
"Perawan tua. Saya memanggil kamu seperti itu!" Cibirnya.
"Sepertinya mata anda bermasalah, Bu. Nama saya Dara Natasha bukan perawan tua." Balas Dara menunjukkan name tag-nya.
Hal tersebut membuat Bu Upik makin kesal dan rekan kerja yang mendengar menahan senyum.
Bu Upik, kepala bagian di devisi keuangan yang terkenal sangat cerewet. Atasan mereka itu suka sekali mencari masalah dengan Dara. Jika rekan kerja akan membela, wanita dengan lipstik merah yang begitu cetar akan mengancam memecat mereka.
Mau tidak mau rekan kerjanya hanya diam saja. Tapi mereka cukup senang. Dara selalu bisa menjawab perkataan atasan mereka tersebut. Dara selalu membalas dengan tenang, tapi mampu membuat Bu Upik jadi kesal minta ampun.
"Kamu!!!" Bu Upik menunjuk Dara tidak senang. Dan Dara bersikap biasa saja ditunjuk seperti itu.
"Apa ada yang mau ibu katakan?" Tanya Dara masih tenang. Walaupun dalam hatinya, ia ingin sekali mengajak wanita bertubuh gempal itu untuk bergelut.
"Bawa laporan yang semalam saya suruh kamu kerjakan!" Pinta Bu Upik masih dengan mata tajam. Ia pun pergi meninggalkan Dara dan masuk ke ruangannya.
"Kak, sabar ya." Bisik Eka menepuk pundak Dara. Ia ingin membela temannya. Tapi takut dipecat. Bu Upik bekingnya manajer di perusahaan ini. Jadi mudah saja memecat mereka jika tidak senang.
Dara hanya tersenyum dan mengambil laporan yang disuruh wanita itu. Lalu berjalan menuju ruangan Bu Upik.
Setelah batalnya pernikahan dan kejadian Dara yang berniat bunuh diri. Orang tua Dara memutuskan untuk pindah. Hal itu dilakukan agar Dara, tidak terus-terusan mengingat kejadian itu, karena mulut tetangga yang sangat berbisa.
Keluarga Dara pindah ke luar kota. Di tempat baru, tidak ada yang tahu perihal pernikahan Dara yang pernah batal.
Dan di perusahaan tempat Dara bekerja juga, tidak ada yang tahu tentang masa lalunya Dara. Mereka hanya tahu perihal Dara yang tak kunjung menikah, meski usia sudah tidak muda lagi.
Jika Bu Upik tahu tentang pernikahannya yang pernah batal. Tah seperti apa lagi cibiran wanita itu padanya.
\=\=\=\=\=\=
Dara turun dari kenderaan umum. Ia lalu berjalan memasuki gang rumahnya.
Di sore yang masih sangat cerah, dengan semilir angin yang menyejukkan. Terlihat banyak tetangga rempong yang sedang menggosip di teras rumah.
Dara berjalan santai sambil memberi senyum tipis. Namanya juga tetangga, ia harus tetap menyapa, bukan?
"Wanita karir baru pulang."
"Kerja terus kapan nikahnya?"
"Uang dicari... nggak dibawa mati loh!"
Dara tidak menanggapi, ia terus berjalan menuju rumahnya saja. Ia sudah kebal menjadi objek gibahan di gang tersebut.
Jika Dara sudah menanggapi. Ia jadi menyusahkan kedua orang tuanya. Tetangganya pernah dilarikan ke rumah sakit, karena kalah bergelut dengan dirinya. Kalau sudah bergelut, Dara bisa gelap mata. Dan tidak sadar sudah memelintir tangan tetangganya itu sampai tulangnya bergeser.
Dan karena itu juga, mereka diusir dari daerah tersebut. Dan pindah di tempat yang sekarang ini.
Dara tidak mau kedua orang tuanya kesulitan lagi karenanya. Makanya ia lebih memilih diam dan seakan budek dengan ucapan nyinyir mereka.
"Bunda... Dara pulang!" Ucapnya ketika memasuki rumah. Ia segera menuju dapur untuk mengambil air dingin dalam lemari es. Mendinginkan hatinya kembali.
"Dara... Ayo cepat mandi!" Bunda mendorong sang putri masuk ke kamarnya.
"Dara lapar, Bunda." Dara ingin makan baru setelah itu mandi.
"Sudah mandi dulu sana!!!" Bunda tetap memaksa untuk mandi.
Tak lama setelah mandi, Dara ke dapur. Ia mengambil piring. Perutnya sudah keroncongan.
"Nanti saja makannya." Bunda datang dan mengembalikan piring yang dipegang Dara ke rak piring. Lalu menggeret Dara ke luar rumah.
"Ada yang mau Bunda kenali sama kamu. Dia ponakannya tante Meti."
Ternyata Bunda menyuruhnya mandi, karena ada maksud. Menyomblanginya.
"Bunda... Dara nggak mau. Dara lapar mau makan." Wanita itu akan kembali ke dapur.
"Dara, ayolah Nak! Ayah dan Bundamu sudah makin tua. Kami hanya ingin ada yang menjagamu nantinya!" Bunda memelas pada putrinya. Demi kebahagiaan Dara, Bunda memasang wajah sedih.
"Bunda..." Dara sedih melihat wajah Bunda. "Baiklah, Bun. Hanya mengobrol saja, kan? kalau nggak cocok sama Dara, Bunda jangan memaksa!"
Dengan cepat Bundanya mengangguk. Ia cukup senang, Dara mau menurutinya.
"Dara... Kenali ini Imam, ponakan tante. Dan Iman, ini Dara tetangga sebelah." Tante Meti mengenalkan mereka.
Imam tersenyum senang. Wanita yang dikenalkan dengannya ternyata cantik. Ia pun mengulurkan tangannya.
Dara membalas uluran tangan Imam. Meski dengan terpaksa. Karena tampak Bunda tersenyum-senyum melihatnya dari depan pintu.
"Kalian ngobrol dulu ya. Tante mau ke rumah tetangga." Tante Meti meninggalkan mereka di ruang tamu.
"Kamu kerja di mana?" Tanya Imam ingin tahu.
"Perdana Group." Jawab Dara seadanya. Ia sangat lapar, Bunda tidak mengizinkannya makan terlebih dahulu.
Imam mengangguk. "Kalau boleh tahu, umur kamu berapa?
"30."
"30?" Imam memastikan kembali.
Dara mengangguk.
"Kamu becanda. Mana mungkin!" Imam tidak percaya. Wajah Dara tidak terlihat seusia itu. Seperti baru berusia 25 tahunan. Sebaya dengannya.
"Untuk apa aku becanda denganmu?! Aku sedang menjawab pertanyaanmu!" Tegas Dara. Ia sedang tidak berbasa basi.
Pria itu tertawa, ia tidak menyangka wanita di hadapannya sudah berusia jauh di atasnya.
"Maaf, sebelumnya. Aku mencari wanita yang sebaya denganku atau di bawahku. Bukan perawan tua!!!" Ucap Imam kesal. Ia tadi merasa cocok dengan Dara, tapi ternyata wanita cantik itu sudah berumur.
"Di usia sepertimu ini, tingkat kesuburan sudah berkurang. Bisa-bisa aku tidak memiliki anak, jika menikah denganmu!" Imam menggeleng, ia tidak mau hal itu terjadi.
"Hei!!! kau kira aku mau dengan anak bau kencur seperti dirimu?!" Dara pun membalas. Pria itu mulutnya sangat lancip.
"Apa katamu?" Imam tidak senang. Usianya sudah 25 tahun dibilang anak bau kencur. Ia sangat tidak terima.
"Anak bau kencur!!! Apa perlu ku ulang lagi?!" Dara bangkit dari duduknya. Menatap kesal pria yang lebih muda darinya itu.
"Kencing belum lurus saja, sudah belagu!!!" Setelah mengatakan itu, Dara pun pergi.
"Kau!!! Dasar!!!"
.
.
.
"Dasar anak kurang ajar, berani-beraninya mengatai anakku!" Bunda tampak emosi, setelah mendengar cerita Dara tentang pria ponakan tetangga sebelah.
"Bun, sudahlah... biarkan saja!" Dara menahan Bunda.
"Lepasin Bunda, Dara!!! Masih di sana anak itu kan?" Bunda akan melabrak pria yang berani mengatai anaknya. Ia saja tidak pernah mengatakan hal buruk pada Dara. Lah ini, anak kemarin sore. Lancip sekali mulutnya itu.
"Biarkan saja, Bun." Dara menggelengkan kepala. "Nanti tetangga pada heboh loh, Bun!"
Bunda pun jadi diam. Benar kata Dara, jika dilabrak. Satu kampung pasti akan heboh. Mereka bisa jadi hot news di gang tersebut.
"Kamu nggak apakan, nak?" Bunda mengelus kepala putrinya. Ia jadi khawatir. Perkataan buruk bisa mempengaruhi mental seseorang.
Bukan karena Dara mentalnya tidak kuat atau terlalu terbawa perasaan dengan perkataan seperti itu. Tapi perkataan buruk, jika terus menerus terdengar dengan berbagai versi, bisa mempengaruhi pikiran juga.
"Dara baik-baik saja, Bunda." Wanita cantik itu memeluk sang Bunda. Selama ini Bunda dan juga Ayah yang selalu berada di sisinya. Yang selalu menyayanginya dengan setulus hati.
Kruk...
"Suara apa itu?" Bunda menaikkan alisnya.
"Dara lapar..." Tawanya.
"Ayo, kita makan. Bunda sudah masak ayam goreng kremes kesukaan kamu." Bunda menggandeng Dara menuju dapur.
"Memang Bunda Teope begete deh!"
"Apa itu?"
"Top banget loh, Bun!" Dara mengacungkan dua ibu jarinya.
Bunda jadi tertawa. Ada saja istilah anak-anak zaman sekarang.
\=\=\=\=\=\=
Dara berbaring sambil memandangi langit-langit kamarnya.
'Apa aku coba dekat dengan pria lagi? Kalau mereka sama seperti Roni?'
Masih ada ketakutan di hati Dara. Bagaimana jika nanti ia mencoba kembali serius dengan seorang pria. Lalu pria itu seperti Roni. Meninggalkan dirinya di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia.
Apa dia harus dua kali jatuh di lubang yang sama?
Tapi...
Melihat Ayah dan Bunda yang semakin bertambah usia. Ia tidak ingin kedua orang tuanya terus mengkhawatirkannya.
Dara bangkit dan meraih ponsel di atas nakas. Ia pun mendownload aplikasi pencari jodoh.
'Baiklah, kita coba saja!'
Setelah aplikasi berhasil terdownload, ia mengisi nickname.
"Hmm... Nama Tasha saja. Foto profil... apa harus fotoku?" Dara bingung.
Dara pun memilih foto kucing untuk profilnya.
Ting
Wanita itu terkejut. Sudah ada yang mengiriminya chat.
Rudiganteng: berapa?
Tasha: 30
Rudiganteng: 30 apa?
Dara merasa aneh. Pria ini bertanya tentang apa?
Tasha: 30 tahun
Rudiganteng: wkwkwk... bukan umur
Rudiganteng: 300 st
'Maksudnya apa sih?' Dara mencari di internet, maksud isi pesan tersebut.
'Astaga... Dasar pria kurang ajar!!! Dia kira aku mau jual diri?!'
Wanita itu pun memblokir pengirim chat tersebut.
Ting
Ada pesan masuk lagi.
Abimanyu: 2jt lt
Dara menghembuskan nafasnya kesal. Ia pun segera uninstall aplikasi tersebut.
Dara melempar ponsel ke tempat tidur. Ia pun berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Hari esoknya.
"Perawan tua!" Panggil Bu Upik mendatangi Dara. Dan seperti biasa, Dara mendadak budek.
"Dara, saya memanggil kamu!"
"Oh... ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya Dara sopan. Karena memanggil sesuai namanya, maka ia akan menanggapi.
"Mana lapo-"
Belum sempat Bu Upik bicara panjang, Dara meletakkan laporan di tangan wanita itu.
"Kertas per-"
Dan lagi Dara meletakkan apa yang wanita itu butuhkan.
"Ada lagi, Bu?" Tanya Dara santai.
Bu Upik mencibir, ia pun melihat hasil kerjaan Dara. Mencari kesilapan, untuk bisa memarahi wanita yang membuatnya selalu kesal.
Tidak menemukan masalah, Bu Upik pun pergi mendatangi anggotanya yang lain.
"Bu Upik." Panggil pak Manajer yang tiba-tiba datang.
"Pak Dirut akan kemari."
Bu Upik mengangguk mengerti. "Kalian semua dengar. Pak Dana, Direktur Utama perusahaan ini akan datang kemari. Rapikan penampilan kalian, jangan buat malu!"
Para karyawan merapikan penampilan mereka. Mereka harus tampil rapi, karena orang nomor satu di perusahaan itu akan datang.
"Mau apa pak Dirut?" Bisik Eka bingung.
Dara menaikkan bahunya tanda tidak tahu. Melihat langsung wajah Dirut itu saja ia tidak pernah.
Tak lama seorang pria yang sudah berumur berjalan masuk dengan istrinya ke ruangan itu.
Pasangan yang sudah berumur tapi masih tampan dan cantik, memberikan senyuman pada para karyawan di devisi tersebut.
Para karyawan pun berdiri di depan meja kerja masing-masing. Untuk menghormati atasan mereka tersebut.
"Terima kasih untuk para karyawan semua, yang telah bekerja keras di perusahaan ini..." Pak Dana berpidato sejenak.
"Kedatangan saya dan istri saya. Untuk mengundang semua karyawan Perdana Group, agar meluangkan sedikit waktu untuk menghadiri pernikahan putra saya." Pak Dana mengundang para karyawannya secara langsung.
"Pada datang ya. Saya dan suami saya menunggu kehadiran kalian semua!" Istri Pak Dana ikut menimpali dengan senyum merekah.
Para karyawan dengan semangat menjawab. Mereka senang diundang langsung oleh atasan mereka.
"Terima kasih semuanya. Saya dan istri harus pergi. Kami mau mengundang karyawan yang lain." Pamit Pak Dana.
Mereka menundukkan kepala saat Pak Dana dan istrinya undur diri.
"Kak... Pak Dana baik banget ya. Jarang ada atasan seperti itu. Padahal sudah mengundang kita secara online. Masih juga menyempatkan mengundang secara langsung." Ucap Eka sangat salut.
"Biar lebih afdol!" Timpal Dara kembali.
"Kak... Kita harus datang. Nanti sore kita beli baju yuk. Kita harus tampil wah di pesta itu. Pesta orang kaya nih!" Eka sangat antusias.
Setelah jam kantor berakhir, Dara dan Eka pergi ke Mall. Eka ingin membeli dress untuk dipakai di pesta pernikahan anaknya pak Dana.
"Kak... ini cocok sama aku, kan?" Eka menunjukkan dress berwarna krim.
"Cocok." Dara mengangguk.
"Nggak cocok, kak!" Eka mengembalikan ke gantungan.
"Kenapa?"
"Harganya nggak cocok. Kita cari yang murah saja yuk!"
Mereka keluar dari butik dress tersebut. Mencari butik dress lain yang harganya miring.
"Kakak nggak beli?" Tanya Eka setelah meninting satu bungkusan berisi dress.
"Nggak, Ka. Masih ada. Pakai yang lama saja."
Eka mengangguk. Ia pun mengambil ponsel di tasnya.
"Kak... kita makan dulu ya." Ajak Eka.
"Sudah mau gelap. Aku makan di rumah saja, Ka." Tolak Dara. Ia harus segera pulang.
Eka tetap memaksa dan menggandeng Dara ke sebuah kafe.
"Eka!" Panggil seorang pria sambil melambaikan tangan.
"Ka..." Dara melihati temannya itu.
"Sudah ayo, kenalan saja dulu!" Eka menggandeng Dara. Ia sudah merencanakan, akan memperkenalkan Dara dengan teman kekasihnya.
"Eka... aku tidak mau!!!" Dara masih menolak.
Eka membawa Dara menghampiri kedua pria yang berada di sana.
"Kenali ini Abi temanku. Dan Ini Dara temannya Eka." Imran memperkenalkan mereka.
Dengan terpaksa Dara berkenalan dengan Abi.
"Eka!!!" Bisik Dara kesal. Eka mendorongnya untuk duduk di samping Abi. Eka sangat senang dengan percomblangan tersebut.
'Cantik juga ini cewek.' Batin Abi melihat wanita di sampingnya.
'Masa sih umurnya 30? Tapi tidak masalah sih. Bisa dipakai nih!'
Pria itu tersenyum manis pada Dara. Dan Dara terpaksa membalas dengan tersenyum tipis.
'Kok merinding aku ya?!'
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!