Kediaman Li San, Hongkong.
Xin Er tengah membersihkan perabotan di kamar Liang Jia. Kendati sudah mendapat keistimewaan dari nyonya besar, ia tetap bersikukuh mengerjakan pekerjaan rumah khusus untuk kamar majikannya. Semenjak utusan tuan
besar datang menyampaikan pesan, Liang Jia belum juga kembali. Xin Er tidak diperbolehkan mengawal lantaran ada pertemuan pribadi antara Liang Jia dan suaminya. Ia pun menyibukkan diri sembari menanti nyonya besar pulang.
“Uhuk uhuk…” Batuk Xin Er semakin intens mengganggu. Terkadang bila kumat, ia kesulitan mengambil napas. Diletakkannya kain lap basah ke atas ember. Tubuhnya disenderkan ke dinding demi menopang tubuh rentanya. Ia masih belum menguasai diri akibat batuk yang tak kunjung berhenti.
Pintu kamar terbuka, Liang Jia segera memapah Xin Er berpindah duduk ke kursi. Ia mempercepat langkah saat mendengar suara batuk di lorong menuju kamarnya. “Kau jangan membantah lagi, batukmu harus segera diobati. Aku akan memanggil dokter Lu untuk memeriksamu.”
Xin Er menutup mulutnya dengan sapu tangan, tenggorokannya sangat gatal hingga terus memancing batuk. Ia menggelengkan kepala sebagai isyarat jawaban kepada Liang Jia.
“Li San memanggilku tadi untuk membahas tentang Li Mei, anak sulungmu.”
Xin Er terperanjat mendengar nama darah dagingnya disebut. Batuknya berhenti sejenak saking terkejut. “Li Mei? Ada apa dengannya?” Jemari Liang Jia digenggam erat oleh Xin Er. Sorot matanya penuh rasa iba dan berkaca-kaca.
“Anak itu sudah cukup dewasa sekarang, saatnya ia siap menikah. Aku berusaha membujuk Li San untuk memulangkan dia dan mencarikan jodoh yang tepat. Semula ia menolak keras, namun aku menjadikan Xiao Jun
sebagai pertimbangan. Atas semua sikap baik dan patuh Xiao Jun selama ini, ia akhirnya menyetujui.” Liang Jia memang secara diam-diam memikirkan nasib keluarga Wei. Beban pikiran itu terus ia bawa sejak kematian Wei, ia merasa harus menebus rasa bersalahnya dengan melindungi keluarga Wei. Dan kesempatan mulai berpihak kepadanya sedikit demi sedikit Li San mudah luluh asalkan Xiao Jun yang dijadikan alasan.
“Benarkah tuan mengijinkannya pulang? Aku bisa bertemu anakku lagi?” Xin Er mulai menangis haru, kerinduan yang tertahan selama sepuluh tahun mulai memercik.
Liang Jia mengangguk mantap, seulas senyum ia sunggingkan. “Kau harus sembuh. Li Mei pasti sedih melihat kondisimu sekarang.”
“Terima kasih banyak Nyonya besar.” Xin Er menangis bahagia sembari berlutut mengutarakan rasa terima kasih.
***
Ada pepatah yang mengatakan jika ingin mencapai kesuksesan terkadang harus berani melakukan pengorbanan, termasuk korban perasaan. Kira-kira seperti itulah yang dihadapi Weini saat ini. Di setiap langkah kakinya mulai dari gerbang sekolah, halaman, koridor hingga di dalam kelas, puluhan pasang mata terus menyorotinya. Tak sedikit pula yang berbisik membicarakannya. Weini melempar tas di atas meja disusul dengan tubuh yang ia hempas menyandar kursi. Menghadapi sorotan negatif sangat menguras tenaga. Tubuh Weini terasa hangat lantaran energi positifnya berbenturan dengan aura negatif di sekeliling. Hanya orang peka yang bisa merasakan dan Weini memang salah satunya.
“Wei Wei…” Sisi tergesa-gesa menghampiri Weini ketika ia tiba di kelas. Berbagai ekspresi terlihat dari raut wajah ovalnya.
“Oh my dear, gue nggak nyangka lu bakal bikin surprise. Lu sekarang artis? Jadi lawan main idola gue si Steven. aaarrghhh… gue ngiriii!” Sisi bergelanyut di lengan Weini dan tak menghiraukan betapa canggungnya Weini atas perlakuan itu.
“Sejak kapan namaku jadi Wei Wei? Jangan ngasal ubah nama orang dong.” Ujar Weini gemes. Tingkah Sisi makin menarik perhatian siswa lainnya.
“Hehe itu panggilan sayang gue ke elu. Boleh dong gue minta tanda tangan dulu sebelum lu makin tenar, susah ngantrinya.” Sisi mengeluarkan buku tulis dan pulpennya. Ia sungguhan menyodorkan alat itu ke Weini.
“Apaan sih kamu.” Weini geleng-geleng kepala. Ia raih pulpen Sisi kemudian mencoret sebuah kata. Miss bawel.
“Ih, kok gitu sih. Yang bener dong tanda tangannya. Lu kan artis!” teriak Sisi sebel.
Teriakan kesal Sisi ternyata mengundang kekesalan yang lebih dasyat dari musuh bebuyutan mereka. Metta dan gengnya menatap Weini dengan sentimen yang dalam. Ia bahkan sengaja menendang kursinya sebagai bentuk
protes. “Ada yang lagi sok ngartis. Cih… cuman main sinet alay gitu, apa yang mau dibanggain ya guys?”
Tawa Metta terdengar maksa, ia sengaja melengkingkan suara tawa sembari melirik kedua temannya untuk ikut tertawa. Kedengkian dan benci kian membuncah hingga terasa di ubun-ubun. Ia terlampau gengsi mengakui
kehebatan Weini.
“Daripada lo pada. Bisanya jadi drama queen di kelas. Kemana-mana bertiga kayak bebek ama induknya. Kayak gitu lo bilang ngebanggain? Cih…” Sisi auto jadi jubir Weini. Sebagai fans baru, ia enggan mendengar idolanya dicaci maki.
“Udah Si, biarin aja entar juga capek sendiri.” Weini melerai cekcok dua gadis bermulut bawel itu. Sisi yang sudah berdiri dengan posisi siaga pun ditarik kembali duduk.
“Eh… asal lu tahu ya, jadi artis kayak gitu gue juga bisa. Bahkan bisa lebih sukses dari dia.” Metta menyombongkan diri lagi.
“Kalau gitu buktikan aja, Met. Percuma kamu koar-koar doang kalau nggak ada bukti.” Skakmat dari Weini.
Metta kehabisan kata-kata. Jika diminta bukti, maka ia harus berupaya keras membujuk ayahnya yang kaya untuk mewujudkannya. “Tunggu tanggal mainnya!” Ujar Metta sembari membuang muka. Lu liat aja ntar, gue gak bakal biarin lu di atas gue. Yang ada, gue yang selalu nginjek lu.
***
Secangkir teh pahit masih mengebulkan uap tertata di hadapan Xiao Jun. Ia masih belum menyentuh cemilan sus kering yang dibawakan Lau sejak pagi. Jam makan siang hampir selesai namun Xiao Jun tetap setia berkutat dengan pekerjaan.
“Tuan muda, silahkan istirahat sejenak.” Lau menghampiri Xiao Jun untuk mengingatkan waktu.
“Ah Paman Lau, kau kembali . Sudah ada kabar baik?” Xiao Jun mengalihkan topik. Perutnya yang sensitif
masih enggan menerima suplai makanan.
Lau membungkuk hormat. “Sudah Tuan. Tetapi sebelum saya cerita, mohon tuan makan dulu.”
“Hmm baiklah.” Xiao Jun tidak mau membuat orang yang lebih tua memohon terus kepadanya, ia memilih mengalah dan menyeruput secangkir teh. “Jadi berita baik apa yang ingin kau sampaikan?”
“Ini mengenai kakak pertama anda, Tuan.”
Xiao Jun menegakkan punggungnya kemudian mengkode Lau untuk lebih mendekat. Lau mengambil posisi duduk berhadapan dengan meja kerja sebagai pembatas.
“Menurut laporan mata-mata saya, Kakak pertama tuan masih berada di kota terpencil. Ia bekerja sebagai tour guide di sana. Sedangkan kakak kedua anda belum menuntaskan pendidikan akhirnya di sana juga. Mereka
dalam keadaan baik.”
Xiao Jun meletakkan cangkir ke tatakannya. Ia terlihat sangat lega, setidaknya Li San tidak menyulitkan hidup saudaranya meskipun dengan status pesakitan. “Syukurlah.”
“Masih ada kabar baik kedua Tuan. Anda masih ingin mendengar?” Lau terlihat mulai antusias dengan kabar yang satu ini.
“Silahkan!” Pinta Xiao Jun tegas.
“Ehem… Tuan, Saya sudah tahu di mana alamat rumah nona Weini.”
***
PERTANYAAN UNTUK PEMBACA:
APA YANG AKAN XIAO JUN LAKUKAN KETIKA TAHU RUMAH WEINI?
A. PERGI MENGAJAK KENCAN
B. JADI PAPARAZI
C. NGGAK MAU NGAPA-NGAPAIN
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Oi Min
Terkedjuod liat Wei......bapak e Jun
2021-10-31
0
нιяαєтняα ᰔ
D. terserah aja hehe
2021-02-15
1
Novelable uwwu
d.pengen tau ajah
2021-02-01
0