Terkadang hidup tidak memberimu banyak pilihan. Kamu bisa mundur, maju, atau bertahan. Saat ini yang bisa kulakukan hanya pilihan terakhir, bertahan!
“Penjaga Wei… Kau kembali?”
Seorang pria berwajah asing membungkukkan tubuh kemudian menjulurkan tangan kepada Yue Hwa. Senyumnya
memancarkan aura baik, memberi rasa nyaman kepada gadis kecil di depannya. Namun sebelum uluran tangan itu disambut, Yue Hwa sudah tidak sadarkan diri. Pria itu sigap mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukan dan membawanya beranjak dari tempat yang dingin itu.
***
“Ibu, dress hanfu ini bagus sekali, aku sangat menyukainya.”
“Iya, sangat cocok untukmu. Kau bisa memakainya saat festival bulan”
Suara tawa yang khas dari ibu, harum tubuhnya yang membuat rindu. Yue Hwa memeluk erat ibunya,
dekapan yang tidak akan terpisahkan oleh apapun, sampai sebuah tangan berurat besar menarik tubuhnya. Ia terhempas hingga terpisah jauh dari ibunya.
“Ibu…..” teriakan Yue Hwa membangunkannya. Rupanya hanya mimpi. Mungkin rasa rindu terbawa ke alam
mimpi. Ia mengucek mata, penglihatan yang kabur perlahan terlihat jelas.
“Nona sudah bangun” pria paruh baya dengan setelan kemeja lengan panjang formal memberi sapaan
akrab.
“Kamu siapa?” kesadaran Yue Hwa belum sepenuhnya kembali, mungkin separuh nyawanya sedang dalam loading.
“Perkenalkan, saya adalah jelmaan Wei Ming Fung. Mulai saat ini akan melindungi nona sampai akhir
hayat.” Pria itu tersenyum menggoda majikan kecilnya yang terlihat belum mengerti keadaan yang sebenarnya.
“Sama seperti nona yang telah berubah penampilan, saya juga telah melakukan perubahan demi keselamatan
kita bersama. Nona, saya adalah pengawal Wei.” Wei memberi hormat kepada Yue Hwa, badannya membungkuk separuh dengan kedua tangan tegak di samping badan.
Yue Hwa tidak menghiraukan formalitas itu, ia langsung menghambur memeluk Wei. “Kau kembali… aku sangat senang!” ia menangis haru, akhirnya ia tidak sendiri di dunia yang keji ini.
“Kenapa kau lama kembali? Aku.. aku.. takut kau mati.” Yue Hwa mulai terisak.
“Akan saya ceritakan nanti, nona pasti lapar. Mari kita cari makanan dan lanjutkan perjalanan.” Wei menuntun
jalan. Tidak membuang waktu adalah hal tepat saat ini.
Semangkuk mie pangsit mengepulkan uap panas, aromanya menggetarkan seisi perut Yue Hwa yang sudah
melilit kelaparan sepanjang malam. Terakhir ia mengisi perut kemarin pagi dan menjadi sarapan terakhir bersama orang-orang yang ia cintai, namun tidak mencintainya. Tak sabar menunggu mie di hadapannya dingin, Yue Hwa bergegas melahapnya dengan sumpit kayu.
Wei tersenyum melihat kepolosan nona kecilnya. Kelak kepolosan dan kemanjaannya mungkin akan hilang beransur. Ia akan menjadi pribadi yang kuat dan bisa menjaga dirinya. Setidaknya itu harapan Wei, entah sampai kapan ia bisa melindungi nona berambut hitam lurus itu.
“Nona, setelah makan kita akan melanjutkan perjalanan ke bandara. Saya sudah menyiapkan keperluan dan identitas baru kita.” Wei mengeluarkan passport, tiket pesawat dan sejumlah dokumen lain yang tidak dipahami Yue Hwa.
“Kita kemana penjaga Wei?” Yue Hwa tidak berminat menyeruput mie lagi. Ia meletakkan sumpit di atas mangkok. Jarinya mengetuk pelan meja kayu, jeritan meja itu menyamarkan rasa cemasnya.
“Suatu tempat di mana kita bisa hidup tenang beberapa saat. Oh ya, setelah makan kita harus membuat kesepakatan identitas baru.” Wei membuka kedua passport, ia menunjuk foto identitas dalam buku itu.
“Itu bukan fotoku!” potong Yue Hwa. Ia lupa wajah barunya memang seperti itu.
“Nona, kesepakatan itulah yang harus kita perjelas. Mungkin nona belum terbiasa dengan wajah baru.
Satu hal lagi yang berubah, mulai sekarang nama nona adalah Weini. Dan silahkan panggil saya Pak Haris.”
“Pak Haris? Weini?” Yue Hwa memegang wajahnya, ia benar-benar lupa sudah merubah wajah. “Baiklah, aku
mengerti. Karena kita sudah berjuang untuk hidup, ayo teruskan perjuangan ini agar tidak mudah mati. Pak Haris, aku mengandalkanmu!” Yue Hwa mengangguk penuh hormat dan berterima kasih.
“Saya tidak akan berlaku formal kepada Nona, bukan bermaksud lancang namun untuk berjaga-jaga agar penyamaran ini aman. Nona harus bersikap biasa, saat pemeriksaan di bandara sebaiknya jangan panik. Saya sudah menyiapkan ini sejak lama dan ini saatnya menjalankan rencana.”
Yue Hwa mengangguk paham. Ia meneruskan makan, mungkin ini yang terakhir kalinya ia menyantap mie
di negaranya. Selebihnya hanya menjadi kenangan masa kecil yang kelam.
***
Sebuah taksi melaju kencang, membawa Weini dan Haris menuju bandara. Kesepakatan sudah dimulai
sejak semangkuk Mie pangsit habis disantap. Mereka akan menggunakan identitas baru dan berusaha tidak melakukan kesalahan. Namun Weini belum tahu kemana Haris akan membawanya pergi, bukan saat yang tepat untuk bertanya. Apalagi situasi belum aman, siapa tahu ada mata-mata dari ayahnya di sekitar. Segala hal terasa
mungkin, dan mereka tidak boleh lengah.
Lampu merah menyala di perempatan jalan, mobilpun berhenti. Gedung tinggi pencakar langit dan aktivitas lalu lintas serta pejalan kaki menjadi saksi betapa hampanya hati Weini. Inilah perpisahan yang tak terucap. Hongkong,
kau membuangku?
Jendela mobil diketuk dari luar, seorang bocah pengoper Koran menjajahkan dagangannya. Supir membuka
kaca dan membeli sebuah Koran, sebelum ia sempat membaca, lampu telah berganti hijau. Supir menawarkan Koran ke Haris kemudian ia bergegas melanjutkan perjalanan.
Haris melirik tulisan di halaman pertama Koran, ia cukup terkejut. Luar biasa dalam waktu 24 jam nona kecilnya berubah menjadi buronan. Ia menyodorkan pada Weini, sebuah kedipan mata mengisyaratkan agar si gadis tetap tenang.
Weini tak kalah terkejut, seantusias itu ayahnya memasang iklan kepada siapapun yang bisa menemukannya hidup-hidup dengan upah yang bernilai fantastis. 100 juta dollar, kau menghargaiku segitu ayah? Gumam Weini dalam benak. Bahkan harimau saja tidak akan memakan anaknya, namun ayahnya bisa. Apa ia pantas dipanggil ayah? Lain cerita dengan Wei yang tidak ada ikatan darah, namun mati-matian melindunginya hingga rela
merubah wajah serta meninggalkan keluarganya. Weini merasa Haris lebih pantas menjadi ayah dan menerima bakti darinya.
Laju mobil perlahan melambat hingga sepenuhnya berhenti. Bandara sudah di depan mata, Weini makin mantap bergegas meninggalkan Negaranya.
“Haris, sebelum pergi dari sini, tolong jawab satu pertanyaanku.”
“Silahkan” Haris tidak berlaku formal lagi, ia menjawab dengan nada datar.
“Di mana rumahku kelak?”
Haris tersenyum simpul, percuma menutupinya sekarang. Cepat atau lambat Weini pasti akan bertanya. Kau pasti tegar, Nona.
“Jakarta.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Silaazfa
ku kira cerita kerajaan.nm nya susah disebut
2022-09-06
0
Oi Min
Kok Wei msh hidup??? Trs kepala siapa yg di bawa ke keluarga Li?? Kasihan nasib anak istrinya Wei.....
2021-10-31
0
Marcelina Febriani
terus yg dipersembahkan ke li san itu kepala siapa??
2021-03-11
0