Hampir dua bulan tinggal di Jakarta nyatanya belum membuat Weini beradaptasi dengan cuaca. Musim kemarau panjang saja bisa membuatnya flu parah. Kondisi tubuhnya masih lemah membuat Haris tidak tega eninggalkannya sendiri di rumah. Terpaksa ia menunda niat mencari pekerjaan sampai majikannya sembuh total.
“Try to remember a kind of September when life was slow, and oh so mellow. Try to remember a kind of September when grass was green and grain so yellow. Try to remember the kind of September when you were a young and callow fellow. Try to remember and if you remember then follow…”
Haris memainkan gitar saat ia melihat Weini terlelap pulas setelah minum obat. Suara baritonnya sangat pas menyanyikan lagu nostalgia yang sendu itu. Tanpa ia sadari merdu suaranya telah membangunkan Weini, bahkan ia ikut menikmati alunan lagu hingga selesai dalam posisi berbaring santai.
Plok… plok… plok… Weini bertepuk tangan girang, saat itulah Haris menyadari ada yang menyaksikan
pertunjukannya. “Pak Haris mengapa kau baru menunjukkan bakat terpendammu? Eh, kapan kau beli gitar?” kegirangan Weini sekejab berubah bingung, apa ia tidur selama itu sampai-sampai tidak tahu Haris keluar membeli gitar.
“Padahal sudah berusaha pelan, rupanya tetap membangunkanmu. Tadi ada penjual barang bekas yang
menjajahkannya di depan rumah.”
“Lanjutkan nyanyinya Pak, aku ingin dengar. Lama tidak ada hiburan terasa jenuh, saat dengar suaramu
rasanya aku sangat bersemangat.” Bujuk Weini dengan memasang wajah polos.
Haris hanya tersenyum, moodnya untuk kembali bernyanyi belum sepenuhnya muncul. Wajah polos di
hadapannya pun tidak mempan membujuknya, namun ia punya ide untuk mengusir kebosanan Weini.
“Kau suka gitar? Bagaimana kalau aku mengajarimu?” kilah Haris mencoba mengalihkan permintaan
Weini.
“Sungguh? Aku maauuu…”
Weini melompat bangun saking bahagianya, ia belum pernah mempelajari alat musik yang satu ini.
Sewaktu masih menempati rumah lama, pelajaran musik yang ia dapatkan hanya piano dan kecapi. Ia hanya belajar segala hal yang bisa melatih sisi feminim agar menjadi putri bangsawan terhormat yang terpelajar. Sekarang tidak ada lagi yang membatasinya, ia bebas belajar hal menarik tanpa khawatir melanggar aturan keluarga.
“Kau harus belajar mengenal kunci dasar gitar sambil membiasakan jarimu.” Haris mulai mengarahkan
jemari Weini untuk menyentuh senar gitar.
Astaga, aku terbiasa mengajari Li Jun sampai terbawa perasaan dan mengajari Weini sesuatu yang lebih
pantas dilakukan anak laki-laki. Gumam Haris dalam hati. Ia mendadak dikerubuni kesedihan, mendidik Weini secara tidak langsung membuatnya teringat anak laki-lakinya. Ia belum sempat mengajari Li Jun bermain gitar, menguasai ilmu sihir, padahal ia sudah berniat mewariskan ilmu itu untuknya.
“Pak Haris, bolehkah aku bertanya?” Weini menyela lamunan Haris.
“Silahkan.”
“Aku ingin dengar cerita tentang anak laki-lakimu yang sebaya denganku. Bisa kau ceritakan?”
pinta Weini, cukup lama ia memendam rasa penasaran tentang keluarga Haris. Dan bagaimana nasib mereka sepeninggalan Haris bersamanya?
Haris tersenyum getir, cukup lama ia terdiam dalam sorot mata sendu. “Wei Li Jun. Ia berusia 7 tahun.
Lebih besar 1 tahun darimu. Ia terlalu cepat dewasa sebelum umurnya, pemikirannya tidak seperti anak seusianya. Saat aku libur, kami sering berkumpul di pekarangan rumah. Bermain layangan, membuat lentera, bermain
seruling. Ah…” Haris tidak mampu melanjutkan ceritanya. Semakin mengingat, semakin dalam ia melukai perasaannya sendiri.
“Maafkan aku Pak, aku membuatmu sedih. Aku tidak akan bertanya lagi.” Weini menunduk penuh
penyesalan.
Haris menggelengkan kepala, “Tidak. Ini bukan salahmu. Aku punya dua putri dan satu putra. Suatu
kebahagiaan bagiku memiliki putra seperti dia.”
“Bagaimana nasib mereka di sana? Pak Haris apa kau tidak bisa melakukan sesuatu untuk mendapatkan kabar
ibu dan keluargamu?” Weini merasa ilmu sihir Haris cukup tinggi, mungkin bisa mengandalkan cara itu untuk bertukar kabar. Namun Haris justru menggeleng kepala lagi, aura pesimis terpancar dari wajahnya.
“Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan Sihir.” Ia menunduk dalam, sedalam rasa kecewanya.
Suasana berubah hening, bahkan semilir angin saja bisa terdengar. Keduanya larut dalam pikiran sendiri,
meskipun bersama namun kesunyian mencengkeram mereka.
“Ah… ada sesuatu untukmu. Ku ambilkan sebentar.”
Haris beranjak dari duduk menuju meja di sudut ruangan. Sudah hampir dua bulan menempati rumah
kontrakan satu petak itu, namun Haris tak kunjung melengkapi perabotan. Hanya ada dua buah kasur single size, meja multifungsi tanpa kursi, alat masak, peralatan tidur, dan semua tersusun rapi dalam 1 ruang berukuran 4 x 8 meter. Ruangan minimalis itu bisa disulap seperti apartemen studio. Semua itu berkat sentuhan tangan
Haris yang jago.
Sebuah kantong plastik hitam berukuran besar Haris berikan kepada Weini. Ia memberi kode untuk segera
membuka isinya. Haris jamin nona kecilnya pasti sangat senang melihat apa yang ia berikan. Weini Nampak antusias dengan barang berbentuk kotak persegi yang dibungkus kertas kado.
“Ulang tahunku sudah lewat Pak.” Sebelum merobek bingkisan itu, Weini memastikan lagi dalam rangka
apa Haris memberinya kado.
“Anggap saja ini hadiah rumah baru. Bukalah!” Haris masih bisa menggoda Weini. Anak kecil memang polos,
namun kepolosan itulah yang membuatnya terlihat menarik.
Weini bergegas membongkar dengan hati-hati kado itu, ia takut merusak kertasnya. Mungkin akan
ia simpan kertas kado pink bermotif bunga sakura itu sebagai kenangan. Setelah melihat
hadiahnya, bibir kecil Weini membentuk huruf O.
“Wah Cermin…” ia berteriak girang sembari berpatut diri di depan pantulan wajahnya.
“Maaf baru sempat membelikanmu, padahal sudah lama kau minta cermin. Bagaimana penampilanmu?
Ya… Haris sering mendengar rengekan Weini memintanya membelikan sebuah cermin. Ia sangat
penasaran dengan wajah barunya. Semenjak wajah aslinya dilindungi topeng masker, ia belum pernah secara langsung melihat wajahnya. Weini memegang kedua pipinya, ia menatap lekat bentuk mata dengan lipatan kelopak mata yang besar, namun tidak bisa menyembunyikan bola mata coklatnya. Hidungnya terlihat lebih pesek daripada aslinya, bibirnya masih sama seperti yang didulu. Bentuk wajahnya lebih bulat daripada aslinya. Ia benar-benar terlihat seperti orang lain.
“Hmmm… sama seperti wajah di passport. Eit… tapi bagaimana kau melakukannya? Apa kau menyuruh orang
memakai topeng ini untuk difoto?” rasa penasaran menggelitik Weini untuk bertanya. Sifat aslinya yang suka kepo itu mulai muncul. Setelah ia bisa menerima kenyataan hidup, tidak ada alasan lagi untuk larut dalam kesedihan.
“Itu rahasia nona…”
Haris tertawa, ia ketagihan menggoda Weini. Ekspresi kesalnya tampak lucu di mata Haris. Sebenarnya ia membuat topeng masker itu khusus untuk Weini, dan sejak itu pula ia sudah menyiapkan semua keperluan agar bisa kabur dari Hongkong, termasuk memotret topeng eksperimen yang ia pakaikan ke patung. Namun
untuk membocorkannya ke Weini, rasanya masih terlalu cepat. Bagaimanapun juga Weini masih seorang anak kecil yang belum terduga perasaan dan logikanya.
Siang berganti senja, langit memerah kala matahari terbenam di ufuk barat. Haris melangkah keluar ke halaman belakang yang hanya sejengkal tanah. Dari saku celananya, ia mengeluarkan secarik kertas kuning berisi mantra. Ia memejamkan mata, merapalkan mantra-mantra kemudian kertas kuning itu terbakar tanpa disulut api.
Sesaat setelahnya, kedua matanya terbelalak, tangannya memegang dada dengan napas tidak teratur.
Masih sulit untuk menembus ke sana. Aku harus mencari cara lain untuk mengirim pesan kepada
Nyonya bahwa kami masih hidup.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Den Lina
semangat authorrrr
2021-02-10
0
Puan Harahap
seruuuu,
2020-09-20
0
TSABITAH
seruuuuu
2020-08-10
0