Hongkong, September 2004
Suara kecapi dengan alunan melodi menyayat hati terdengar dari kamar Liang Jia. Sebuah ruang yang
dipenuhi interior mewah, berhias perabot glamor yang dilapisi emas murni. Menyilaukan dipandang mata, namun terkesan suram bagi pemiliknya. Ia justru merasa kamar dengan segala kenyamanan yang tersedia itu seperti penjara. Sejak putri bungsunya menghilang, dunianya telah runtuh. Tiada lagi senyum yang terukir tulus dari
lengkungan bibirnya. Jikalau harus tersenyum kepada suaminya, itu hanya topeng semata. Semakin sering tersenyum, makin perih relung hatinya.
Liang jia piawai memetik senar kecapi, memainkan lagu lirih yang membakar emosi. Hanya itu saja yang bisa ia lakukan untuk menenangkan diri.
“Ni wen wo ai ni you duo shen, wo ai ni you ji fen…” senandung lagu lirih dinyanyikan Liang Jia dalam petikan nada kecapi.
“Yue liang dai biao wo de xin…” bulir bening di kedua matanya berjatuhan. Ia sengaja tidak menyekanya. Dibiarkan tetes demi tetes air mata membasahi kerah bajunya. Lagu ini mengingatkannya pada senyum Yue Hwa yang begitu antusias saat mendapat kado satu setel dress hanfu. Kala itu Liang Jia mengijinkannya menonton kembang api
di pasar tradisional saat perayaan festival bulan.
Ia menghentikan petikan kecapi lalu segera beranjak dari duduk. Langkahnya menuju closet baju dan meraih dress hanfu yang belum berpindah tangan pada Ywe Hwa itu.
“Harusnya dua minggu lagi kau memakai ini…” Liang Jia mendekap erat dress itu, lututnya terasa lemas untuk menahan beban tubuh kemudian dia bersujud. Diciuminya kostum tradisional Chinness itu sembari mengelukan nama Ywe Hwa.
Tok… tok… tok…
Seseorang mengetuk pintu kamar Liang Jia. Namun wanita 46 tahun itu terlanjur larut dalam tangisan. Pendengarannya lengah dari jeritan pintu di luar.
“Tuan muda, sepertinya nyonya sedang istirahat.” Pengawal Xiao Jun mencoba membujuknya untuk bergegas
pergi dari sana sebelum Tuan Li mengetahui keberadaan mereka di sini. Namun Xiao Jun bersikukuh bertahan lantaran khawatir dengan keadaan Nyonya Li yang sudah lama mengurung diri di kamar.
“Kau pergilah, aku akan segera menyusul” Xiao Jun merasa risih selalu diikuti kemanapun langkahnya pergi.
“Maaf Tuan Muda, hamba tidak berani. Jika tuan besar tahu, hamba bisa celaka.” Pengawal itu menunduk
memohon belas kasih. Ia berharap Xiao Jun menghentikan sikap keras kepalanya.
“Kalau begitu kau berjaga di luar, beritahu aku jika ada yang datang. Aku mau masuk sebentar.” Xiao Jun menerobos pertahanan pengawalnya yang berusaha mencegah ia bertindak nekad. Namun dengan gesit Xiao Jun melewati pria kurus dan tinggi itu. Pengawalnya hanya bisa menghela napas pasrah, jika ketahuan Tuan Besar maka tamatlah riwayatnya.
Liang Jia tidak menyadari kamarnya telah disusupi orang. Ia masih terbenam dalam tangisan sambil memeluk dress Hanfu Yue Hwa. Pemandangan tragis yang meluluhkan hati Xiao Jun, ia paham betul rasa kehilangan itu. Liang Jia hanya kehilangan 1 putri, namun Xiao Jun yang masih bocah itu harus kehilangan ayah, berpisah dengan saudara kandungnya bahkan dipaksa untuk tidak mengakui ibu kandungnya. Kini ia justru harus memanggil Liang Jia dengan sebutan Ibu, sedangkan ibu yang melahirkannya harus dipanggil Bibi. Takdir apa yang mempermainkan mereka sedemikian dasyat? Adakah yang lebih naas dari hidupnya saat ini? Itulah yang sering ia pertanyakan dalam hati.
“Ibu…” Xiao Jun memulai percakapan yang membuat tangisan Liang Jia terjeda.
“Xiao Jun… aku tidak dengar kedatanganmu.” Liang Jia mencoba tenang dan bersikap seolah ratapan
kesedihannya tadi tidak terjadi.
Xiao Jun bersujud, “Maaf saya lancang menerobos ke dalam kamar ibu. Saya khawatir ibu sudah beberapa hari
tidak berkumpul bersama kami, apakah ibu sedang tidak enak badan?
Liang jia menarik lengan Xiao Jun dengan lembut, ia tidak membiarkan anak laki-laki itu berlutut.
“Bangunlah! Aku tidak apa-apa. Terima kasih atas perhatianmu.”
Saat hendak bangun, pandangan Xiao Jun melirik ke samping. Di lantai tergeletak sebuah pakaian anak
perempuan, ia terpaku sejenak hingga Liang Jia turut menyadari apa yang menyita perhatian Xiao Jun.
Liang Jia memungut dress itu kemudian berdiri membelakangi Xiao Jun. Pikirannya berkecamuk, ia
takut Xiao Jun melaporkan hal ini kepada suaminya.
“Itu pakaian anak perempuan Ibu?” Xiao Jun bertanya dengan suara pelan.
“Xiao Jun kumohon jangan ceritakan kejadian ini pada ayahmu. Dia akan marah jika tahu aku masih
mengenang putriku.” Liang Jia berbalik dan meraih kedua tangan Xiao Jun. Ia berharap mendapat belas kasihan atau bahkan pengertian dari anak angkatnya.
“Ibu tenang saja, saya tidak akan mengatakan pada siapapun.”
Liang Jia tersenyum lega. Ia percaya pada perkataan Xiao Jun, firasatnya mengatakan bahwa putra
bungsu Wei ini bisa diandalkan dan memiliki hati yang baik. Iapun memeluk anak itu, melampiaskan kerinduan yng tidak sampai pada empunya. Bagai rembulan yang berharap bertemu dengan matahari, meskipun berkorban belum tentu kesempatan itu bisa terealisasi.
Xiao Jun membiarkan nyonya yang dipanggil Ibu olehnya itu memeluknya erat. Biarlah… bagaimanapun juga ia dan Liang Jia adalah korban. Ia sebenarnya sangat merindukan pelukan ibu kandung, tetapi terlalu beresiko untuk ibunya jika ia nekad melampiaskan rasa rindu itu. Ia belum memiliki kekuatan apapun dari status putra Tuan Li, tidak akan cukup untuk melindungi ibunya. Maka lebih baik ia tidak membuat kesulitan bagi wanita yang disayanginya itu.
“Aku bisa membantu ibu mengobati kerinduanmu pada adik Ywe Hwa.” Xiao Jun memandang Liang Jia dengan
serius namun membuat Liang Jia bingung.
“Maksudmu apa Xiao Jun?”
“Berikan pakaian itu padaku, aku akan memakainya untukmu.” Tanpa mendengar persetujuan dari Liang
Jia, ia sudah merampas pakaian itu dari genggaman Liang Jia. Langkahnya berbalik menuju kamar mandi di sudut ruang kamar. Ia pandangi pakaian itu sebelum mengenakannya. Yue Hwa memang sebaya dengannya, jadi pakaian ini pasti muat dikenakan. Sudah takdir dari garis keturunannya untuk melayani keluarga Li, bahkan ayahnya rela berkorban demi melindungi anak perempuan itu. Xiao Jun berpikir ia juga akan berusaha menghibur kesedihan Nyonya Li.
“Xiao Jun… kau tak perlu melakukannya.” Liang Jia berteriak di depan pintu kamar mandi. Ia gusar melihat pengorbanan Xiao Jun, mana mungkin anak laki-laki harus merendahkan harga dirinya memakai pakaian perempuan. Bagaimana jika suaminya tahu, ia mungkin akan dituduh memaksa Xiao Jun melakukan ini semua.
Xiao Jun melangkah keluar dengan mengenakan setelan hanfu. Liang Jia berbinar menatapnya, imajinasinya mengarah pada Yue Hwa. Spontan ia memeluk Xiao Jun. kini keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing.
“Harusnya Ywe Hua memakai ini dengan riang gembira. Ia begitu suka keramaian, menonton festival kembang api, menyantap jajanan tradisional. Siapa sangka tahun ini ia tidak bisa mewujudkannya.”
Xiao Jun membalas pelukan Liang Jia. Ia masih bungkam dalam kenangan bersama orangtuanya. Tahun lalu
ia masih bisa membuat lentera kertas dengan ayahnya. Menyalakan lilin dan melarungkannya di sungai saat festival bulan. Andai ia tahu saat itu adalah terakhir kalinya ia menghabiskan momen indah bersama ayah ibu. Tetapi penyesalan hanya percuma saja, semua yang terjadi tidak akan terulang lagi.
Wo di jing ye zhen, wo di ai ye zhen, yue liang dai biao wo de xin…
Perasaanku ini sungguh, begitu pula cintaku, bulan mewakili hatiku…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
nenek moyang lu
syuka banget lagu ini
2021-04-19
0
Sriza Juniarti
bagus...bingit..serasa nonton film korea 😭😭😭
2021-02-25
1
Puan Harahap
keren Thor
2020-09-20
0