Aku tahu, akan ada pelangi setelah gerimis pergi di siang hari. Namun akankah ada
bahagia setelah petaka ini pergi?
***
Sekelompok pria berperingai antagonis, gesit menelusuri setiap sudut jalan, bangunan yang
mereka intai. Sasarannya hanya satu, dan itu harus segera mereka lenyapkan
sebelum matahari terbit.
“Kau sudah menghabisinya?” suara Li San di ujung handphone.
Ia berharap kabar baik yang akan didengar.
“Beri kami waktu, Tuan. Aku akan mengabari kembali nanti.” Ujar pesuruhnya.
Percakapan berhenti. Li San *** handphonenya. Apa susahnya mengatasi seorang anak? Liang
Jia, orangmu lihai juga. Geram Li San yang mulai habis kesabaran.
***
Suara ledakan yang menggelegar disusul batu-batu kerikil yang menghujani gudang persembunyian Wei
dan Yue Hwa. Wei berusaha mencari strategi baru, di luar perkiraan musuh sudah
mencium keberadaan mereka. Sihir yang ia gunakan untuk mengelabui perhatian musuh
beransur musnah.
“Wei, kita harus bagaimana sekarang?” Yue Hwa berusaha tenang. Ia sudah mulai bisa mengontrol
rasa takutnya.
“Nona, ini saatnya kita berpencar sementara. Keluarlah dari pintu belakang, aku akan mengalihkan
perhatian mereka dengan sihirku. Bawa jimat ini, jangan sampai sobek. Mereka tidak
akan bisa melihatmu meskipun bertemu. Tunggu saya di kuil yang biasa dikunjungi
Nyonya di Kowloon.” Wei menyodorkan secarik kertas kuning lalu mendorong tubuh
mungil Yue Hwa agar segera meninggalkan tempat itu.
“Aku akan menunggumu kembali Penjaga Wei.” Yue Hwa memalingkan wajah dan berlari keluar sesuai
arahan Wei. Bulir-bulir bening membasahi pipi, membasuh serta rasa perih akan
nasib yang kini mempermainkannya.
Wei keluar dengan tenang, setidaknya ia yakin majikan kecilnya sudah menjauh dari cengkraman
musuh. Kini ia harus menghadapi serombongan pria berdarah dingin hidup atau
mati.
“Serahkan gadis itu!”
“Bahkan mati sekalipun, tidak akan kuserahkan pada tuan kalian!” Wei mengucap mantera, gudang
persembunyiannya kembali ke wujud asli. Mereka kini berdiri di tengah jalanan
sepi. Dan pertikaian itu dimulai.
***
Langit senja berwarna merah, kala matahari membenamkan sinarnya di ufuk barat. Sekawanan burung gereja
beterbangan bebas tanpa beban, sangat kontras dengan perasaan gadis kecil yang
sudah sekian lama menanti kembalinya sang pahlawan. Pandangannya sigap
mengitari sekeliling, berharap ada sosok yang ia kenal menjemputnya pergi dari
tempat ini.
Ia kesepian di tengah keramaian massa. Tidak ada satupun yang ia kenal, bahkan tidak ada satu
orangpun yang peduli padanya. Rasa lapar dan haus mulai terasa, namun ia hanya
bisa menelan ludah dan mencekik perutnya untuk menahan diri. Wei hanya membekalinya
secarik jimat. Ia tidak memiliki uang sepeserpun.
Angin dingin berembus, langit senja berganti gelap pekat. Suasana malam di depan kuil masih terasa
hidup dengan aktivitas lalu lalang orang dan ramainya kios makanan di sekitar. Yue
Hwa merapatkan jas hitam milik Wei yang masih ia kenakan. Tubuhnya nyaris
tenggelam oleh ukuran jas dewasa tersebut. Aroma tubuh Wei dari jas itu sedikit
menenangkan Yue Hwa, setidaknya ia merasa tenang, ada pria baik yang bisa melindunginya.
Namun di mana ia sekarang? Mengapa tidak kunjung datang?
Ywe Hwa menyandarkan diri di samping kios mie, ia masih bisa menatap ke arah gerbang kuil dari sana.
Lelah dan lapar memaksanya untuk pindah ke posisi yang lebih nyaman.
“Hoaaammm…” ia menguap panjang. Pelarian sepanjang hari membuatnya kehilangan waktu tidur siang. Ya,
begitulah rutinitasnya di rumah mewah orangtuanya. Bahkan kemarin ia masih
makan malam bersama dan bersenda gurau dengan kakak-kakaknya. Mengapa dalam
sekejab suasana itu berubah mengerikan? Apa salah yang ia lakukan sehingga
ayahnya ingin menghabisinya? Wei yang belum juga muncul membuat Yue Hwa lelah
dalam penantian dan tertidur.
***
Sementara itu, di kediaman Tuan Li…
Liang Jia masih disekap dalam kamarnya. Sejak kemarin ia tidak selera menyantap apapun meskipun para
pelayan berulang kali membawakan makanan. Ia berubah menjadi tahanan rumah atas
kesalahan telah menyelamatkan nyawa putrinya.
Suara derit pintu membuyarkan lamunan Liang Jia, seorang pengawal setia Li San masuk tanpa
permisi. “Nyonya, anda dipanggil menghadap Tuan besar di Aula!”
Lengan Liang Jia ditarik paksa untuk ikut. Wanita terhormat itu memberontak, ia tak rela diperlakukan
seperti itu. “Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri.”
Li san sudah duduk di singgasananya, tatapan tajam yang bisa menelanjangkan pikiran siapapun yang
menjadi lawan. Di ujung pintu aula, sosok wanita tercinta mulai terlihat. Ia memincingkan
mata untuk menyambutnya. Kini secinta apapun ia pada wanita yang sudah
memberikanya 5 putri yang cantik, tidak akan menggoyahkan niatnya untuk
membunuh si putri bungsu.
“Duduklah, jangan terlalu formal.” Ujar Li San kepada nyonya rumahnya.
“Terima kasih Tuan Li. Aku sudah lelah duduk sepanjang hari.” Enggan kalah, Liang Jia menolak dengan
caranya.
“Kau tidak boleh menyalahkanku. Sudah 6 tahun aku memberi kesempatan hidup untuknya sembari
menunggumu memberikanku seorang putra yang kau janjikan. Tapi sudahlah, aku
memanggilmu kemari bukan untuk menghakimi. Ada hadiah yang akan kuberikan.”
Li san mengangkat tangan kiri, memberi kode kepada para pengikutnya. Seorang pria masuk membawa
sebuah tampah yang ditutupi kain hitam. Li San menjentikkan jari telunjuk kiri,
kemudian pria itu mengangguk patuh lalu berjalan ke arah Liang Jia. Pria itu
menyibak kain hitam penutup tampah. Seketika itu mata Liang Jia terbelalak,
seluruh tubuhnya bergetar melihat sepotong kepala dari orang yang sangat ia
percaya.
“Tidaaaakkk!” Liang Jia menutup mata dengan sapu tangannya. Pemandangan di depan tak mampu disimaknya
lagi. Air matanya mengucur, membayangkan betapa berdosanya ia pada pria itu. Bagaimana
ia mampu menghadapi kehancuran keluarga Wei tanpa kepala keluarga. Dan ini
semua karena salahnya.
“Orangmu sudah tamat riwayat. Meskipun orangku belum bisa menemukan putri kita, tapi cepat atau
lambat ia pasti menyusul nasib Wei. Sudah kukatakan padamu, jangan melawanku!”
gertak Li San penuh kemenangan.
Liang Jia menunduk, sepatah katapun tak mampu terucap. Penyesalan, kemarahan, kesedihan, dan
perasaan lain yang susah dijelaskan berkecamuk jadi satu. Ia tidak lagi fokus
mendengar apapun yang dilontarkan suaminya yang kejam itu.
“Pengawal, bunuh seluruh keluarga Wei! Jangan ada sisa dari keluarga pengkhianat itu!” Li San
mengeluarkan perintah lagi.
“Siap Tuan.” Puluhan pria setia Li San segera berlutut hormat menerima tugas itu.
“Tidaaakkk! Tuan Li, harap ingat kembali kebaikan leluhur Wei terhadap keluarga Li. Jangan karena
masalah keluarga ini, anda mengabaikan titah leluhur untuk selalu berhubungan
baik dengan klan Wei.” Liang Jia berusaha mencegah kesadisan terburuk yang
direncanakan suaminya. Ia berharap hutang budi leluhur bisa mengubah pikiran
prianya.
“Hmm… Pengawal, bawa anak dan istri Wei hidup-hidup!”
Li San ternyata masih punya hati nurani untuk merubah titahnya. Liang Jia berlutut mengucapkan terima
kasih atas perubahan keputusan itu.
“Kau jangan senang dulu, kita lihat apa yang akan dilakukan kepada mereka. Pengkhianat tetap
pengkhianat.” Sergah Li San tegas.
Liang Jia bungkam. Jawaban telak dari suaminya berhasil menakutinya. Entah rencana jahat apa yang
diskenariokan untuk keluarga Wei. Maafkan
aku, sungguh maafkan aku Wei.
***
Derap langkah sepatu memecah keheningan jalan. Malam kian larut, aktivitas warga perlahan surut. Namun
tidak ada yang menyadari ada seorang gadis kecil yang nyenyak dalam lapar dan
haus. Tidur berselimut angin malam yang menembus pakaiannya, meskipun ia
memakai jas hitam peninggalan Wei.
Suara sepatu semakin jelas terdengar, membangunkan Yue Hwa dari tidurnya. Samar-samar penglihatannya
menangkap sosok seorang pria. Ia terkesiap.
“Penjaga Wei? Apa ini kamu?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Mardysains Mardysains
gak bosen baca berulang... mantap
2022-09-21
0
teman baru
sepertinya nih cerita seru dan lain drpd yg lain
2021-04-06
0
San Hanna
uwaaaaa, udah mulai ada sihir.
2020-12-03
0