Jakarta, Juli 2004
Cuaca yang cukup panas di kawasan barat kota Jakarta. Sebuah kota yang masih sangat asing pasca kedatangan Weini kemarin. Ia tiba ketika malam sangat larut dan aktivitas sekitar mulai berkurang. Perjalanan yang menghabiskan lima jam di pesawat, ditambah perjalanan darat yang tak kalah menguras tenaga. Ia segera merebahkan diri ketika sampai di sebuah rumah kecil yang jauh dari kata mewah. Matanya bahkan harus beradaptasi hingga sekarang untuk melihat sekeliling rumah. Haris bilang ini rumah sewaan, tanpa perabot apapun, hanya sebuah ruangan sempit tanpa sekat.
“Ibumu membekaliku uang yang cukup banyak, tetapi kita tidak bisa sembarangan memakainya sebelum aku
dapat pekerjaan. Harap kamu bisa bersabar, ini hanya sementara.” Haris sepertinya bisa membaca pikiran Weini. Ia menatap kegusaran gadis kecil itu, suasana baru tidak membuatnya nyaman tetapi apa daya, ini memang bentuk pelarian yang sarat pengorbanan.
“Pak Haris… aku lapar!”
Weini memegang perut, tidak sungguh-sungguh lapar. Ia hanya beracting supaya Haris berhenti memberinya
pengertian. Weini cukup paham dan percaya semua yang Haris lakukan adalah yang terbaik untuknya, maka ia tidak berhak mengeluh dengan kondisi apapun.
Haris terkesiap, tidak menyangka nona kecil melontarkan kata lapar padahal ia sudah bersiap mendengar
keluhannya. “Oh maafkan aku, perjalanan yang panjang kemarin pasti membuatmu lelah dan lapar. Mari kita cari sarapan bersama di sekitar komplek.”
Mereka berjalan bergandengan, seorang pria paruh baya dan gadis kecil berparas oriental yang polos. Chemistry mereka sangat kuat, banyak yang akan mengira mereka adalah ayah dan anak yang akrab. Jauh di lubuk hati Haris, ia sangat merindukan istri dan ketiga anaknya, begitupula dengan Weini yang masih sangat kehilangan sosok orangtua dan saudaranya.
Gerobak keliling mencuri perhatian Weini, seorang kakek tua yang berpeluh sedang mendorong gerobak jualannya. Weini terpaku hingga tidak meneruskan langkahnya. Haris menyadari apa yang diperhatikan nona mudanya. Ia pun memanggil kakek tua itu. Meski dengan gerobak reot, kakek dengan rambut dipenuhi uban itu menjual bubur ayam. Dua mangkuk bubur hangat menjadi pilihan sarapan Weini dan Haris.
“Lezat! Baru kali ini aku menyantap bubur seenak punya kakek.” Celoteh Weini bersemangat. Sayangnya pujian
itu tidak membuat kakek tersenyum, justru pria tua itu mengernyitkan dahi lantaran tidak mengerti apa yang dibicarakan Weini.
Haris terbahak, layaknya adegan drama kehidupan alien dengan manusia yang tidak saling mengerti bahasa. Ia segera inisiatif menengahi kekakuan situasi di antara nona muda dan kakek tua yang saling terpaku. “Maafkan anakku, Pak. Dia baru pindah kemari dan belum mengerti bahasa Indonesia. Dia bilang buburmu sangat enak, lain kali ingin tetap mencicipinya.”
Kakek tua mendengarnya dengan sumingrah. Pujian dari pelanggan pertama pagi ini terasa seperti berkah.
Saat Haris membayar, si kakek menepuk uang dari Haris ke atas penutup panci bubur. “Laris… laris… makasih ya Nak.”
Bunyi roda gerobak yang semakin menjauh tidak membuat tatapan Weini lepas dari kakek itu. Ia mengagumi
semangat kerja kakek yang ditaksir berusia 70 tahunan itu, di usia senja masih kuat berjuang demi uang. Sedangkan dirinya yang sejak lahir berkelimpahan harta, kini tiba-tiba berubah nasib yang tidak bisa diprediksi seperti apa di kemudian hari. Membayangkannya saja membuat ia menundukkan kepala.
“Apa kita mau melanjutkan jalan-jalan? Mengitari jalanan kompleks ini saja siapa tahu ada hal yang menarik.” Haris mencairkan suasana, membuyarkan lamunan kesuraman di pikiran Weini.
“Ayo…” Weini menjulurkan tangan, berharap segera digandeng Haris. Mereka menyelaraskan langkah.
Dua pasang kaki yang melangkah itu selalu berpapasan dengan orang yang lalu lalang. Banyak yang
terburu-buru seakan tiada hari esok lagi, berjalan setengah berlari mengejar waktu. Adapula yang terlihat duduk santai, mengamati setiap pejalan kaki yang lewat. Sementara itu pedagang dengan beragam gerobak dan aneka makanan berjejer sepanjang tepi jalanan. Kehidupan yang padat dan Nampak ‘hidup’.
“Pak Haris, kenapa kau fasih dengan bahasa di sini?” rasa penasaran akhirnya tidak bisa membungkam
Weini. Ia tergoda untuk bertanya, mengapa pengawalnya sangat piawai segala hal. Haris tidak kesulitan dengan lingkungan baru, padahal sangat asing bagi Weini yang baru pertama kali kemari. Haris justru terlihat hapal dengan seluk beluk jalan dan tempat di sini.
“Aku juga baru pertama kali kemari, namun aku memakai kata hatiku untuk menebak mereka.” Haris menjawab
tanpa menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan, mengabaikan sorotan penasaran Weini yang seakan menghunus hati.
“Kelak aku akan mengajarimu. Tapi sekarang kau harus berusaha sendiri belajar bahasa lokal. Aku
yakin kamu cepat menguasainya.”
Weini mengangguk. Haris benar, tidak ada yang tidak bisa dipelajari, bahkan magic sekalipun Haris sangat fasih. Ia berniat mempelajarinya suatu saat nanti.
“Kau punya anak kan, Pak. Sekarang kau malah bersamaku, bagaimana nasib mereka?” rasa bersalah
menyelimuti hati Weini. Secara tidak langsung ia membuat anak lain kehilangan ayah. “Meraka pasti membutuhkanmu, tapi pak Haris malah menjagaku.” Air mata Weini luruh, ia mulai menyalahkan dirinya.
“Mereka baik-baik saja, kau jangan cemaskan hal itu. Ibumu akan menjaga mereka untukku, Seperti aku
menjagamu.” Haris harus berbohong dan pasti akan ada kebohongan lainnya untuk saling menutupi. Apa boleh buat, kenyataan terlalu getir diterima gadis berusia enam tahun. Hanya akan menciutkan kepercayaan dirinya untuk memulai lembaran baru.
“Sungguh? Ibu masih peduli padaku?” Weini menarik lengan Haris. Sebuah kode untuk menghentikan langkah. Ia harus melihat tatapan Haris saat menjawab pertanyaannya. Apakah ada kejujuran dari kedua bola mata Haris.
Haris mengangguk mantap. “Ibumu bisa diandalkan. Tanpa bantuan Nyonya besar, kita tidak mungkin bisa keluar dari Hongkong.”
“Oh syukurlah, ibu masih melindungiku.”
Akan tiba saat di mana kebenaran akan terungkap, di mana kuasa Tuhan lebih dari kekuatan sihir yang melindungimu saat ini, Nona. Tumbuhlah menjadi gadis yang kuat, gadis yang mewarisi darah keluarga besar Li. Suatu saat nanti, berlian yang dihempaskan ini akan dicari kembali. Percayalah nona Yue Hwaku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Den Lina
sedih thorr:((
2021-02-10
0
cella_cuteee
😭😭😭
kasian gadis kecil ini
2020-10-13
1
Puan Harahap
baru bisa baca episode ini...
2020-09-18
0