Jakarta, April 2014
Pernahkan kau merasa kehilangan namun tak mampu mengungkapkan kepedihan? Pernahkan kau mencoba
melupakan cinta yang tak menganggapmu berarti? Ah… ini hanya tentang bagaimana caramu melepaskan dan menerima kenyataan.
***
Sepuluh tahun berlalu semenjak kedatangan Weini dan Haris ke Jakarta. Bukan hanya bahasa namun kebiasaan lokal telah berhasil mereka kuasai. Weini kini sudah duduk di bangku kelas 2 SMA salah satu sekolah negeri di Grogol. Sepanjang perjalanan kehidupan mereka selama sepuluh tahun, tidak luput dari jatuh bangun. Haris sering gonta ganti kerjaan sampai akhirnya ia merasa nyaman sebagai guru private dan membuka kursus bahasa Mandarin di rumah. Alasannya agar ia bisa bekerja sekaligus menjaga Weini.
Pernah ia menjadi seorang kontraktor perusahaan asing, berbekal kemampuan berbahasa mandarin yang fasih, ditambah bakat multitalentnya, tidak susah bagi Haris mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Ia memutuskan resign dari pekerjaan tersebut lantaran pernah meninggalkan Weini yang kala itu berumur 10 tahun selama sembilan hari keluar kota. Weini harus mengurus dirinya sendiri, beruntung ada sepasang suami istri yang akrab dengan Haris dan bersedia menjaga Weini, sayangnya gadis kecil itu enggan tinggal di rumah mereka, sehingga pasutri itu hanya datang pagi mengantar makanan.
“我有一个好家庭 Wo You Ge Hao Jia Ting (aku mempunyai keluarga yang baik), 有一个父亲You yi ge Fu qin (punya ayah) , 并有一个母亲 Bing You Mu Chin (dan punya Ibu). 我爱她Wo Ai Tha (aku mencintainya)”.
Weini membantu Haris mengajar kelas mandarin junior. Sore ini ia menghandel sepuluh murid yang berusia
kisaran enam tahun, sementara itu Haris mengajar di ruang sebelah untuk kelas tingkat tinggi. Setelah empat tahun menetap di Jakarta, Haris mampu membeli sebuah rumah di kawasan Grogol. Di rumah itulah Weini dididikmenjadi anak mandiri, tangguh dan mahir beladiri.
Prang…
Aktivitas belajar mengajar terhenti seketika saat suara pecahan kaca menggelegar dari ruang tamu. Haris menenangkan muridnya yang mulai berdesas-desus ketakutan, begitu juga dengan Weini yang kelabakan merayu seorang anak perempuan yang menangis terkejut.
“Weini, keluar kau!” suara teriakan seorang pria dengan lantang menantang penghuni rumah. Tiga orang pria berdiri
di luar pagar, pelaku yang melempar batu itu berkacak pinggang menunjukkan kharismanya.
Haris menatap Weini dengan tanda Tanya, masalah apalagi yang diciptakan anak gadis ini? Weini mengikuti
langkah Haris di depan, sesampai di pintu utama ia menembuskan napas. “Dia lagi dia lagi…”
“Ada perlu apa, Pak? Mungkin bisa kita bicarakan baik-baik di dalam rumah.” Haris menawari mereka masuk dan
bernegosiasi. Keributan di luar bisa menarik perhatian Massa yang lalu lalang di depan jalan.
“Nggak usah basa-basi busuk! Kami kemari untuk meminta pertanggung jawaban Weini.” Bentak pria bertubuh tambun seraya berkacak pinggang. Gaya pahlawan kesiangan itu membuat Weini susah payah menahan tawa.
“Pertanggung jawaban yang bagaimana ya pak? Bisa dijelaskan sambil santai di dalam?” Haris masih bersabar, ia bahkan menoleh ke Weini yang berdiri di sampingnya untuk meminta penjelasan. Tapi Weini justru menggelengkan kepala, sama-sama bingung apa yang tamu tak diundang itu maksudkan.
“Weini, kamu jangan sok suci. Lihat ini perbuatanmu sama anakku! Kepalanya babak belur kena smackdown. Kau
kira dia bola sepak?” pria itu menarik tangan seorang laki-laki sebaya Weini. Dengan wajah tertunduk dan kepala yang full perban, lelaki itu terdiam seribu bahasa.
“Saya tidak mengerti maksudnya, Weini tolong jelaskan apa yang terjadi? Kau melukai anak itu?” Haris menginterogasi Weini, tatapannya seakan mampu menguliti Weini hidup-hidup.
“Dia anak kelas sebelah, setiap hari datang memalakku. Awalnya aku memberinya biar nggak banyak masalah, namun ia keranjingan meminta lebih. Dia duluan yang nyaris memukulku, aku hanya beladiri. Lagian aku memukul lengannya, kenapa malah kepalanya yang diperban?”
“Bohong! Kau betina jalang beraninya mengarang cerita! Aku akan beri kamu pelajaran, luka di kepala harus dibayar di kepala juga.” Pria itu semakin tidak terkontrol emosinya, ia mengayunkan kayu di genggamannya lalu memukulkan ke pagar besi.
Haris mulai hilang kesabaran, kata-kata kasar yang dilontarkan pria itu sangat menyinggung perasaannya. Sebersalah apapun Weini, tidak pantas seorang pria dewasa mengeluarkan kata hinaan seperti itu.
“Baiklah, kalau memang kekerasan yang anda inginkan, saya akan melayaninya. Ada CCTV di rumah saya,
dan bisa saya jadikan saksi di pengadilan kelak bahwa anda yang mulai mencari masalah di rumah orang, mengeluarkan kata-kata kasar dan menyerang fisik duluan.”
Pria garang itu seketika menciut, taring harimaunya berubah menjadi taring tikus. Ia menurunkan kayu itu, berusaha menahan diri agar tidak menyerang dulu. Namun harga dirinya terlalu tinggi untuk kalah begitu saja.
“Licik sekali kau. Pantas saja anakmu seperti itu, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Lalu bagaimana pertanggung jawabanmu terhadap luka memar anak saya? Saya juga bisa mengadukan anda ke polisi.” Gertak Pria itu enggan mati kutu.
“Silahkan laporkan, anda mungkin punya cukup bukti untuk menyeret anak saya sebagai tersangka. Namun
jika bukti anda tidak kuat, bersiaplah untuk menghadapi tuntutan balik saya atas tuduhan pencemaran nama baik. Bukankah Negara ini Negara hukum, keadilan pasti ditegakkan. Jika anak saya memang salah, dia akan dihukum sesuai ganjarannya. Anda juga sebaliknya harus terima resiko serangan dari saya.”
Pria itu menggertakkan gigi, lontaran lawannya betul-betul melukai harga dirinya. Jika ia teruskan, bukan tidak mungkin ia kalah telak dan tersangkut masalah hukum. Ia terlalu optimis bisa memanfaatkan kesalahan Weini untuk meminta jatah preman. Putranya memang dipukul Weini namun hanya tangan kirinya yang cidera, namun ia membungkus kepalanya dan menuding itu hasil perbuatan Weini. Kalau masalah ini dilaporkan ke polisi hingga harus olah TKP dan saksi, itu sama saja mengantarkan diri untuk menginap di hotel prodeo.
“Cih… Pandai sekali kau berkelit. Kau mau mengancamku? Aku tidak takut itu semua. Tunggu aku kumpulkan
bukti, kita lanjutkan kasus ini. Jangan harap lepas dari tanggung jawabmu!”
Ketiga perusuh itu berbalik badan, mundur teratur sebelum perang. Haris menghela napas lega, ia tidak perlu menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah ini. Walaupun mahir kungfu, namun tidak bisa sembarangan mengeluarkan jurus. Sebisa mungkin hindari pertikaian fisik agar tidak menjadi sasaran musuh. Makin tinggi pohon, makin kencang angin meniupnya. Itulah yang selalu diajarkan kepada Weini.
“Pak Haris maafkan aku membuatmu terlibat masalah seperti ini.” Weini tulus memohon maaf, ia enggan
merepotkan Haris dengan konflik yang dibuatnya. Berpura-pura lemah padahal mampu melawan telah lama ia lakukan. Kemampuan kungfunya juga mencapai level tinggi, tetapi tidak sekalipun ia mengeluarkannya. Anak laki-laki itu saja hanya ia tepis saat pipinya nyaris mendapat bogem mentah dari pemalak itu.
“Sudahlah, aku lebih kenal kamu. Mereka hanya mengada-ada, bisa menghujat orang tapi tidak bercermin. Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Haris menggeleng kepala seraya masuk kembali ke ruang kursus.
***
Sebuah papan kompas yin yang tergeletak di atas meja, ujung jarumnya bergerak kencang searah jarum jam.
Rapalan mantera berkumandang di kesunyian sebuah ruangan. Sepi… hanya ada seseorang yang berada di sana yakni si pemilik mantera. Jarum kompas berhenti, kemudian berputar berlawanan arah semula. Tiba-tiba sebuah pedang melayang dan menancap di atasnya. Si pemilik mantera berjalan mendekat, dicabutnya pedang yang tertancap itu dan mengangkat papan kompas.
“Gu rum o ram cat tap… tunjukkan kuasamu sesuai perintahku.” mata berbulu lentiknya terpejam saat membaca mantera. Seketika papan kompas di tangannya bersinar merah membentuk lekungan bulat. Sinar itu perlahan memanjang seperti sinar laser dan mengarah pada peta di dinding. Sinar merah itu menunjuk di satu titik pada peta. Pria itu segera meletakkan papan kompas yang masih bercahaya itu di meja, ia meraih pulpen dan segera mengecek titik terang pada peta.
Senyum puas menyungging dari kedua sudut bibir. Penantian bertahun-tahun, masa berlatih sihir diam-diam
selama itu membuahkan hasil positif. Ia melingkari sebuah nama kota dalam peta, sudah ia pastikan apa yang selama ini dicari ada di sana. Sinyal sihir yang dikirim dari jauh akhirnya bisa tembus dan mampu ia terima. Si pengirim sihir itu pasti orang yang sangat mengenalnya.
“Jakarta, aku akan datang!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Puan Harahap
mengikuti, episode demi episode
2020-09-20
0
Dina⏤͟͟͞R
kayaknya xiao jun
2020-06-19
6
Karina Kurniati
siapa ya?
2020-04-25
2