Akan tiba hari di mana matahari yang merindukan bulan akan bertemu di teriknya siang. Rindu yang mustahilpun akan tersampaikan. Dan saat itu aku akan percaya bahwa di dunia ini masih ada keajaiban.
***
“Pak Haris aku berangkaaat…” Weini tergopoh-gopoh berlari sembari mencomot setangkup roti bakar yang Haris siapkan untuk sarapan. Lagi-lagi ia kesiangan dan harus mengejar angkot ke sekolah.
“Kau jangan makan sambil lari.” Teriak Haris yang berujung sia-sia, gadis yang kini sudah remaja itu tidak sempat mendengarnya. Ia menghela napas begitu dalam. Kendati Weini tumbuh menjadi gadis yang mandiri, lincah, pintar dan cantik, ia tidak terlepas dari kekurangan juga. Sangat sulit membangunkannya di pagi hari, Haris harus terbiasa dengan drama pagi dari Weini yang menegangkan seperti kali ini.
Jalanan pagi di Jakarta tidak pernah luput dari kemacetan. Weini mengunyah roti di dalam angkot sambil berpikir alasan apalagi yang bisa dipakai agar tidak dihukum wali kelasnya. Sungguh penyiksaan batin baginya untuk bangun di pagi hari dan memakai seragam sekolah. Sisa satu tahun lagi maka ia bebas dari rutinitas membosankan itu, setiap kali membayangkannya mata Weini langsung berbinar.
“Tigaaa… Duaaaa… Satuuuuuu…” suara satpam penjaga gerbang dengan sadis menghitung mundur detik terakhir sebelum gerbang resmi ditutup. Apesnya meski berlari sekencang Cita, Weini tetap tidak bisa menyelamatkan diri dari telat.
“Pak, ijinkan saya masuk pak. Tadi pagi saya diare, tapi ini udah mendingan. Hari ini saya ada ulangan.” Tangan Weini merangkap di depan dada, memohon belas kasih satpam bertampang sangar di depannya. Meski alasannya terdengar konyol.
“Kalau begitu kau pulang saja daripada mencret di kelas.” Satpam itu segera memasang gembok dan berlalu tanpa memperhatikan ekspresi kasihan dari Weini.
***
Aula utama kediaman Li tengah ramai berkumpul sekelompok pria berbaju formal hitam. Li San masih duduk di singgasana tahta yang begitu agung. Jaringan mafia yang tersebar di seluruh dunia, bisnis berbagai bidang yang juga menguasai seluruh Hongkong dan kini mulai merambah ke luar negri. Semua kejayaan itu diperoleh setelah Yue Hwa pergi dari kehidupannya dan Xiao Jun masuk sebagai anaknya. Ia sangat percaya bahwa Xiao Jun adalah pembawa keberuntungan, dan pantas menjadi penerus marganya.
“Anakku, aku merestui keputusanmu untuk menguatkan jaringan bisnis ke Jakarta. Jaga diri dan kehormatan keluarga selama berada di Negara orang.”
Li San memberi mandat sebelum Xiao Jun meninggalkan rumah. Semula ia ragu memberikan ijin karena Xiao Jun meminta waktu dua tahun untuk membuka cabang bisnis di sana. Xiao Jun baru genap berusia tujuh belas tahun dan harus merantau jauh, akan banyak resiko yang mungkin dia hadapi. Tetapi kemampuan serta ide kreatif Xiao Jun soal bisnis mematahkan keraguan itu, ia mendukung penuh rencana putranya selama masuk akal dan menguntungkan perusahaan.
“Ayah tidak perlu cemas, dengan bantuan pengawal Lau yang sering memberikan nasihat, saya pasti membuat ayah bangga.” Xiao Jun bersujud hormat sebagai bentuk pamit.
Sebelum melangkah keluar dari gerbang keluarga Li, ia melihat dua sosok wanita paruh baya yang menunggunya. Wanita penuh charisma dengan balutan dress sutra yang indah berdiri sejajar di samping wanita yang lebih tua dengan setelan Cheongsam sederhana. Kedua wanita itu hadir mengantar kepergian Xiao Jun.
“Ibu, saya pamit.” Xiao Jun bersujud di hadapan ibu kandungnya – Xin Er. Liang Jia ikut menitikkan air mata haru menyaksikan perpisahan ibu dan anak, kenangannya tentang Yue Hwa terngiang kembali. Xin Er memegang pundak Xiao Jun kemudian memeluknya yang masih dalam posisi sujud. Suara isakan tangis Xin Er membahana, ia cemas akan perpisahan ini. Bagaimana kehidupan Xiao Jun di luar nantinya. Tetapi ia tidak punya kuasa untuk
mencegahnya pergi. Secara status hukum, kini Xiao Jun resmi sebagai anak keluarga Li.
Xiao Jun memapah ibunya bangun, kini perhatiannya beralih pada Liang Jia. Selama sepuluh tahun terakhir, Liang Jia berhubungan baik dengan ia dan Xin Er. Tanpa welas asihnya, Xiao Jun mungkin tidak bisa menolong ibunya dari status budak. Liang Jia memohon kepada Li San untuk menjadikan Xin Er sebagai dayang pribadinya. Setidaknya itu lebih baik daripada menjadi buruh kasar di usia senja.
“Ibu kedua, saya pamit. Mohon bantuan Ibu untuk melindungi Ibu kandung saya.” Xiao Jun bersujud di hadapan Liang Jia namun segera ditarik oleh Liang Jia.
“Jangan sungkan, Nak. Sering-sering berkabar pada kami.” Seru Liang Jia
“Jaga kesehatanmu. Perutmu sensitif, kau harus perhatikan makananmu.” Timpal Xin Er mengingatkan kelemahan Xiao Jun.
Adegan haru itu tak luput dari perhatian Li San. Ia menyaksikan dari kejauhan dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Ketika pengawalnya mengajukan diri untuk mengusir Xin Er, ia menolaknya dan membiarkan Xiao Jun berpamitan langsung kepada kedua wanita itu. Tak mau terlalu campur dengan urusan perasaan, Li San membalikkan badan dan meninggalkan aula.
***
Halte Trans Jakarta masih dipadati calon penumpang dengan berbagai tujuan. Banyak yang rela berdesakan menanti bus jurusan yang belum tampak kedatangannya. Weini duduk menatap ujung sepatu hitamnya, ia
menghabiskan setengah jam penuh kesia-siaan untuk melamun di sini.
“PGC PGC yang transit harmoni, kali deres…” suara onboard membahana ketika bus yang dinanti telah masuk ke pemberhentian.
Weini menatap sejenak penumpang yang berdesakan antara yang hendak masuk dan keluar hingga menguji kesabaran petugas yang tak henti-henti mengingatkan untuk mendahulukan penumpang yang keluar. Ia sendiri
tidak punya tujuan jadi buat apa berdesakan dengan mereka yang mungkin memang buru-buru.
Arrggghhhhh sial. Hanya telat satu menit saja sudah disuruh pulang. Weini menggerutu kesal. Mustahil dia pulang jam segini, pasti Haris kecewa karena sikap tidak disiplin waktunya. Selama ini ia tidak pernah seapes pagi ini, walau selalu berangkat dengan berpacu waktu tapi ia lolos dari terlambat.
“Hmm… bolos sekali ini nggak apa-apa lah yah. Tuhan akan mengampuni dosaku.” Ujar Weini menghibur diri sendiri.
Sebuah bus masuk ke jalur pemberhentian. Weini segera berdiri, ia sudah tahu harus melancong kemana sekarang. Bergegas ia masuk barisan antri dan berhasil menyelinap masuk meski harus berdiri di dalam bus.
***
“CUT! Kita break 15 menit!” teriakan seorang pria membubarkan shooting di sebuah mal kawasan Kuningan. Ia tampak kurang puas dengan performa talent mereka saat preview hasil shooting barusan. Alisnya mengkerut, jika seperti ini terus acting para talent, bisa diprediksi kerjaannya akan kelar hari berikutnya.
“Ada apa dengan kalian? Salah makan apa sampe acting kaku banget. Mana ekspresinyaaaa???” Geram pak sutradara menceramahi bintang utamanya yang cantik namun kurang greget beracting.
“Kayak gitu kok bisa lolos casting sih, heran deh gue!” Pak sutradara melempar naskah di genggamannya. Emosinya membuncah, ia tak bisa sabar lagi menghadapi artis utama itu. shooting sudah berlangsung tiga
hari namun satu episodepun belum bungkus. Ia membuang pandangan ke belakang, tak diduga ada satu sosok yang mencuri perhatiannya. Seorang gadis muda berkulit kuning langsat, wajahnya tirus seperti artis korea, sepasang mata yang indah, postur tubuhnya pun tinggi langsing.
“Kamuuu…” telunjuk pak sutradara mengarah pada Weini yang kebetulan sedang melewati area pengambilan gambar.
Weini menoleh ke belakang, mencari target yang ditunjuk pria berbadan kurus tinggi di depannya. Jarak mereka terpaut 10 meter, terlalu optimis jika mengira ialah yang ditunjuk lagipula ia tidak mengenal pria itu.
“Yaa kamuuuu yang pake seragam putih abu. Nggak usah tolah toleh lagi. Sini bentar adek!” perintah sang sutradara agak ketus. Tanpa sadar ia melampiaskan kekesalan pada orang tidak bersalah.
Weini melangkah mendekati lokasi shooting. Ia masih polos menyadari kegiatan di sana dan penasaran buat apa pria tak dikenal itu memanggilnya. “Anda panggil saya pak?”
“Hmm… kamu bolos?” ujar pak sutradara sinis.
Bak peluru tepat sasaran, jantung Weini berdegup kencang mendengar skakmat itu. Ia bingung antara harus jujur atau tidak. tetapi sebelum menjawab sepatah katapun, pria itu kembali buka suara.
“Udah Nggak usah dijawab itu Cuma iseng. Gue lagi nyari talent buat lanjutin shooting dan lu terlihat cocok untuk peran itu. Gue casting bentar gimana?”
“Eh…” mendadak Weini linglung. Casting? shooting? Talent? Tapi ia tidak punya pengalaman soal ini. Weini bingung harus menjawab apa,pikirannya melayang jauh membayangkan jika ia mencoba tidak ada salahnya sambil
menunggu jam pulang sekolah. Tanpa ia sadari kepalanya mengangguk yang mengakibatkan sang sutradara salah kaprah.
“Baguuus. Sini gue tes bentar.” Pak sutradara menarik tangan Weini ke arah tempat duduknya. Ia memberikan secarik kertas naskah lalu meminta Weini memeragakan.
Sekilas membaca kalimat pertama di naskah, Weini membatin betapa lebaynya adegan itu jika harus dipraktekkan. Namun buat mundur sekarang rasanya akan melukai harga diri karena bagi Weini ia sanggup melakoninya.
“Andre plis, jangan tinggalin gue gitu aja. Gue cinta mati sama lu, apapun yang lu minta pasti gue berikan asalkan lu di sisi gue.” Weini memerankan cewek yang mengemis cinta cowok dengan sedikit sentuhan improvisasi. Naskah yang merujuknya untuk menangis manja, justru ia praktekkan dengan tangisan emosional yang menyayat hati. Pak sutradara dan artis utama yang menyaksikan ikut tersentuh.
Plok plok plok…. “Bravo bravooooo… di luar ekspektasi gue, adegan tangis Bombay ini justru lu bikin sangat alami dan elegan. I say yes!” pak Sutradara menyambangi Weini yang masih setengah percaya dengan pujian yang ia dengar. Baru mencoba satu adegan saja ia sudah lolos casting dan dapat peran utama? Semujur itukah nasibnya?
“Siapa namamu? Kita harus reading text sejenak sebelum shoot. Dan gue pengen kontrak lu untuk lima puluh episode sinetron ini. Per episodenya lu akan dibayar delapan juta. Daaaan… gue mau denger lu bilang YES!”
Wow amazing! Lima puluh dikali delapan juta berarti empat ratus juta?Oh my… cepat kaya aku hiihihi… kurasa Pak Haris nggak keberatan selama sekolahku nggak terganggu, lagian aku harus punya pembuktian pada diri sendiri bahwa aku punya kemampuan.
“Yes pak. YES!” seru Weini lantang dan tetap jaim.
Sutradara terbahak puas sambil menyodorkan buku kontrak. “Panggil aku Bams. Lu baca dulu semuanya baru tanda tangan, kalau ada yang nggak jelas jangan sungkan Tanya.”
***
PERTANYAAN UNTUK PEMBACA!!!
Coba tebak di manakah Weini akan bertemu Xiao Jun pertama
kali?
A. Toilet mal
B. Halte Bis
C. Di mana-mana hatiku senang hehehe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
🌲🌲🌲 🍎🍎🍎 🌲🌲🌲
Toilet Mall...cz ngak mungkin Xiao Jun yang jadi anak Crazy Rich naik bis 😂😂😂😂😂😂😂
2023-10-15
1
Nung Nurhayati
B di haltebus
2022-08-26
0
Den Lina
c
2021-02-10
0