Jangan menangis! Aku tak mau kau bersedih untukku, langit.
Jangan turunkan gerimis! Cukup berikan kehangatan sinar mentari pagi.
Aku akan baik-baik saja menjalani permainan takdir ini…
--Quote of Yue Hwa aka Weini—
***
“Selamat pagi” Weini menyapa Haris dengan mulut lebar menguap. Kantuknya tidak tertahankan akibat tidur yang kurang berkualitas semalam.
“Selamat pagi nona panda. Hari pertama bangun pagi, hmmm… tidak mengecewakan juga.” Haris sepertinya ketagihan menggoda Weini pasca kejadian mata panda kemarin. Bangun jam lima subuh adalah salah satu perjanjian antara ia dan Weini demi mendapatkan ijin menjadi artis.
“Pak Haris, plis deh. Kau punya hobi baru mengganti nama orang. Cukup satu kali kau ganti namaku, aku nggak mau punya julukan lagi.”
“Hahaha…” Lagi-lagi Haris tertawa meledek Weini. Saking geramnya Weini hingga ia langsung makan nasi goreng yang dihidangkan Haris tanpa mengucapkan selamat makan. Beberapa kali suapan, Weini teringat hal penting yang mau dititipkan ke Haris sebelum ia berangkat sekolah.
“Ah… Pak Haris, tolong jawab panggilan di sini kalau ada yang telpon. Aku menemukan hape ini ketika shooting di bandara. Siapa tahu pemiliknya bakal nelpon.” Weini menyodorkan Iphone pada Haris yang ikut menyantap seporsi nasi gorong di kursi sampingnya.
“Wah, barang mahal. Pemiliknya pasti cemas. Ya semoga ia segera menghubungi.”
Ya semoga saja… tapi kurasa pria itu nggak butuh hape ini. Mana mungkin ia betah lepas dari alat komunikasi nyaris tiga belas jam dan nggak sadar kehilangan benda penting. Gumam Weini dalam lamunan tanpa menyadari nasi di piringnya sudah habis namun ia masih menyendoknya.
***
Di antara sekian banyak tempat di muka bumi, yang paling dibenci Weini adalah sekolahnya. Sebuah ketidak beruntungan baginya untuk berada di tempat ini lima hari dalam seminggu. Salah satu alasan ia tidak suka sekolah karena di sana ia merasa kesepian di tengah ratusan orang. Dari tiga puluh tujuh siswa di kelasnya, hanya satu orang yang bisa disebut teman.
“Hei, kurasa hari ini gue akan kencing di celana. Apa benar ini Weini? lo bisa datang tanpa lari-lari?” ujar Sisi, si bawel, si centil, si kepo, si apapun dia pokoknya hanya dia teman Weini.
“Garing candaan lo.” Weini mengabaikan Sisi yang terkagum-kagum melihat ia datang lebih awal. Ia segera duduk di bangku lalu menguap panjang lebar. Kantuk yang luar biasa berkontaminasi dengan tubuhnya yang lelah, ia tak yakin otaknya bisa menyerap pelajaran.
“Bangun jam berapa lo? Segitu amat tuh mulut kayak parit depan Mangdu. Nih pelajaran kemarin gue copyin.”
“Thanks” Nyawa Weini belum kumpul utuh, yang ingin ia lakukan sekarang hanya tidur.
“Lo gak masuk sehari, banyak ketinggalan gossip seru. Kemarin si mak lampir Metta ditolak ama kak Januar. Hahaha mau ala romantis nembak di lapangan basket, malah dijawab temenan aja. Hahaha puas gue!”
Weini bungkam. Suara ngorok mulai berkumandang lalu membangkitkan tensi Sisi.
“Gue lagi cerita malah ditinggal tidur. Sadis looooo…” Sisi mengguncang pundak Weini namun ia tak bisa digugah.
Bel sekolah berbunyi. Kelas yang tadinya sepi mulai dipadati siswa-siswi. Sisi semakin gusar berkali-kali membangunkan Weini namun gagal. Hingga wali kelas masuk ke dalam kelas, ia masih keliaran di alam mimpi.
***
Jakarta, pukul tujuh pagi…
Xiao Jun menyeruput hot capuccino dan setangkup roti bakar tanpa selai. Mimpi buruk mengawali malam pertamanya di Jakarta. Mimpi yang terasa nyata saat ia berusaha menolong seorang gadis yang disegel dengan ilmu sihir aliran barat. Mungkin ini pertanda buruk ia berada di sini.
“Huft.” Xiao Jun menghela napas. Lebih baik ia mengabaikan bunga tidur itu dan fokus urusan bisnis. Lau datang menawarkan proposal kerjasama yang dikirim calon klien mereka. Meskipun usianya masih sangat muda, insting Xiao Jun dalam dunia bisnis sangat matang dan cekatan. Ia terbiasa dicegoki berbagai macam pembelajaran sejak masa kecil. Sekolah privat di rumah tentu membuat ia tidak memiliki teman, dan ia sudah terbiasa sendiri.
“Paman, tolong ambilkan Iphoneku yang satunya.”
“Baik Tuan muda.” Lau membungkung hormat lalu beralih ke ruang tidur majikannya.
Beberapa lembar kertas dibolak-balik Xiao Jun tanpa antusias. Tawaran bisnis seperti itu kurang menarik perhatiannya. Ia menutup semua proposal itu kemudian celingukan mencari Lau. Apa yang membuat pria itu
begitu lama mengambil sebuah benda?
“Tuan, sepertinya anda kehilangan barang itu.” Lau kembali menghadap Xiao Jun dengan wajah cemas. Ia menggeledah isi koper, tas dan saku Xiao Jun namun tidak menemukan Iphone itu.
“Hmm… Tenanglah paman.” Mata Xiao Jun terpejam. Konsentrasinya mulai terpusat untuk mendeteksi apa yang terjadi kemarin pada dirinya. Memorinya flash back saat ia di bandara Internasional Hongkong, handphone itu masih ada dengannya. Di dalam pesawat ia menonaktifkan sebelum lepas landas, lalu sampai di bandara Soekarno Hatta, ia masih mengaktifkan kembali dan menaruhnya dalam saku celana sebelah kiri. Oh… handphonenya terjatuh saat ia sibuk berbicara dengan handphone yang satunya kemudian ia berjalan pergi. Sebuah tangan mengambilnya, seorang gadis muda, ia melambaikan tangan lalu… Deteksi terputus.
Sial… cecar Xiao Jun, kemampuan sihirnya sungguh terbatas di sini. Kejadian selanjutnya tidak bisa dilacak lagi. “Aku menjatuhkannya di bandara, Paman. Aku akan hubungi nomor itu.” Xiao Jun meraih handphone dan menekan tombol panggil. Panggilan tidak terjawab.
“Saya coba hubungi juga Tuan.” Lau berkali-kali menelepon namun hasilnya sama. Tidak ada respon dari gadis yang menemukannya.
“Kita lacak saja dan saya akan datang menebusnya Tuan.”
“Tidak perlu Paman. Kita pendatang baru, lagipula ini kecerobohanku. Ia pasti bisa dihubungi dan beri ia kompensasi atas kebaikannya.” Xiao Jun yakin bahwa gadis yang memungut barangnya itu pasti berinisiatif mengembalikan padanya secara baik-baik.
***
Kesialan pagi tadi di sekolah membuat mood Weini memburuk. Gara-gara tidur di kelas, ia harus berjemur memberi hormat pada tiang bendera selama jam pelajaran pertama. Kebodohan itu menambah daftar kesempatan bagi Metta and the geng untuk membullynya. Eits, tapi tidak sesial itu pula, saat tengah dihukum itu ia didatangi Januar, si senior tampan yang membawakannya air mineral dingin. Terasa sedikit berlebihan bagi Weini untuk diperhatikan oleh pria yang dikagumi ratusan cewek di sekolah, kecuali dirinya.
Bams dan seluruh kru tengah menata setting lokasi shooting sembari menunggu seluruh cast siap. Weini masih berusaha keras mengumpulkan mood, namun ketika ia membaca script, hatinya berdendang ria. Perannya kali ini dituntut untuk menangis sejadi-jadinya, tentu tak sulit bagi hati yang sedang mencari pelampiasan. Dalam sinetron yang sedang ia bintangi itu, ia berperan sebagai gadis kuliahan yang jatuh cinta pada pria dewasa.
SMA saja belum kelar, ini udah nyobain kuliah. Weini menggerutu pada nasibnya yang tidak bisa jauh dari kata sekolah, bahkan dalam sinetron saja masih harus berkutat dengan pelajaran.
“Oke guys, semua siap. Cast siap. Ekstras siap. Kamera rolling and…. ACTION”
***
“Tepaaaaaar!!!” Weini merobohkan diri di atas ranjang. Sekujur tubuhnya terasa kaku, shooting yang lancar kemarin mungkin hanya faktor keberuntungan. Hari ini ia mengulang puluhan kali demi satu adegan, dan semua gagal karena Steven yang nggak hapal script.
Haris mengetuk pintu, “Boleh aku masuk?” pintanya sopan.
“Silahkan pak nggak dikunci.” Weini tidak beranjak dari posisi tidurnya. Ia terlalu lelah untuk bergerak.
“Secapek itukah jadi artis?” Haris kelihatan cemas melihat Weini kelelahan. Ia hanya menatap Weini dari depan pintu.
“Begitulah… tapi sudah teken kontrak, nggak boleh mangkir ntar didenda.” Ujar Weini sembari meregangkan otot sejenak.
“Jangan telat makan makan.”
Sebuah nada messenger masuk dari handphone Weini namun ia sengaja mengabaikannya. Tiba-tiba Weini teringat Iphone yang ia titipkan pada Haris.
“Apa pemilik hape sudah menghubungimu, Pak?”
Haris terkejut. Ia lupa titipan Weini yang masih tergeletak di atas kulkas. “Aku lupa, maafkan aku.”
Weini langsung bangkit saat mendengar jawaban Haris. Sedetik kemudian mereka berlari menuju dapur. Weini memencet tombol dayanya dan melihat 19 panggilan terlewatkan. Iphone dengan keamanan yang super canggih itu
tidak mungkin bisa ia buka.
“Low bat lagi, aduuuhhh…” hampir gila Weini menghadapi situasi ini. Mungkin saja pria itu mengira ia sengaja tidak mau mengembalikan barangnya. Iphone di genggaman Weini berdering, ia dan Haris saling pandang dengan girang sebelum menerima panggilan masuk itu.
“Halooo” Ujar Weini terlalu semangat.
“Halo, Nona. Terima kasih sudah mengangkat telpon ini…”
Suara pria di seberang sana cukup mengecewakan Weini. Dari suara yang berat itu Weini bisa menebak yang berbicara dengannya bukan pria muda yang membuatnya terpesona. Meskipun tujuannya untuk mengembalikan
barang yang bukan miliknya, tetapi ia tidak bisa membohongi perasaannya. Ada rasa kecewa di sini… Di dalam Hati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 553 Episodes
Comments
Puan Harahap
keren thor
2020-09-25
0
Sekhar Mlathi
hmmm...
2020-02-25
2
Chiee
weini mulai jatuh cinta 😍
2019-11-05
0