“Kau yakin gadis itu sudah tewas di hutan kegelapan?”
“Iya, Madam. Saya sangat yakin.”
Wanita paruh baya dengan dress gaya retro yang berkesan glamour itu tampak terdiam. Walaupun menggunakan dress gaya retro yang diadaptasi dari era 70-an sampai 90-an, penampilan wanita paruh baya itu benar-benar bisa dibilang glamour dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggunakan dress model v-neck warna maroon yang trend di era tahun 1940-an. Penampilannya dilengkapi dengan sarung tangan hitam motif bunga menerawang, serta tas jinjing berwana senada.
“Lalu dimana dua pembunuh bayaran itu?” tanyanya.
“Entahlah, Madam. Setelah menyelesaikan tugas yang Anda berikan, mereka juga menghilang.”
Madam Gie, ibu tiri Lucciane tampak menautkan kening seraya menyentuh pinggiran gelas keramik yang digunakan untuk menyajikan hot oolong tea. Teh hasil fermentasi dan semi-teroksidasi sehingga memberikan rasa di antara teh hitam dan hijau.
Sudah satu minggu berlalu semenjak pembunuhan berencana terhadap Lucciane dilakukan. Hingga saat ini belum ada kabar lagi dari kedua pembunuh bayaran tersebut, termasuk kabar soal Lucciane. Mereka bertiga sepertinya benar-benar menghilang pasca masuk ke dalam hutan kegelapan.
“Lalu apa yang membuatmu yakin jika gadis itu sudah tewas? Bisa saja dia selamat dan sedang bersembunyi di suatu tempat.”
“Mustahil ada yang selamat setelah masuk hutan kegelapan, Madam. Saya juga sudah mengunjungi desa di tepi sungai yang membatasi wilayah hutan kegelapan untuk memastikan.”
Madam Gie kembali terdiam seraya mengangkat cangkir keramik tersebut ke udara. Membawanya tepat ke depan bibir yang dipulas perona berwarna merah gelap.
Benar juga perkataan tangan kanannya, tidak ada yang bisa selamat jika masuk ke dalam hutan kegelapan. Hutan yang terkenal sangat berbahaya karena diisi oleh hewan liar dan tumbuhan langka yang beracun juga berbahaya. Bahkan pada beberapa lokasi dipasang garis polisi supaya warga sipil tak sembarangan masuk ke hutan kegelapan. Hutan kegelapan memang agak mirip dengan hutan Aokigahara yang ada di sebelah barat laut gunung Fuji, prefektur Yamanashi, Jepang. Hutan yang terkenal angker dan kerap kali dijadikan sebagai tempat untuk bunuh diri.
“Kalau begitu, pastikan semua orang yang mengetahui insiden itu tutup mulut.”
“Baik, Madam,” sahut tangan kanannya, sebelum pamit undur diri. Meninggalkan Madam Gie seorang diri.
“Kenapa ada Alexandro di sini, Mom?”
Madam Gie menolehkan pandangan ke arah datangnya suara kebanggaannya itu. Suara lembut milik putri kesayangannya, Gwen Garcia. Chef muda yang belakangan ini namanya tengah naik daun pasca berhasil memenangkan sebuah kejuaraan memasak. Nama putrinya juga kian mentereng setelah masuk surat kabar dengan tajuk ‘Pemilik Baru La Vie En Rosé’. Toko pastry yang memang sudah memikat banyak hati kini dimiliki sang putri.
Kehilangan anak tirinya telah membuka jalan bagi putrinya untuk semakin bersinar dan dikenal masyarakat. Kehilangan Lucciane satu minggu yang lalu, sempat menarik perhatian dan simpati publik. Mengingat Lucciane adalah putri dari mendiang Chef terkenal pemilik gelar Michellin Star Chef sekaligus pemilik resmi La Vie En Rosé’ setelah pemilik pertama meninggal dunia.
Madam Gie juga sempat membuat laporan pada pihak kepolisian soal hilangnya Lucciane. Namun, sebelum itu ia tentu saja terlebih dahulu membuat Lana—satu-satunya saksi mata tutup mulut. Baru lah rencana yang telah disusun dijalankan. Karena tidak ada saksi, terlebih dua pembunuh bayaran yang menjadi pihak eksekusi juga menghilang, Madam Gie bisa bernafas lega. Rencananya sejauh ini berjalan dengan lancar tanpa hambatan.
“Apa Alexandro membawa kabar soal gadis itu?” pertanyaan itu dilontarkan Gwen setalah mengambil posisi duduk di depan sang ibu.
“No, sweetheart.” Madam Gie menjawab dengan tenang.
“And then?”
“Cuma sedikit tambahan pekerjaan bagi Alexandro,” jawab Madam Gie seraya tersenyum simpul.
“Jadi gadis itu benar-benar sudah tewas mengenaskan?”
“Pelan kan suara mu, sayang. Jangan sampai tembok mendengar kata-kata jahat itu keluar dari bibir cantik mu,” kata Madam Gie memperingati.
Gadis yang hadir dengan dress model huge shoulder warna soft latte yang menciptakan kesan classy nan anggun itu mendengus. Penampilannya dipermanis dengan gaya rambut yang simple, namun tambahan beberapa perhiasan sebagai penunjang tetap menampilkan kesan glamour. “Tapi, dia benar-benar sudah musnah dari muka bumi ini, ‘kan, Mom?” tanyanya, tak ambil pusing.
Madam Gie tersenyum simpul seraya mengangkat cangkir berisi hot oolong tea. Menghirup aroma yang tercipta sebentar sebelum menyeruputnya. Membiarkan rasa unik yang hadir dari minuman hangat tersebut membasahi tenggorokan. Baru bibirnya berbicara. “Kemungkinan besar tubuhnya sudah habis tercabik-cabik binatang buas.”
Senyum simpul itu kini menular pada sang putri. Pemilik surai pirang keemasan itu tampak puas dengan jawaban sang ibu. “Aku turun bersedih mendengarnya. Namun, aku juga berharap itu yang terjadi kepada Lucciane. Adikku tersayang.”
🦋🦋🦋
“Luc, kemari lah.”
Instruksi itu diberikan si pemilik surai merah keemasan yang begitu indah ketika tertimpa cahaya kepada seekor rubah merah yang sudah bisa bergerak dengan lincah kembali. mahluk berbulu itu saat ini sedang bermain dengan segulung benang wol. Terhitung sudah lima hari Lucciane merawat Lucy—rubah merah yang waktu itu ia tolong.
Ternyata hewan berbulu fluffy itu mudah jinak di tangan Lucciane. Tingkahnya yang menggemakan terkadang mirip seekor anak anjing, kadang kucing. Lucy benar-benar menjadi hiburan tersendiri bagi Lucciane.
Semenjak ada Lucy, Lucciane jadi punya kesibukan. Ia tidak perlu lagi mengikuti La’ti kesana-kemari, atau menganggu Marry di dapur. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dan taman bersama Lucy. Selama kebersamaan itu pula, Luccane belum kembali dari London. Padahal Lucciane sudah ingin sekali mengucapkan terima kasih, supaya tidak ada lagi perasaan mengganjal di hati.
Kepergian Luccane dan Sebastian ke London beberapa hari ini mempermudah Lucciane untuk mencari tahu. Sebenarnya apa yang tersembunyi di balik bangunan Luccane The Palace. Sejauh ini ia belum menemukan apa-apa, selain kejanggalan-kejanggalan yang semakin banyak bermunculan. Salah satu contoh, para penghuni Luccane The Palace itu punya karakteristik yang hampir sana. Mulai dari bersikap kaku, minim ekspresi dan selalu tampak dingin. Namun, ketika diajak bicara, mereka akan merespon dengan baik. Selain itu Lucciane juga jarang melihat mereka melakukan rutinitas layaknya manusia normal, salah satunya adalah rutinitas makan dan minum.
Selama tinggal di Luccane The Palace, Lucciane hanya pernah melihat Luccane makan sekali saat jamuan pagi. Sedangkan para penghuni lain ia tidak pernah melihat mereka makan atau minum. La’ti dan Marry jadi pengecualian, karena mereka tetap mau makan di depan Lucciane saat Lucciane menyodorkan cake buatannya beberapa hari yang lalu. Selain itu, masih ada beberapa hal lain yang patut Lucciane curigai.
“Luc, apa kamu mendengarnya?” tanya Lucciane saat Lucy mendekat dan naik ke pangkuannya.
Lucciane kembali mendengar suara yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Suara lolongan predator malam.
Suara-suara itu terdengar begitu dekat dari arah luar jendela. Entah dari mana asal suaranya, namun Lucciane dapat mendengar dengan begitu jelas. Itu berarti hewan-hewan itu berada tak jauh dari wilayah Luccane The Palace. Selain suara lolongan predator malam, belakangan Lucciane juga kerap mencium bau darah segar pada beberapa tempat. Bau itu biasa tercium di malam hari, terutama saat Lucciane keluar untuk mengambil air atau sesuatu.
“Apa itu suara milik kawanan serigala?” lirih Lucciane seraya membelai bulu fluffy berwarna merah milik Lucy. “Atau milik kawananmu?” kali ini pertanyaan tersebut dilontarkan untuk Lucy. “Dari yang aku tahu, rubah merah itu bisa mengeluarkan berbagai macam tipe suara. Bisa sampai dua puluh delapan tipe suara bahkan lebih.”
Lucciane memang tak begitu yakin, namun hipotesa itu bukan tanpa alasan. Rubah punya rentang vocal yang luas. Itu kenapa mereka bisa mengeluarkan berbagai macam tipe suara berbeda untuk berkomunikasi dengan kawan-kawannya. Namun, bukan berarti mereka bisa meniru suara hewan lain.
“Berarti itu bukan suara kawananmu, Luc,” pungkas Lucciane dengan tangan masih mengelus Lucy. Di tengah-tengah kegiatan tersebut, bau darah segar kembali tercium. Kali ini baunya sangat pekat. “Dari mana datangnya bau ini?”
Lucy tampak bergerak-gerak gelisah dalam pangkuan. Lucciane menyadari hal tersebut. “Kamu juga menciumnya, Luc? Perlu kah kita mencari tahu?”
Apa Lucciane terganggu dengan bau menyengat itu? jawabannya tentu saja iya. Bau anyir darah sangat menganggu indra penciuman. Lama-kelamaan bahkan mampu membuat Lucciane pusing dan mual.
“Haruskan aku mencari dari mana sumber bau ini berasal?” pikirnya sekali lagi.
🦋🦋🦋
Semoga suka 🖤
Jangan lupa rate bintang 5 🌟 like, vote, komentar, follow Author, share, tabur bunga sekebon dan tonton iklan sampai selesai 😘
Tanggerang 28-12-23
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
anisa f
brti bnr kurama itu, cm ekornya satu 🤭😂
2024-02-25
0
Sergiy Karasyuk Lucy S.K.L.
like + 5🌟 😎
2023-04-04
1
Queen Bee✨️🪐👑
by the way, lucianne masih hidup yaa😌
2023-02-22
1