“Yelda, kita tidak bisa terus di sini, aku yakin ayahmu bakal menyuruh prajurit untuk mencarimu.” Haaland menyadari bahwa posisi mereka berdua dalam bahaya.
Yelda masih bersandar di bahu Haaland, tubuhnya terasa sangat lemas, dia masih bisa merasakan air-air sungai itu memegangnya erat dan tak mau melepaskan tubuhnya.
“Ayo, Putri Yelda, aku akan membantumu, setidaknya kita sudah dekat dengan gerbang Galantris,” kata Haaland, tetapi Yelda masih terduduk lemas.
“Baiklah, aku akan meggendongmu.” Haaland mengangkat Yelda ke punggungnya, membawa serta gadis itu menuju gerbang Galantris yang sangat ia kenal di mana letaknya.
Pemuda itu melangkahkan kakinya mengikuti arah arus sungai. Keadaan di tepian sungai sangat tidak terawat, rumput tinggi menjulang sampai ke lututnya, becek dan paving-paving sudah hancur. Padahal 5 tahun lalu ketika Galantris masih menjadi layaknya kota yang berjaya, seluruh area sungai sangat bersih dan menjadi tempat berbagai ikan tinggal.
Haaland menggunakan sihir agar jejaknya tidak membekas di antara rumput-rumput itu. Ia yakin jika pagi nanti bakal ada orang-orang yang mencari Yelda.
Ia sudah sedari tadi merasakan bahunya semakin berat, ternyata Yelda terlelap di punggungnya, pantas saja, gadis itu belum tidur semalaman.
“Ini dia, Galantris. Rumahku, rumahku yang malang,” gumam Haaland.
Ia celingukan, tak ada penjaga, biasanya bakal ada beberapa penjaga untuk mengawasi gerbang Galantris, memastikan bahwa tidak ada Galantrian yang melarikan diri dengan kegilaan mereka dan membuat kekacauan di mana-mana
“Para penjaga itu seharusnya tetap berjaga, tidak malah tertidur di pos mereka,” gumam Haaland yang melongok ke pos penjaga, mereka tengah tertidur pulas dengan bibir yang menganga. “Tapi syukurlah, dengan begitu aku bisa masuk dengan mudah.”
Dan benar saja, walaupun gerbang itu tergembok, Haaland bisa menggunakan kekuatan tangannya untuk membuka gembok itu, bahkan hal itu terasa sangat mudah baginya.
Namun ada satu masalah, gerbang itu berbunyi ketika ia membukanya, akibat sudah lama tidak terurus. Bunyi berdecit dari setiap gesekan engsel benar-benar berhasil membuat Haaland jantungan, ia tak suka dengan bunyian seperti itu.
“Akk,” pekik Haaland.
“Semoga saja mereka tidak terbangun,”
Haaland berhenti sebentar ketika ia merasakan gerakan di punggungnya, ternyata Yelda hanya membenarkan posisi kepalanya, lalu kembali terlelap.
Satu dorongan lagi dan mereka bakal bisa masuk ke Galantris yang kumuh.
Cieet ...
Srett ...
Bunyi itu terdengar lebih nyaring, Haaland benar-benar tidak tahan, dia tidak ingin mendengar bunyi itu lagi, begitu juga ia tidak mau para penjaga bangun karena bunyi menusuk telinga itu.
Haaland mendongak untuk mengintip ke pos penjaga, syukurlah mereka masih terlelap.
Satu langkah Haaland masuk ke gerbang Galantris, pendar-pendar redup terpancar dari kakinya. Dua langkah, dan ia sudah berada di tanah ajaib yang terkubur oleh kekumuhan.
Sesuatu terjadi dan Haaland tidak terkejut dengan hal itu, tubuhnya mengeluarkan pendar tipis, rambut pirangnya menjadi semakin terang, dan mata birunya juga semakin cerah. Galantrian sejati.
“Gawat! Jangan sampai mereka terbangun sebelum aku mentutup gerbang ini.” Haaland celingukan ke dalan kegelapan di sekitarnya, ia hanya berharap agar tidak ada Galantrian gila yang melihat pendarnya, atau ia bakal menjadi buronan mereka.
Haaland terpaksa mendorong gerbang itu dengan keras agar ia hanya perlu satu dorongan untuk menutupnya.
Crieet ...
Suara itu timbul dengan keras, memekakkan telinga semua orang.
“Apa yang terjadi?” gumam Yelda yang masih setengah tertidur.
“Tidak ada apa-apa, lebih baik kamu tidur lagi!” balas Haaland agar yelda tenang.
Penjaga-penjaga terlihat berdiri dari pos mereka, terbangun dan leangsung melangkah menuju gerbang.
Detak jantung Haaland sampai terasa dan terdenagr oleh Yelda tapi gadis itu tetap berusaha memejamkan matanya.
Haaland segera menyembunyikan dirinya ke balik tembok di samping gerbang, ia berharap cahaya tubuhnya tidak terlihat oleh penjaga-pejaga itu.
“Apakah ada Galantrian yang mencoba kabur?” tanya salah satu penjaga pada penjaga yang sudah bergerak cepat ke depan gerbang.
“Tidak ada, tidak ada apapun.” Penjaga itu memeriksa gembok, dan masih terkunci rapat. “Gembok masih aman, tidak ada Galantrian maupun orang asing di sekitar sini, aku rasa itu bunyi lain,” lanjutnya.
“Ah sialan! Mengganggu tidur saja!” balas penjaga yang masih di belakang.
Haaland mengatur nafasnya sedemikian rupa agar tidak terdengar oleh mereka, syukurlah gerakan tangannya cepat walau hanya menggunakan satu tangannya untuk mengembalikan gembok. Karena satu tangan lagi harus menjada Yelda yang terlelap di punggungnya.
“Syukurlah, Ya Tuhan.”
Setelah ia rasa tidak ada suara sedikitpun dari luar gerbang, Haaland dengan hati-hati membawa Yelda ke sebuah bangunan yang dekat dengan keberadaanya.
Jalanan becek dan kumuh terlihat dari pendar yang menyinarinya, ia juga sempat terkejut ketika mendapati seorang Galantrian dengan wajah kering dan hampir membusuk terlelap di selokan. Ia mengalihkan wajah kepedihannya, ia sadar jika bangkai itu masih hidup, mereka bahkan bisa merasakan lapar dan sakit.
Syukurlah pagi petang itu Galantrian juga masih terlelap. Haaland membawa Yelda masuk ke bangunan yang dulunya adalah rumah sorang Galantrian, rumah itu berkubah, semua rumah di galantrian berkubah dan megah, tapi sekarang kemegahan itu terkubur oleh kegilaan dan kekumuhan.
Tiang-tiang rumahnya sebagian telah roboh, entah kenapa bangunan Galantris menjadi ringkih setelah Sihir Gao menghilang, seakan sihir itu adalah nyawa dan kota itu adalah raga. Seperti orang mati yang akan membusuk dan hancur menyatu dengan tanah, Galantris juga seperti itu.
Haaland dengan hati-hati menaiki sebuah tangga yang kelihatannya masih kokoh walaupun ia agak ngeri saat menaikinya.
Setelah sampai di atap, ia menurunkan Yelda dan membaringkannya di sebuah papan kayu yang dulunya mungkin adalah meja. Yelda hanya menggeliat sedikit saja lalu kembali terlelap.
Haaland memandang Yelda dengan senyuman khas, menikmati wajah sempurna dan alamiah dari gadis itu. Haaland tanpa sadar telah jatuh hati pada Yelda sejak putri itu menyelamatkannya dari kejaran bangsa Mores.
Pemuda itu melepaskan jubahnya yang sudah agak mengering akibat kehangatan yang tercipta saat Yelda berada di punggungnya. Ia lalu menyelimutkannya ke tubuh Yelda, menyingkirkan sedikit helai rambut yang menutupi wajah gadis itu.
Entah apa yang ada di pikiran Haaland, pemuda itu melepas baju dalamnya yang masik basah kuyup, dan menembuskan hawa dingin ke dadanya saat angin menyerbu.
Sekarang ia tak kedinginan lagi, adanya Yelda memberikan suatu tiupan hangat yang mengembalikan semangatnya dalam memulihkan Galantris. Gadis itu mungkin bakal menjadi penyelamat Galantris.
“Aku mencintaimu, Yelda.” Haaland bersandar pada tiang, dadanya yang tekanjang bersinar terang seakan hatinya tengah berdenyut kencang saat ia berdekatan dengan Yelda.
Haaland menggantungkan bajunya yang basah pasa potongan tiang itu, lalu meletakkan dua pedang yang masih tergantung di pingganggnya, pedang Yelda dan miliknya.
Haaland merenungi semua dari atap bangunan, melihat bagaimana Gaantrisnya hancur, bayangan ketakutan seakan timbul dari semua sudut yang ada di Galantris, jiwa-jiwa yang kehilangan kejiawaanya, raga-raga yang kehilangan keragaannya.
Haaland bingung kenapa dia tidak menjadi seperti mereka, kenapa dia masih normal, bahkan dia masih memiliki Sihir Gao, walaupun sihir itu sangat lemah. Kemana sihir itu sebenarnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
khey
yah habis..
up lagi donk thor..
penasaran nih
2023-01-25
2
Gafari Rasiwan
mantapppp udh mampir ya thir
2023-01-24
1
Shopia Asmodeus
Penjaga-penjaga bisa di ganti gak Thor dengan Para penjaga. heheh
2023-01-24
1