Kasurnya memang ‘twin’ tapi jenis yang ukuran satu badan. Sudah pasti kalau tidur berubah posisi bakalan jatuh ke lantai.
“Nggak ada kasur lain Mas?” tanyaku ke ART yang mengantar kami. Pria tinggi dengan rambut gondrong dan wajah bagaikan model ****** ***** bermerk. “Extra bed atau gimana gitu?”
Si Mas-Mas misterius hanya tersenyum tipis dan sinis padaku.
Sekilas ada wangi ubi rebus.
Lalu samar-samar ada bau prengus seperti kambing.
Ku urungkan pertanyaan lain, kuterima saja yang diberikan.
Karena aku seketika langsung tahu kenapa ART di sini semuanya laki-laki.
“Makan malam akan kami antar ke kamar, di atas jam 7 tidak boleh ada yang keluar dari pintu itu,” kata si MMM.
Mas Mas Misterius.
“Kalian bisa memesan makanan apa pun yang kalian suka,” kata si MMM lagi.
“Saya apa saja yang disediakan,” kata Bu Meilinda sambil meletakkan tasnya di meja rias klasik.
“Saya... Paket Hemat McD, kopi, kentang goreng, dan McFlurry yang Oreo. Dan kalau bisa dipesan dari McD Cabang Buaran,” kataku.
Si MMM menaikkan alisnya.
Bu Meilinda menepuk bahuku kencang.
“Dia bilang apa pun yang kita suka, McD cabang Buaran kokinya paling pintar masak menurut saya,” desisku.
Sebenarnya alasanku memesan makanan modern dan fastfood karena mereka memiliki standar sendiri dalam hal rasa dan kemasan. Jadi sudah pasti rasanya tidak bisa dimodifikasi. Sesuatu yang memang harus dibeli di dunia manusia, dan bukan makanan yang setelah kita makan berubah jadi tanah dan daun kering. (Maksudku makanan yang dibuat oleh bangsa jin).
“Sekalian saja kamu pesan McD yang ada di Los Angeles,” sindir Bu Meilinda.
Benar juga sih...
“Baik, saya belikan. Jadi mau McD yang dari Los Angeles atau yang di Buaran?” tanya si MMM lagi.
Aku malah jadi bingung.
**
“Apa yang kamu pikirkan, Dimas?” tanya Bu Meilinda sambil duduk di salah satu sofa.
Ruangan ini sangat luas, rumahku bahkan kalah luas. Sebagai perbandingan, kalau rumah ibuku, ke kanan ke kiri mentok, Cuma duduk saja tangan kanan bisa meraih cangkir kopi, tangan kiri bisa ambil remote tv dan kaki bisa diangkat ke meja depan.
Ya mungkin karena badan kami gede-gede, standar orang bule, yang kalo duduk di sofa nggak bisa dempet-dempetan, harus satu sofa satu orang biar bisa selonjoran.
Tapi ruangan ini... mungkin ada 100m2 satu ruangan.
Yang herannya kenapa kasurnya kecil sendiri ya, seperti sengaja agar bisa disatukan dan membuat kami tidur berdampingan.
“Ibu tidur di sofa, saya tidur di kasur,” kataku.
“Jangan kurang ajar kamu!”
“Ya itu yang saya pikirkan,”
“Tidak saya kabulkan!”
“Iya saya tahu,” gerutuku sambil berjalan ke arah lemari dan kubuka isinya.
Lengkap.
Pakaian laki-laki dari mulai kaos kaki sampai kaos oblong semuanya ada.
Bahkan disediakan alat cukur dan make up.
Sementara di lemari sebelahnya, semua kebutuhan wanita dari skincare sampai tas dan sepatu.
Kuambil salah satu parfum di laci, kubaca labelnya. Kuambil lagi salah satu celana boxer, kubuka kemasannya dan kubaca juga labelnya. Setelah itu kuletakkan dan kuambil perhiasan emas berbentuk rantai. Kuperhatikan benar-benar.
Semua buatan Jerman.
“Kalau jaminannya gedung Jarvas, jadi kita bisa bertemu dengan Pak Gerald dong bu?” tanyaku.
“Ya sudah pasti dia harus ada untuk teken kontrak perubahan jaminan,”
Kesempatanku untuk mengenal lebih dalam mengenai keluarga Bagaswirya dan kenapa Putri bisa tahu mengenai keluargaku. Apa hubungannya dengan bapak dan ibuku.
“Bagaswirya tidak butuh kredit, Bu,” desisku sambil menutup lemari pakaian.
“Kita butuh kredit darinya. Bagaswirya menyanggupi membayar bunga tinggi untuk pinjamannya. Kamu kan tahu kondisi keuangan kita. Bunga sebesar itu bisa untuk operasional Bank. Lagipula, Bagaswirya jenis nasabah yang taat membayar cicilan, jadi kita tak perlu takut merek atak mampu membayar,”
“Jaminan yang mereka beri ke kita bernilai 500 persen dari jumlah pinjaman,”
“Kurang baik apa coba keluarga ini,”
“Dan kenapa insentifnya masuk ke Bu sarah? Dia gembar-gembor sombong tuh ke orang-orang. Mengaku kenal dengan Bagaswirya,”
“Biar saja. Semua juga tahu kenyataannya,” Bu Meilinda mengibaskan tangan.
Tak berapa lama, ponselnya berdering.
Ku intip sekilas, ada nama Gunawan Ambrose di sana.
Aku semakin merasa curiga, tapi kembali lagi, itu bukan urusanku.
“Kamu mau pakai kamar mandi tidak?” tanya Bu Meilinda.
Aku mencibir, “Tidak,”
“Oke,” Bu Meilinda meraih ponselnya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Aku sempat mendengar ia mengangkat telepon sambil menyapa : “Hey, Honey!”
Panggilannya terhadap si Gunawan Ambrose adalah suatu keanehan bagiku, tapi aku tidak tertarik untuk cari tahu.
**
Aku merokok di balkon sambil menatap matahari senja di ufuk Barat mulai tenggelam. Kuperhatikan aktivitas di bawah. Kulihat Pak Sapto, supir Bu Meilinda sedang memeriksa mesin mobil bersama dua orang asisten rumah tangga.
Lalu kulihat ke atas, kabut perlahan mulai turun dari arah pegunungan.
Rumah ini besar dan mewah, dengan cat putih dan ditata bergaya klasik modern. Tapi bagiku, semua kondisi di rumah ini adalah suatu keanehan.
Perasaanku mengatakan, rumah ini sudah sangat lama tidak ditinggali. Perabotannya sangat lengkap namun kesannya malah seperti display di toko perabotan asal Swedia. Aku menekan telunjukku di teralis beranda, bersih.
Tanpa debu sedikit pun, seakan sengaja baru dipoles hari ini.
Ini juga aneh.
Ada berapa kamar di rumah ini, mereka bahkan memoles teralis beranda. Entah saking rajinnya, atau memang disetting hanya kamar yang ditempati saja.
Lalu cat di rumah ini tampaknya baru saja ditorehkan. Aku bisa mencium samar-sama bau cat yang mahal, wangi tapi ala kimia.
Lalu... yang paling mencolok adalah isi lemari. Semua masih tersegel di plastiknya, lengkap dengan barcode.
Bagaikan baru dibeli barusan.
Kabut dari atas pegunungan mulai turun, diiringi dengan nyala kunang-kunang.
“Pak Dimas,” kudengar seseorang memanggilku dari bawah.
Si MMM tadi, mendongak ke atas, ke arahku, sambil menenteng tas dengan logo McD. Pesananku.
Rasanya baru beberapa menit dia keluar, apa dia beli McD di dekat sini? Memangnya ada ya gerai fastfood di Hambalang?
“Sudah hampir malam, silakan masuk ke dalam,”katanya.
Aku menopang daguku di pegangan pagar beranda sambil menatapnya.
“Usia kamu berapa?” tanyaku bermaksud memancingnya.
“Apa itu penting?” dia balik bertanya.
“Sepertinya kamu yang tertua di sini, terlihat dari semua yang terlihat segan kalau di dekat kamu. Saya tebak... mungkin sekitar 500-1000 tahun?”
Dia hanya menatapku tanpa ekspresi.
Lalu menoleh ke belakang, ke arah kabut.
“Pak Dimas lihat asap di atas itu?” tanyanya. Dia bahkan belum menjawab pertanyaanku.
“Itu kabut,” kataku.
“Itu rombongan kuntilanak,” katanya meralatku.
Bulu kudukku merinding.
“Masuk ke dalam ya Pak, pastikan Bu Meilinda tidak keluar kamar,” kata si MMM sambil berjalan masuk ke dalam vila.
Aku pun menurut masuk ke dalam kamar, lalu mengetuk pintu kamar mandi.
“Bu,” panggilku.
“Saya sibuk, kamu bilang tadi nggak mau pakai kamar mandi,” ujarnya dari dalam.
“Kembarannya Bu Meilinda turun gunung tuh,” desisku.
“Apa sih kamu tak jelas!” serunya dari dalam.
Ih, maksudku bilang begitu kan biar dia keluar kamar mandi dan menemaniku di luar.
Aku juga ngeri soalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Kinasih bawa rombongan 🫣🫣🫣🫣🫣
2024-09-09
0
Heti Komala sari
bawahan kurang ajar si dimas ini
2024-02-09
0
May Keisya
🤣🤣🤣🤣
2024-01-17
0