Office Hour
Suasana hari ini lumayan panas.
Bukan, aku bukan membicarakan mengenai cuaca. Tapi kondisi di dalam kantorku.
Setelah semalaman berkutat dengan temuan untuk cabang-cabang kami di seluruh negeri, yang jumlah diktatnya untuk satu cabang bisa setengah lemari, sementara kami harus memeriksa sebanyak 10 cabang dalam sehari.
Itu sehari...
Masih ada 200 cabang lagi setelahnya.
Kepala rasanya hampir berasap.
Di saat seperti itu masih sempat-sempatnya anak buahku membicarakan mengenai...
“Bu Meilinda bercerai!!” seru Gio sambil lari-lari masuk ke ruangan Audit.
Mau bilang ‘Bodo Amat’ tapi semua staff malah berlarian mengerubunginya. Mau tak acuh tapi Bu Meilinda atasan kami.
Dan tentu saja perceraian termasuk hal yang bisa mengganggu kinerja seseorang.
Sambil mengetik hal-hal penting, telinga ini menguping pembicaraan di sudut ruangan.
Perasaan, aku mendengar kata-kata ‘ketok palu’ dan ‘sudah resmi’ dan ‘suaminya terbukti berselingkuh’, dan ‘selingkuhnya sama laki-laki’.
Jemariku berhenti.
Tunggu, itu hal yang menarik.
Terbukti berselingkuh dengan laki-laki.
Kok rasanya mau ketawa ya.
Sudahlah urusan orang lain...
Aku pun kembali mengetik.
“Pak Sebastian marah besar dan si mantan suami ‘dibuang’ ke Rusia,”
Aku kembali berhenti mengetik.
Dibuang Ke Rusia.
Kata-kata itu lumayan parah menurutku. Karena kudengar Rusia anti kaum pelangi. Kalau ketahuan sama Pemerintah sana biasanya langsung dipenjara. Tapi tunggu dulu. Ini hanya gosip belaka, lebay-nya staff ku, atau memang sungguhan?!
Ah, tapi sudahlah... urusan orang lain.
“Gara-gara itu Bu Meilinda katanya mau memecat semua orang di kantor ini yang memiliki hubungan pertemanan dengan mantan suaminya,”
“Wagilaseh,” ujarku.
Duh, keceplosan ngomong.
Semua menatapku dengan keheningan yang aneh.
“Pak Dimas dengerin kita juga toh dari tadi,” desis Maryanti. Ia tersenyum jahil. Senyum yang sama terpatri di biang gosip yang lain.
Aku melirik mereka sekilas.
Dan kubalik bertanya, “Apa?”
Mereka saling menatap dan menyeringai, “Bu Meilinda, Pak Dimaaas. Sudah resmi bercerai,”
“Oh, Good,” desisku sambil berlagak mengangguk.
“Pak Dimas bukannya kenal sama mantan suaminya ya? Hati-hati Pak, katanya yang kenal sama Mantan suaminya bisa terancam dipecat!”
“Suaminya juga kenal sama Menteri Sosial dan Menteri Pendidikan. Terus mereka juga mau dipecat?” tanyaku.
“Maksudnya yang ada di kantor ini Paaaak,”
“Hak kita sebagai pegawai dilindungi Departemen Ketenagakerjaan. Nggak bisa CEO bertindak semaunya. Tapi nggak papa sih kalau mau pecat saya, asal bayar take home paynya full saja sesuai ketentuan perusahaan 5 kali lipat,”
Semua mencibir, “Siapa juga yang mau mecat Pak Dimas, bisa acak-adut divisi kita,” aku mendengar salah satunya berbisik.
“Iya, Bu Meilinda kan ketergantungan akut sama Pak Dimas,”
“DIMAAAASSSSSSS!!!”
Terdengar jeritan dari ruangan di ujung. Dengkulku langsung kejedot bawah meja saking kagetnya.
“INI KENAPA LAPORAN DARI OJK HANCUR GINI HAAAAH!!!” Seru... eh bisa dibilang itu sebuah jeritan 6 oktaf lebih ngalah-ngalahin Mariah Carey. Karena benar-benar cempreng dan membuat semua kaca jendela bergetar.
(Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB).
Aku menatap ke arah staff ku, “Siapa yang bikin Pelaporan?” bisikku.
Sekitar 5 orang anak buahku mengacungkan tangannya dengan wajah super khawatir. “P-pak, bukannya hancur, tapi memang ada klausula dari OJK untuk memperbaiki sedikit mengenai metode akuntansinya sesuai PSAK terbaru,”
“SAYA YANG KESANA ATAU KAMU YANG KE SINI, DIMAAAAAS!!” terdengar jeritan lagi.
Aku menyeringai, “Pilih mana?” tanyaku ke anak buahku.
“Pak Dimas ih! Masa masih sempet bercanda sih!” gerutu salah satu staff.
“Habis lucu,”
“Apanya yang lucuuu?”
Terdengar suara langkah kaki menghentak dari ujung koridor.
Anak Buahku langsung berlarian, ada yang ngumpet di balik lemari, di bawah meja, dan di balik gorden.
Yang lain pura-pura sedang sholat Dhuha berjamaah.
Aku...
Nyeruput kopi.
Biar pandangan cerah.
“Pak Dimas, Ingat!” Gio yang sedang bersembunyi di dalam lemari mengintip sedikit, “Jangan dilawan, dia emosinya lagi labil!”
“Kapan nggak labilnya?” tanyaku.
“Eh, bener juga. Sabar-sabar ya Paaaaak,” dia kembali ngumpet di dalam lemari.
“Kayaknya sabar terus deh setiap hari,” desisku.
“DIMAS!!” sebuah seruan melengking di dalam ruanganku.
BRAKK!!
Dokumen tebal dilempar ke atas mejaku. Untung sempat kuselamatkan gelas berisi kopi Liongku.
“Pagi, Bu. Saya baru mau ke ruangan ibu,” sapaku sekenanya. Padahal sih tidak ada niat mengangkat pantatku untuk ke arah ruangannya.
“Ini apa hah?! Kamu bisa kerja nggak sih?! Ada dua catatan dari OJK? Kok Banyak banget Hah?!”
Wajah Turki-Amerika, bibir tebal, kulit mulus, dengan dada yang-
“Kamu Auditor Dimaaaas! Masa yang begini kamu nggak becus?! Hah? Bisa kerja nggak? Kalo nggak, sana resign!!”
Lah, kalau resign nggak dibayar pesangon dong? Kalau dipecat dibayar pesangon tapi tidak dapat surat rekomendasi.
Pilih mana ya?
Sebentar, kupikir dulu.
“DIMAS!!” BRAKK! Dia gebrak meja.
Pikiranku langsung kembali ke realita.
“Pelan-pelan Bu, lagi pada sholat,” daguku menunjuk ke arah anak-anak yang pura-pura berjamaah.
Bu Meilinda memicingkan mata menatap kumpulan yang kini sedang ruku’.
“Oki, Handri, Faisal dan Tenny saya lihat tadi pagi sudah sholat di Mushola. Faisal malah yang ngimamin,”
“Buh!” tawaku langsung pecah.
Sumpah, nggak tahan.
“Bubar atau saya proses,” ancam Bu Meilinda dengan nada rendah.
Para staffku langsung bubar keluar ruangan. Termasuk yang di dalam lemari, di balik kabinet, di balik gorden, di bawah meja.
Semua berlarian keluar ruangan.
Aku ditinggalkan sendiri.
Tega nian.
Bu Meilinda melotot padaku sambil berkacak pinggang.
“Apa pembelaan kamu?” tanyanya. Dia bertanya seakan dia mendengarkan pembelaanku. Yang biasanya tidak bakal dia pertimbangkan. Disanggah ya iya.
“Hem, maaf bu,” hanya itu jawabanku. Biar urusannya lancar.
“Gampang banget kamu minta maaf,”
Ternyata aku salah, malah makin runyam pas minta maaf. Lah terus bagaimana?
“Itu kan Cuma konsep bu, bukan hal besar,”
“Bukan hal besar! Kamu terbiasa meremehkan kalau saya perhatikan selama ini!”
Aku kesal.
Tiba-tiba saja aku kesal. Karena dia berlebihan, kapan aku meremehkan sesuatu? Aku berada di posisi ini juga tidak mudah kugapai, ada proses naik turun yang harus dijalani.
Yang ada dia yang kelewat lebay!
“Ya memang begitu caranya Bu! Kita kirim konsep, mereka perbaiki, baru kita kirim draft resmi, mereka beri masukan lagi! Namanya juga draft! Pasti ada yang harus diperbaiki!” aku berdiri dengan nada suara agak meninggi.
“Kan kamu bisa mengusahakan dari draft sudah beres jangan ada perbaikan! Ini masalah kualitas SDM, Dimas!”
“Coba tunjukan ke saya perusahaan di negara ini yang sekali bikin konsep ke OJK langsung di terima tanpa ada perbaikan! Silakan gantikan posisi saya!” hardikku.
“Kamu itu selalu saja menjawab kalau saya sedang bicara!”
“Bukannya tadi ibu bertanya? Lagian masa soal begini saja ibu tidak tahu sih? Sudah berapa lama jadi Direktur sih bu?!”
“Tidak bisa kamu sedikiiiiit saja menghormati atasan kamu hah? Ego kamu itu ditekan dong Dimas! Mending kamu cerdas, nah bikin beginian saja bisa bolak-balik perbaikan!”
“Perbaiki sendiri saja bu, kalau tidak puas dengan kinerja saya. Saya mau lihat sampai mana ibu bisa mengerjakan kemauan OJK,”
“Kamu ini Cuma karyawan! Lagak kamu seperti Tuan Besar,”
“Saya memang hanya karyawan, tapi kita berdua manusia. Nggak usah bawa-bawa harta bu, nggak dibawa mati soalnya,”
Kami berdua terdiam.
Sesak rasanya nafas ini. Emosi sudah di puncak, mana aku kurang tidur karena mengerjakan audit untuk cabang-cabang kami.
Kami berdua berdiri berhadapan sambil mengatur keluar-masuk oksigen.
“Perbaiki segera, hari ini harus dikirim ulang,” geramnya dengan nada rendah.
Lalu ia pergi.
Extra banting pintu.
Lama-lama kucopot pintu ruanganku biar nggak teraniaya. Kasihan si pintu nggak salah apa-apa dibanting.
Eh, tapi tidak bisa,
Divisi Audit harus punya pintu dengan sensor khusus karena banyak dokumen ‘Rahasia’ di sini. Bagaimana kalau kuajukan budget untuk diganti saja dengan pintu otomatis, macam yang ada di kantor-kantor superhero gitu? Kan enak selain aku tidak ke-brisikan karena tidak ada yang banting-banting pintu, Bu Meilinda juga tidak akan sudah payah membantingnya, si pintu udah nutup sendiri begitu bokong semoknya itu lewat.
Kenapa jadi mikirin pintu ya, overlimit kayaknya otakku.
Butuh Kopi cangkir ketiga.
“Mas Dimas,” Syarif, OB kantor, melogok takut-takut ke ruanganku. Aku hanya menoleh tanpa suara.
“Mau tambah kopinya?”
Aku langsung mengangguk, “Jangan ditambah gula, campurin tolak angin dua saset,”
“Siap Mas Dim!” sahut Syarif sambil gerakan menghormat dan menyeringai.
Sepertinya dia kasihan padaku.
“SYARIF! KALO BIKIN KOPI JANGAN TERLALU BUKET! BISA-BISA SETOPLES HABIS CUMA BUAT DIMAS!!” Seru Bu Meilinda dari ujung koridor.
Sempat-sempatnya dia memperhatikan kebutuhan per-kopi-anku.
Syarifmenyeringai padaku merasa tak enak, “Mas Dimas mau kubeliin kopi saset aja?”
“Nggak ah, bisa diabetes gue,” (sehari aku bisa ngopi sampai 5-6 cangkir). “Pake aja yang ditoples nanti keburu mubazir…”
“Oke Maaaas,”
“Sarif!” bisikku memanggilnya. Ia kembali melongok ke arahku “Yang Buket!” tambahku
Sarif hanya cekikian menanggapiku.
Bomat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Khomsa Veblita
mana ada sholat Dhuha berjamaah Thor, Dhuha itu gak boleh jama'ah, kudu sendiri2...
tapi buat othor ma gpp..biar lucu aja
2024-08-01
1
Rakmad Atika
cuma kopi campur jamur, sama2 herbal😁
2024-04-20
0
Rakmad Atika
aku langsung buka Shopee wkwkwk
2024-04-20
0