Ketika Pangeran Sepak Bola Sadar Akan Karir

Reza merasa tidak enak hati dengan Sena yang rela menggantikan posisinya di lapangan sepak bola. Dia tahu Sena juga suka bermain bola, tapi dia lebih memilih untuk membantunya mendekati Puteri Amelia Cantika, gadis yang sudah lama dia sukai. Reza berterima kasih kepada Sena, lalu masuk ke ruangan KPBM bersama Puteri.

Ruangan KPBM terasa sepi dan sunyi. Hanya ada Reza dan Puteri yang duduk di meja belajar yang berhadapan. Di sebelah mereka ada rak buku yang berisi berbagai macam buku pelajaran dan majalah. Di dinding ada papan tulis yang penuh dengan catatan dan gambar. Di pojok ruangan ada lemari yang berisi alat-alat tulis dan peralatan lainnya.

Reza ingin sekali mengutarakan perasaannya kepada Puteri, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia merasa gugup dan canggung. Dia melihat Puteri yang tampak anggun dengan rambut hitam panjangnya yang terurai, kulit putih mulusnya, dan mata coklatnya yang indah. Tapi dia juga merasakan dinginnya sikap Puteri yang acuh tak acuh padanya. Puteri seperti tidak tertarik sama sekali dengan kehadiran Reza di sampingnya.

Wanita dingin itu melihat ke luar jendela, menatap Sena yang sedang melakukan pemanasan menjelang babak kedua. Dia merasa bosan dan kesal dengan Reza yang mengikutinya ke ruangan KPBM. Dia tidak suka Reza yang selalu mencoba mendekatinya dengan berbagai cara. Dia merasa Reza terlalu lemah dan pengecut.

Sementara itu, di ruangan tata boga, Ria dan Santi bersama Anna sedang membuat kue coklat untuk dijual di kantin sekolah. Mereka asyik mengobrol dan tertawa sambil mencampur bahan-bahan kue. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di ruangan KPBM antara Reza dan Puteri.

“Puteri, saya ingin bicara sesuatu dengan Anda,” kata Reza, duduk di kursi ruangan kelas Sosial, menatap Puteri Amelia Cantika yang duduk di seberangnya dengan tatapan penuh harap.

“Apa? Saya tidak punya waktu untuk omong kosong,” jawab Puteri, mengangkat alis, menatap Reza dengan dingin.

“Ini bukan omong kosong, Puteri. Ini penting. Saya…” ujar Reza, menelan ludah, merasa gugup.

“Penting? Penting bagi siapa? Bagi Anda? Bagi saya? Atau bagi orang lain?” potong Puteri.

“Penting bagi kita berdua, Puteri. Saya… saya…” lanjut Reza, menggigit bibir, mencoba mengumpulkan keberanian.

“Kita berdua? Jangan bercanda, Reza. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Kita hanya teman sekolah. Itu pun karena kebetulan,” dengus Puteri, memalingkan muka.

“Tidak, Puteri. Kita lebih dari itu. Kita…” sahut Reza, merasa tersinggung, menaikkan suara.

“Halo, Reza. Halo, Puteri. Saya bawa minuman untuk kalian. Es teh manis dingin. Segar sekali di cuaca panas seperti ini,” sapa Jupri, masuk ke ruangan dengan membawa nampan berisi tiga gelas es teh, tersenyum ramah.

“Oh, terima kasih, Jupri. Kamu sangat baik,” ucap Reza, menarik napas lega, bersyukur ada Jupri yang datang.

Puteri mengambil gelas es teh dari nampan, meneguknya tanpa berkata apa-apa.

Jupri duduk di samping Reza, melihat suasana yang tegang. “Eh, kalian sedang apa? Kok diam-diam saja?” tanyanya.

Reza menoleh ke Jupri, berbisik. “Jupri, tolong bantu saya.”

“Bantu apa?” tanya Jupri, mengerutkan dahi, bingung.

Reza menunjuk ke Puteri dengan mata. “Saya ingin mengungkapkan perasaan saya ke dia.”

“Apa? Kamu suka Puteri?” tanya Jupri, terkejut, menatap Reza dengan tak percaya.

Reza mengangguk pelan, malu.

“Wah, wah. Ini baru berita besar. Kamu berani sekali, Reza,” kata Jupri, tersenyum lebar, mengedipkan mata.

“Jupri, jangan begitu dong. Tolong bantu saya,” pinta Reza, merasa tidak nyaman.

“Baiklah, baiklah. Saya akan bantu kamu. Tapi kamu harus berani juga,” kata Jupri, menepuk-nepuk bahu Reza, memberi semangat.

Reza mengangguk lagi.

Jupri berdiri dari sofa, mengambil gelas es tehnya, berjalan ke arah Puteri. “Puteri, boleh saya duduk di samping Anda?” tawarnya.

“Silakan saja. Tapi jangan ganggu saya,” jawab Puteri, menatap Jupri dengan sinis.

“Saya tidak akan mengganggu Anda, Puteri. Saya hanya ingin mengobrol sedikit,” kata Jupri, duduk di samping Puteri, tersenyum manis.

Puteri mendengus.

Jupri melirik ke arah Reza yang masih duduk di sofa seberangnya, memberi isyarat dengan mata dan bibir agar Reza mendekat.

Reza mengerti maksud Jupri, bangkit dari sofa, berjalan gugup ke arah Puteri dan Jupri.

“Reza, ayo duduk di sini. Kita bertiga bisa ngobrol santai,” ajak Jupri, menyambut Reza dengan hangat.

Reza duduk di samping Jupri yang ada di samping Puteri.

Puteri merasa terjepit antara Reza dan Jupri yang sama-sama tersenyum padanya.

“Jadi, kalian tahu tidak? Besok ada acara besar di sekolah kita,” buka Jupri percakapan.

Reza menggeleng, pura-pura tidak tahu.

Puteri mengangkat bahu, tidak peduli.

“Besok ada lomba pidato antar sekolah. Dan salah satu pesertanya adalah Puteri Amelia Cantika,” lanjut Jupri.

“Benarkah? Kamu ikut lomba pidato, Puteri?” tanya Reza, terkejut, menatap Puteri dengan kagum.

Puteri mengangguk singkat, tidak tertarik.

“Wah, hebat sekali, Puteri. Kamu pasti pintar berpidato,” puji Jupri.

“Iya, benar. Kamu pasti bisa menang, Puteri,” ikut Reza memuji.

“Ah, tidak usah berlebihan. Saya hanya mencoba saja,” kata Puteri, merasa senang, tapi menyembunyikannya.

Jupri menyodorkan gelas es tehnya ke Puteri. “Ini, minum dulu. Biar segar.”

Puteri menerima gelas es teh dari Jupri, meneguknya.

Jupri berbisik ke Reza. “Ayo, Reza. Sekarang giliran kamu. Katakan sesuatu yang romantis ke Puteri.”

Reza merasa grogi, bingung mau bilang apa.

Jupri berbisik lagi. “Misalnya, katakan kamu bangga padanya. Atau katakan kamu ingin mendukungnya. Atau katakan kamu ingin mengajaknya pergi bersama.”

Reza mendapat ide, mengumpulkan keberanian. “Puteri…” panggilnya.

Puteri menoleh ke Reza, menunggu.

Reza menatap mata Puteri dengan penuh perasaan. “Puteri… saya… saya ingin mengajak Anda pergi bersama.”

Puteri terkejut, membelalakkan mata.

“Bagus, Reza. Lanjutkan,” bisik Jupri.

Reza melanjutkan. “Saya ingin mengajak Anda pergi bersama… ke acara lomba pidato besok. Saya ingin mendukung Anda. Saya ingin melihat Anda berpidato dengan hebat. Saya ingin melihat Anda menang.”

Puteri merasa terharu, tapi menyembunyikannya. “Reza… Anda…”

Reza memegang tangan Puteri dengan lembut. “Puteri… saya… saya suka Anda.”

Puteri merasa gemetar, tapi menyembunyikannya. “Reza…”

Jupri berdiri dari sofa, memberi ruang untuk Reza dan Puteri. “Baiklah, saya rasa saya sudah cukup mengganggu kalian. Saya akan pergi dulu. Selamat berduaan, ya.”

“Terima kasih, Jupri. Kamu sangat membantu saya,” ucap Reza, menatap Jupri dengan terima kasih.

“Sama-sama, Reza. Semoga berhasil,” kata Jupri, mengedipkan mata ke Reza.

Reza membawa Puteri ke ruangan ruang baca perpustakaan sekolah. Mereka duduk di meja yang bersebelahan, tapi tidak saling bicara. Reza membuka buku sejarah yang dia pinjam dari rak buku, tapi tidak membacanya. Dia hanya menatap halaman-halaman buku dengan kosong, sambil sesekali menghela napas. Puteri membuka komputer sekolah, lalu mengetik sesuatu di dokumen word. Dia sedang menyiapkan naskah pidato untuk lomba yang akan diikutinya besok. Dia tampak serius dan fokus, tanpa memperhatikan Reza yang ada di sampingnya.

Reza ingin sekali mengutarakan perasaannya kepada Puteri, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia merasa gugup dan canggung. Dia melihat Puteri yang tampak anggun dengan rambut hitam panjangnya yang terurai, kulit putih mulusnya, dan mata coklatnya yang indah. Tapi dia juga merasakan dinginnya sikap Puteri yang acuh tak acuh padanya. Puteri seperti tidak tertarik sama sekali dengan kehadiran Reza di sampingnya.

Akhirnya, Reza mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan. Dia berharap Puteri mau mendengarkannya dan menjawabnya.

“Puteri Amelia…” panggil Reza dengan suara pelan.

Puteri mengangkat kepala dari laptopnya, lalu menatap Reza dengan dingin. “Apa?” tanyanya dengan nada datar.

Reza merasa gugup, tapi tetap mencoba tersenyum. “Saya… saya ingin bertanya sesuatu,” katanya.

Puteri mengernyitkan dahi, lalu menghela napas. “Apa?” ulangnya dengan nada bosan.

Reza menelan ludah, lalu bertanya. “Kau tidak melakukan pertandingan sepak bola. Bukankah lawan kalian SMAN 14 itu cukup tangguh?”

Puteri mendengus, lalu menjawab. “Ya, saya tidak melakukan pertandingan sepak bola. Saya tidak suka sepak bola. Saya lebih suka membaca dan belajar.”

Reza merasa kecewa, tapi tetap mencoba melanjutkan percakapan. “Tapi… tapi kau tahu kan, saya adalah pangeran sepak bola di sekolah ini? Saya bisa membuat tim kami menang melawan SMAN 14,” katanya dengan bangga.

Puteri menatap Reza dengan sinis, lalu menjawab. “Oh, begitu? Kau pangeran sepak bola? Lalu kenapa kau tidak ikut pertandingan? Kenapa kau malah duduk di sini bersama saya?”

Reza merasa tersudut, tapi tetap mencoba menjelaskan dirinya. “Karena… karena aku yakin pasti akan menang meskipun di awal akan kalah tapi di tim itu ada seorang penyihir yang bisa membuat seluruh pertandingan menjadi menang untuk SMAN 105,” katanya dengan gugup.

Puteri tertawa kecil, lalu menjawab. “Penyihir? Siapa penyihir itu? Apa dia bisa mengubah bola menjadi burung atau membuat lawan menjadi kodok?”

Reza merasa malu, tapi tetap mencoba membela temannya. “Bukan… bukan begitu. Penyihir itu adalah Sena. Dia sebenarnya orang sangat hebat bermain bola. Dia bisa mencetak gol dari mana saja. Dia bisa mengubah jalannya pertandingan,” katanya dengan kagum.

Puteri mengangguk-angguk, lalu menjawab. “Oh, Sena? Saya tahu dia. Dia memang hebat bermain bola. Tapi dia juga hebat dalam hal lain. Sayangnya dia itu bodoh soal batasan dirinya,” katanya dengan senyum misterius.

Reza merasa penasaran, tapi juga cemburu. “Hal lain? Apa maksudmu?” tanyanya.

Puteri melirik ke arah lapangan sepak bola yang terlihat dari jendela perpustakaan. Dia melihat Sena yang sedang berlari-lari di lapangan dengan lincah dan gagah. Dia merasa tertarik dan kagum dengan Sena.

“Hal lain yang tidak perlu kau tahu,” jawab Puteri dengan acuh tak acuh.

Reza merasa tersinggung, tapi juga sedih. Dia sadar bahwa Puteri tidak peduli padanya. Dia sadar bahwa Puteri lebih suka Sena daripada dia.

“Bagaimana dengan persiapan lomba pidatomu?” tanya Reza, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Puteri menoleh dari jendela, lalu menatap Reza dengan dingin. “Persiapan lomba pidatoku? Apa urusanmu dengan itu?” tanyanya.

Reza merasa kecil, tapi juga berani. “Urusanku? Urusanku adalah aku peduli padamu, Puteri. Aku ingin mendukungmu. Aku ingin melihatmu berpidato dengan hebat. Aku ingin melihatmu menang,” katanya dengan penuh perasaan.

Puteri terkejut, lalu membelalakkan mata. “Apa? Apa yang kau katakan?” tanyanya.

Reza memegang tangan Puteri dengan lembut, lalu menatap mata Puteri dengan penuh cinta. “Aku… aku suka padamu, Puteri,” katanya dengan jujur.

Puteri merasa gemetar, lalu menarik tangannya dari genggaman Reza. “Apa? Apa yang kau lakukan?” tanyanya.

Reza merasa kecewa, tapi juga berharap. “Aku… aku ingin kau menjadi pacarku, Puteri,” katanya dengan lembut.

Puteri merasa marah, lalu menolak Reza dengan keras. “Apa? Apa yang kau inginkan?” tanyanya.

Reza merasa sakit, tapi juga tegar. “Aku… aku hanya ingin kau bahagia, Puteri,” katanya dengan tulus.

Puteri merasa bingung, lalu menepis Reza dengan kasar. “Aku… aku tidak mengerti, Reza,” katanya.

Reza merasa kasihan, lalu mencoba mendekati Puteri lagi. “Aku… aku akan menjelaskan semuanya, Puteri,” katanya.

Puteri merasa muak, lalu berdiri dari kursinya. “Aku… aku tidak mau mendengarkanmu, Reza,” katanya.

Reza merasa putus asa, lalu memohon kepada Puteri. “Aku… aku mohon padamu, Puteri,” katanya.

Puteri merasa kesal, lalu meninggalkan Reza sendirian di ruang baca perpustakaan sekolah. “Aku… aku benci padamu, Reza,” katanya.

Reza merasa hancur, lalu menangis di meja belajar yang kosong. “Aku… aku cinta padamu, Puteri,” katanya.

Reza merasa patah hati ketika cintanya tidak diterima oleh Puteri di ruangan perpustakaan sekolah. Dia merasa ditolak dan dibenci oleh gadis yang dia cintai. Dia merasa tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan hati Puteri.

Reza keluar dari ruangan perpustakaan dengan langkah gontai. Dia tidak tahu harus kemana. Dia hanya ingin menyendiri dan melupakan segalanya.

Reza berjalan tanpa arah, sampai dia melihat lapangan sepak bola yang ramai oleh penonton. Dia melihat timnya sedang bertanding melawan SMAN 14, lawan yang cukup tangguh. Dia melihat Sena, teman baiknya, yang sedang bermain bola dengan hebat.

Reza terkejut melihat permainan Sena yang menjadi lebih gila dan penuh dengan trik tidak masuk akal dalam mencetak gol. Ibarat kata Reza melihat Sena sebagai seorang pemain profesional yang tak dianggap. Reza merasa kagum dan iri dengan Sena yang bisa menunjukkan kemampuannya di lapangan.

Sang pangeran lapangan mendekati lapangan, lalu duduk di bangku penonton. Dia mencoba menikmati pertandingan, tapi hatinya masih sakit. Dia berharap Puteri juga melihat Sena, dan mungkin tertarik padanya.

Dirinya masih merasa sedih sehingga menatap ke arah ruangan perpustakaan, lalu menghela napas. Dia tahu Puteri tidak peduli dengan sepak bola, apalagi dengan Sena. Dia tahu Puteri lebih sibuk dengan naskah pidatonya.

Pria pecundang yang sudah kehilangan segalanya pun menunduk, lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. Dia merasa sendirian dan tidak berharga.

Pertandingan berlangsung sengit dan seru. Tim SMAN 105 unggul tipis atas SMAN 14, berkat gol dan umpan yang ajaib dari Sena. Sena menjadi bintang lapangan, yang disoraki oleh penonton dan teman-temannya meskipun dirinya hanyalah pemain pengganti di babak kedua.

Permainan sisa pun berlangsung dengan sengit. SMAN 14 berusaha untuk menyamakan kedudukan dengan menyerang habis-habisan. SMAN 105 berusaha untuk mempertahankan keunggulan dengan bertahan mati-matian.

Sena merasakan pusing dan mual di kepalanya. Dia merasa bahwa dia sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Dia merasa bahwa dia sudah memberikan segalanya untuk timnya.

Ketika pluit akhir dibunyikan, Sena langsung pingsan dan jatuh di lapangan. Penonton dan teman-temannya terkejut melihat Sena yang pingsan. Mereka berlari ke arah Sena, lalu menolongnya.

Reza berdiri dari bangku penonton, lalu berlari ke arah Sena. Dia ingin membantu temannya yang sudah membantunya mendekati Puteri.

Reza sampai di samping Sena, lalu melihat wajahnya yang pucat dan berkeringat. Dia meraba nadi Sena, lalu mendengar denyutnya yang lemah.

Reza merasa panik, lalu memanggil-manggil nama Sena. “Sena! Sena! Bangun, Sena!”

Sena tidak merespon, hanya terbaring diam di rumput lapangan.

Reza merasa takut, lalu meminta bantuan orang lain. “Tolong! Tolong! Ada yang bisa bantu? Teman saya pingsan!”

Orang-orang di sekitar Reza mendengar teriakannya, lalu berdatangan untuk melihat apa yang terjadi.

Salah satu dari mereka adalah Puteri Amelia Cantika.

Puteri melihat Sena yang pingsan di pelukan Reza. Dia merasa kaget dan bingung. Dia tidak tahu apa yang terjadi.

Puteri melihat Reza yang panik dan menangis. Dia merasa heran dan penasaran. Dia tidak tahu apa yang dirasakan Reza.

Puteri mendekati Reza dan Sena, lalu bertanya dengan dingin. “Apa yang terjadi? Kenapa dia pingsan?”

"Dia kelelahan setelah bermain selama 45 menit lebih." ucap Reza.

Puteri dengan nada dingin menyuruh mereka semua membawa Sena ke ruang UKS. “Ayo, cepat! Bawa dia ke ruang UKS! Jangan biarkan dia terlantar di sini!” perintahnya.

Reza dan teman-temannya mengangkat Sena yang masih pingsan, lalu membawanya ke ruang UKS. Mereka berlari secepat mungkin, khawatir dengan keadaan Sena.

Puteri mengikuti mereka dari belakang, lalu masuk ke ruang UKS. Dia melihat Sena yang sudah ditidurkan di tempat tidur, dengan selang infus yang menancap di tangannya.

Puteri mendekati Sena, lalu menatap wajahnya yang pucat dan tenang. Dia merasa kasihan dan bersalah. Dia tidak tahu bahwa Sena sudah bermain terlalu keras untuknya.

Puteri menunduk, lalu memegang tangan Sena dengan lembut. Dia merasakan denyut nadi Sena yang lemah, tapi stabil.

Puteri menyesal, lalu berbisik ke telinga Sena. “Kau memang orang yang benar-benar bodoh! Kau pikir kau bisa menjadi pahlawan dengan bermain bola seperti itu? Kau hanya membuat dirimu terluka dan menyesal. Kau tidak tahu apa-apa tentang batas dan keseimbangan. Seorang Penyihir yang sangat bodoh.”

Reza melihat Puteri yang sedang memegang tangan Sena. Dia merasa sakit hati dan iri. Dia tahu bahwa Puteri lebih peduli dengan Sena daripada dia.

Reza menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. Dia sadar bahwa dia memang tidak bisa mendapatkan seorang Puteri, tetapi dia bisa mendapatkan kembali posisi sebagai pangeran lapangan.

Reza bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar dari ruang UKS. Dia meninggalkan Puteri dan Sena yang masih bersama.

Reza bertekad, lalu berbicara dalam hati. “Aku akan kembali bermain bola dengan sepenuh hati. Aku akan membuktikan diriku sebagai pangeran lapangan. Aku akan melupakan Puteri.”

Terpopuler

Comments

JaretFGO

JaretFGO

semangat

2023-09-10

1

Titius Kurnia Dinata

Titius Kurnia Dinata

semangat 😭😭😭

2023-09-02

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Awal dari Masalah
3 Jika Kau Punya Dosa, Semuanya Akan Rumit
4 Kenangan Harusnya Dilupakan, Tapi Tidak Kenangan Buruk
5 Kehidupan Layaknya Musik Jazz, Terlalu Banyak Improvisasi dan Spontanitas
6 Kamu Tidak Sendirian
7 Bagaimana Aku Harus Menyelesaikan Masalah Ini?
8 Pandangan Putri Salju Terhadap Kurniadi Avicenna
9 Roda Takdir Akhirnya Mulai Kembali Bergerak
10 Masalahpun Dimulai
11 Kenapa Kehidupanku Menjadi Kehidupan yang Abnormal?
12 Penyihir yang Kembali Lapangan
13 Babak Pertama yang Menyedihkan
14 Penyihir yang Licik, Kurniadi Avicenna
15 Ketika Pangeran Sepak Bola Sadar Akan Karir
16 Membuat Kue Tanda Persahabatan
17 Setidaknya Masalah Kali Ini, Semuanya Bahagia
18 Datangnya Salah Satu Kasus Dari 7 Misteri SMAN 105 yang Belum Terpecahkan
19 Hilangnya Tanaman Kebun Secara Misterius di Pagi Hari
20 Ketika KPBM Dibicarakan oleh Anggot OSIS
21 Badai Itu Datang Lagi, Skandal Teman Satu Klub
22 Badai Itu Mulai Datang Lagi
23 Permasalahan Vtuber yang Semakin Rumit
24 Ketakutan Ria dan Kenangannya Dengan Klub Penelitian Budaya Masyarakat (KPBM)
25 Ibu Sonia yang Memegang Janji Pada Ria
26 Sidang yang Menyebalkan
27 Pertaruhan Sena dengan Ina
28 Bantuan Datang! Siapa Pelaku Pembongkaran Ria sebagai Calara Puni-puni?
29 Pria di Belakang Masalah
30 Awal Mula Pertarungan IT
31 Jaka Si Joker IT
32 Pertandingan Yang Berat
33 Pembantaian yang Terbalik
34 Adu Siasat
35 Ke Arah yang Tidak Menguntungkan
36 Baku Pukul Tak Terhindarkan
37 Penyelesaian Masalah Menimbulkan Masalah
38 Hubungan Ayah dan Anak
39 Ketika Sena Tidak Ada di Klub
40 Masa Lalu Sena
41 Ketika Puteri Jatuh Hati
42 Puteri Tanpa Hati Ternyata Punya Hati
43 Monolog Ini Punya Siapa?
44 Bintang Mulai Berbohong
Episodes

Updated 44 Episodes

1
Prolog
2
Awal dari Masalah
3
Jika Kau Punya Dosa, Semuanya Akan Rumit
4
Kenangan Harusnya Dilupakan, Tapi Tidak Kenangan Buruk
5
Kehidupan Layaknya Musik Jazz, Terlalu Banyak Improvisasi dan Spontanitas
6
Kamu Tidak Sendirian
7
Bagaimana Aku Harus Menyelesaikan Masalah Ini?
8
Pandangan Putri Salju Terhadap Kurniadi Avicenna
9
Roda Takdir Akhirnya Mulai Kembali Bergerak
10
Masalahpun Dimulai
11
Kenapa Kehidupanku Menjadi Kehidupan yang Abnormal?
12
Penyihir yang Kembali Lapangan
13
Babak Pertama yang Menyedihkan
14
Penyihir yang Licik, Kurniadi Avicenna
15
Ketika Pangeran Sepak Bola Sadar Akan Karir
16
Membuat Kue Tanda Persahabatan
17
Setidaknya Masalah Kali Ini, Semuanya Bahagia
18
Datangnya Salah Satu Kasus Dari 7 Misteri SMAN 105 yang Belum Terpecahkan
19
Hilangnya Tanaman Kebun Secara Misterius di Pagi Hari
20
Ketika KPBM Dibicarakan oleh Anggot OSIS
21
Badai Itu Datang Lagi, Skandal Teman Satu Klub
22
Badai Itu Mulai Datang Lagi
23
Permasalahan Vtuber yang Semakin Rumit
24
Ketakutan Ria dan Kenangannya Dengan Klub Penelitian Budaya Masyarakat (KPBM)
25
Ibu Sonia yang Memegang Janji Pada Ria
26
Sidang yang Menyebalkan
27
Pertaruhan Sena dengan Ina
28
Bantuan Datang! Siapa Pelaku Pembongkaran Ria sebagai Calara Puni-puni?
29
Pria di Belakang Masalah
30
Awal Mula Pertarungan IT
31
Jaka Si Joker IT
32
Pertandingan Yang Berat
33
Pembantaian yang Terbalik
34
Adu Siasat
35
Ke Arah yang Tidak Menguntungkan
36
Baku Pukul Tak Terhindarkan
37
Penyelesaian Masalah Menimbulkan Masalah
38
Hubungan Ayah dan Anak
39
Ketika Sena Tidak Ada di Klub
40
Masa Lalu Sena
41
Ketika Puteri Jatuh Hati
42
Puteri Tanpa Hati Ternyata Punya Hati
43
Monolog Ini Punya Siapa?
44
Bintang Mulai Berbohong

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!